SmartFren, How Smart!

Beberapa waktu lalu, Mobile-8 (FREN) menggelar right issue sebanyak 75.7 milyar lembar saham pada harga Rp50 per lembar saham, dengan pembeli siaganya adalah tiga perusahaan yang tergabung dalam Grup Sinarmas. Lalu apa yang menarik dari aksi korporasi ini? Ada dua hal. Pertama, perhatikan jumlah saham baru yang diterbitkan, 75.7 milyar lembar! Itu adalah jumlah yang sangat banyak, sehingga meski harga right issue-nya ditetapkan pada batas terendah yaitu Rp50, nilai right issue-nya tetap saja besar, yaitu Rp3.8 trilyun.

Logikanya jika sebuah perusahaan menggelar right issue, maka nilai sahamnya akan terdilusi, karena jumlah saham yang beredar bertambah. Alhasil, harga saham FREN pasca right issue seharusnya turun, sehingga market cap-nya akan tetap. Sebelum right issue, jumlah saham FREN adalah 42.9 milyar lembar, sehingga market cap FREN adalah Rp50 x 42.9 milyar = Rp2.1 trilyun. Karena setelah right issue ini jumlah saham FREN yang beredar di market akan menjadi 133.6 milyar lembar (sudah termasuk waran), maka secara teoritis harga sahamnya akan menjadi Rp2.1 trilyun / 133.6 milyar = Rp16.


Nah, disinilah menariknya. Kita tahu bahwa saham FREN, dan juga semua saham lainnya di BEI, harganya tidak bisa turun lebih rendah dari 50. Sehingga setelah right issue ini, saham FREN akan tetap di level 50, dan tidak akan turun ke level 16. Artinya? Market cap atau nilai pasar FREN akan meningkat pesat, meskipun harga sahamnya gak naik barang 1 Rupiah pun. Sebelum right issue, market cap FREN seperti yang sudah disebut diatas adalah Rp2.1 trilyun. Dan setelah right issue, menjadi Rp50 x 133.6 milyar = Rp6.7 trilyun. Sekilas, kenaikan nilai FREN dari 2.1 trilyun menjadi 6.7 trilyun tersebut adalah wajar, karena mereka kan dapet kucuran dana 3.8 trilyun dari Grup Sinarmas yang membeli saham right issue sebanyak 75.7 milyar lembar tadi, plus dana tambahan dari realisasi waran.

Intinya, right issue ini sengaja ditetapkan pada harga minimum agar saham FREN tidak terdilusi setelahnya, dan jumlah saham baru yang diterbitkan sengaja dibuat sebanyak mungkin, agar nilai right issue-nya besar, yaitu 3.8 trilyun.

Itu hal menarik pertama. Kedua, berhubungan dengan pertanyaan berikut: Apa yang akan FREN lakukan dengan dana 3.8 trilyun yang ‘dihibahkan’ Sinarmas kepada mereka? Ternyata hampir seluruhnya atau 99.9%, digunakan untuk membeli PT Smart Telecom (Smartel), sebuah perusahaan telekomunikasi milik Grup Sinarmas. Nah mulai dari sini, sudah dapet kan benang merahnya? Kesimpulannya, Sinarmas menyuntikkan dana 3.8 trilyun ke FREN melalui mekanisme right issue, untuk membeli perusahaannya sendiri, yaitu Smartel. Jadi sebenarnya sama sekali tidak ada uang yang berpindah tangan, karena pembeli dan penjualnya adalah pihak yang sama, yaitu sama-sama Sinarmas. Dengan cara ini, Smartel bisa merger dengan FREN, sekaligus secara tidak langsung listing di bursa melalui FREN, sehingga Smartel menjadi memiliki nilai pasar, yaitu 3.8 trilyun tadi. Setelah Smartel ini digabung dengan Mobile-8, maka jadilah SmartFren dengan total nilai pasar 6.7 trilyun.

Hal yang perlu dicatat dari nilai baru SmartFren (FREN) pasca merger dengan Smartel adalah, secara fundamental nilai pasar 6.7 trilyun tersebut agak terlalu tinggi. Setelah merger, ekuitas SmartFren per 31 Agustus 2010 akan menjadi 4.1 trilyun, sehingga PBV FREN = 6.7 / 4.1 = 1.6 kali). Untuk sebuah perusahaan yang kerjaannya rugi melulu dengan neraca yang dipenuhi defisit, PBV 1.6 kali tersebut tentunya terlalu mahal. Pada kuartal III 2010, FREN mencatat rugi bersih 1.1 trilyun. Sementara pada Agustus 2010, Smartel juga mencatat rugi bersih 416 milyar.

