The Tale of Bank Mandiri vs Garuda

Kementrian BUMN dalam waktu dekat ini akan menggelar dua hajatan besar di pasar modal. Pertama, penawaran umum terbatas I Bank Mandiri (Right Issue BMRI), dan kedua, IPO Garuda Indonesia. Menariknya, dua perusahaan ini ternyata memiliki kaitan khusus.

Harga IPO Garuda akhirnya ditetapkan pada level terendah yaitu Rp750, dan jumlah saham yang dilepas berkurang dari tadinya 36%, menjadi 26% saja. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi market yang memang lagi sedikit lesu, tapi tetap tidak mengubah opini mayoritas pengamat dan analis yang menyebutkan bahwa harga IPO Garuda tersebut terlalu mahal.

Sementara BMRI menetapkan harga right issue-nya pada level Rp5,000 per saham, dengan harga HMETD Rp5,250 per saham. Meskipun dikabarkan bahwa para investor minta harga yang lebih rendah dari Rp5,000, tapi sejauh ini nggak ada pengamat yang bilang kalau harga tersebut kemahalan. Mengingat harga tersebut masih lebih rendah dari harga terakhir BMRI ‘hasil koreksi IHSG’ yaitu 5,700 (sebelum terjadi koreksi, BMRI mantap diatas 6,500), maka sepertinya pemerintah ga akan kesulitan menjual saham baru BMRI ini ke masyarakat.

Lantas apa kaitan antara BMRI dengan Garuda? Fakta menariknya adalah, dari dana perolehan IPO Garuda sebesar kira-kira Rp4.8 trilyun, BMRI akan kebagian 1.1 trilyun. Kenapa begitu? Karena BMRI memiliki saham di Garuda, hasil konversi utang. Garuda memang pernah punya utang sekian trilyun ke BMRI. Dan