Tapi karena saham FREN di market tidak mungkin turun lebih rendah dari 50, maka nilai FREN juga tidak mungkin turun dari posisi 6.7 trilyun. Sehingga disisi lain, nilai pasar Smartel juga tidak akan turun dari 3.8 trilyun. Disinilah letak kejeniusan Grup Sinarmas. Seandainya mereka memasukkan Smartel ke bursa dengan cara IPO, dimana harga IPO-nya tentunya gak bisa ditetapkan pada harga 50 per saham (sebenarnya bisa saja sih, tapi masa iya 50 perak banget?), maka nilai Smartel bisa saja turun jika harga sahamnya turun lebih rendah dari harga IPO-nya. Mengingat fundamental Smartel sama rapuhnya dengan fundamental Mobile-8, maka hal tersebut sangat mungkin bisa terjadi.

Sementara tujuan Sinarmas bukanlah meraih dana dari masyarakat, melainkan ‘memberi’ Smartel harga pasar yang stabil. Dengan menggunakan jasa FREN, Sinarmas lalu berhasil menghargai Smartel 3.8 trilyun, pada harga saham minimum yaitu 50 per saham, yang tentunya tidak bisa lebih rendah lagi. Sekarang, siapapun yang berminat untuk membeli 100% saham Smartel, maka dia harus membayar 3.8 trilyun, tidak bisa kurang!

Prospek FREN setelah merger dengan Smartel

Pada artikel sebelumnya berjudul XL Axiata, penulis menulis bahwa dengan mempertimbangkan beberapa alasan, prospek pertumbuhan bisnis telekomunikasi di Indonesia masih cerah. Namun masalah utama yang dihadapi oleh para perusahaan yang bermain di bisnis ini adalah tingkat persaingan yang sangat ketat. Mobile-8 dan Smartel bisa jadi merupakan segelintir perusahaan telekomunikasi yang kalah bersaing dengan perusahaan telekomunikasi lainnya. Itu terlihat dari ketidak mampuan mereka berdua dalam mencetak laba bersih dalam setahun terakhir. Tapi bagaimana ceritanya kalau dua perusahaan ini bergabung menjadi SmartFren? Harapannya tentu, kinerja mereka akan jadi lebih baik.

Sebelumnya, XL Axiata (EXCL) juga mencatat kinerja yang buruk ketika masih bernama Excelcom, dan masih dipegang oleh Grup Rajawali-nya Peter Sondakh. Namun setelah Axiata Berhad, sebuah perusahaan telekomunikasi asal Malaysia, mengambil alih EXCL dan mengucurkan dana untuk meningkatkan modal dan asetnya, kinerja EXCL serta merta membaik. Harga sahamnya pun dengan cepat menanjak terutama dalam dua tahun terakhir. Kemungkinan besar, Grup Sinarmas memperhatikan hal ini, sehingga mereka mengajak Mobile-8 untuk merger. Jika Mobile-8 dan Smartel terus saja berjalan sendiri-sendiri, maka sampai kapanpun mereka akan kalah bersaing dengan perusahaan telekomunikasi lainnya, karena ukuran mereka berdua terlalu kecil, bahkan untuk ukuran perusahaan telekomunikasi di pasar CDMA. Tapi jika mereka berdua digabung, maka akan diperoleh sebuah perusahaan dengan total aset Rp11.8 trilyun (per 31 Agustus 2010), dan nilai pasar 6.7 trilyun. Cukup besar! Dan bonus: nilai pasar tersebut tidak mungkin bisa turun.

Faktor lainnya, merger ini seperti mendapat angin segar ketika proses merger Esia-nya Bakrie Telecom (BTEL) dengan Flexi-nya Telkom (TLKM), seperti menemui jalan buntu. Selama ini, Esia dan Flexi adalah penguasa pasar CDMA di Indonesia. Meski demikian, dua perusahaan ini pun tetap sadar akan perlunya merger untuk kelangsungan usaha mereka (sayangnya dalam mergernya banyak klausul yang ditengarai hanya menguntungkan Esia, sehingga banyak pihak menolak merger tersebut). Sementara Smartel dan Mobile-8 hanyalah pemain kelas dua. Jika Esia dan Flexi gagal bergabung, maka gabungan Smartel dan Mobile-8 dalam bentuk SmartFren memiliki peluang untuk muncul sebagai penguasa pasar CDMA yang baru.

Bagaimana dengan sahamnya?

Kembali ke nilai pasar FREN. Dari tadi kita sudah berkali-kali menyebutkan bahwa nilai FREN di market (market cap-nya) tidak bisa lebih rendah dari 6.7 trilyun, karena harga saham FREN tidak bisa lebih rendah dari 50. Pertanyaannya, gimana kalau harga FREN naik? Maka tentu market cap FREN juga akan naik. Setiap kenaikan harga saham FREN sebesar Rp1, market cap FREN akan naik Rp133.6 milyar (karena jumlah saham FREN yang beredar di market setelah right issue kan 133.6 milyar lembar). Jika FREN naik ke 100, misalnya, maka market cap FREN akan menjadi 13.4 trilyun.

Lalu mungkinkah FREN bisa naik? Secara fundamental tentu tidak mungkin, karena merger antara Mobile-8 dan Smartel masih belum menghasilkan apa-apa. SmartFren masih merupakan perusahaan dengan utang segudang, dan juga rugi bersih yang besar. Tapi secara spekulasi, FREN bisa saja naik sewaktu-waktu. Beberapa waktu terakhir, Grup Sinarmas tampak rajin menggoreng saham mereka. Lihat saja Bank Sinarmas (BSIM) dan Dian Swastika Sentosa (DSSA) yang naik sangat pesat dalam beberapa waktu terakhir. So, bukan tidak mungkin mereka melakukan hal yang sama terhadap FREN. Dan untuk melakukannya mudah saja kok, karena mereka tentunya punya banyak uang untuk itu.

Bagi Sinarmas, mereka bisa memperoleh keuntungan tertentu jika FREN naik ke, katakanlah, level 100. Contohnya, mereka bisa menjaminkan 25% saham FREN yang senilai Rp3.4 trilyun (25% x 133.6 milyar x Rp100) ke bank atau lembaga keuangan lainnya, untuk memperoleh pinjaman sebesar Rp1.5 trilyun untuk merestrukturisasi utang-utang SmartFren. Penulis kira, bank manapun akan dengan senang hati memberikan pinjaman tersebut. Kenapa? Karena nilai jaminannya jauh lebih besar dari nilai pinjamannya. Bahkan kalaupun harga saham FREN jeblok ke level 50, maka nilai jaminannya hanya turun menjadi Rp1.7 trilyun, masih lebih besar sekitar 200 milyar dibanding nilai pinjamannya. Dan si bank juga bisa iseng-iseng memainkan sekian milyar saham FREN yang mereka pegang untuk menggoreng harganya di market, sehingga mereka bisa meraup keuntungan tambahan diluar bunga. So, jika dilihat dari sisi ini, Sinarmas punya cukup alasan untuk sewaktu-waktu menaikkan harga saham FREN.

Finally, kesimpulan dari artikel ini ada dua. Pertama, dengan merger ini, FREN kini memiliki secercah peluang untuk bersaing dengan perusahaan telekomunikasi yang lebih mapan seperti Telkom (TLKM), XL Axiata (EXCL), Bakrie Telecom (BTEL) dan Indosat (ISAT). Menarik untuk melihat apakah perusahaan ini akan mampu mencatat peningkatan kinerja di masa mendatang. Dan kedua, berbeda dengan sebelumnya, kini FREN memiliki peluang untuk menguat sewaktu-waktu, meski hanya secara spekulatif.

Tapi masalahnya, kita tentunya gak akan pernah tahu kapan Sinarmas akan memulai cooking show-nya. Kalau anda mau bermain aman dan tidak suka spekulasi, maka sebaiknya FREN ini baru diperhatikan jika nanti kinerjanya benar-benar menguat, atau setidaknya sudah tidak rugi lagi.

Pengumuman: Hingga hari ini yaitu 8 Februari 2011, emiten yang sudah merilis LK FY10 ternyata baru beberapa. Kemungkinan mereka baru akan merilisnya pada akhir Februari nanti, karena masih menunggu proses audit. Jadi Ebook analisis edisi FY10 sepertinya tidak bisa terbit pada 20 Februari nanti, melainkan mungkin baru akan terbit pertengahan maret (ntar penulis kasih pengumuman lagi).

Komentar

Anonim mengatakan…
Mantap ulasannya mas Teguh..btw jangan terlalu lama mas rilis analisanya, mungkin dicicil saja? sdh napsu nih..
Anonim mengatakan…
pak teguh... ulasan tentang saham pkpk dong... saham yg turun terus tp mau RI :D
Anonim mengatakan…
bagaimana dengan kemungkinan Reverse Stock pak? yang pasti itu akan merugikan investor kecil, tapi bagaimana efeknya ke majority holdernya?

thks..
Unknown mengatakan…
untuk yg diatas, dari ulasan pak teguh, RS pun bad idea buat majority, karena andelan mereka ya itu tadi, "konsep harga saham minimal".

saya justru penasaran sama konsep andelan tsb,
pasar cash dan nego kan masih ada?
belum lagi off market..
so? harusnya "konsep harga saham minimal" gak kuat-kuat banget, pak teguh?
Teguh Hidayat mengatakan…
@ roza: betul sekali. di pasar nego, harga FREN bisa lebih rendah dari 50. Tapi mengingat Sinarmas berniat membangun Smartel dan gak berniat untuk menjual Smartel ke siapa2, maka kalaupun ada yg berminat terhadap saham Smartel di FREN asalkan pada harga dibawah 50, pasti akan mereka tolak. Karena sejak awal tujuan mereka adalah memberikan Smartel 'harga pasar' dan bukan harga lainnya (termasuk harga off market), maka konsep harga minimal 50 ini sangatlah kuat.
Anonim mengatakan…
Ulasan pak teguh penuh dengan teori konspiratif yang mengigau.

Bank tidak semudah itu 'dikibuli' dengan konsep 50 perak.
Anonim mengatakan…
aduh udh gak sabar nih tunggu ulasan Mas Teguh tentang laporan2 keuangan emiten :)
Anonim mengatakan…
gimana tuh teori harga minimal 50 peraknya? reverse stock split ancur-ancuran nih harga si fren

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?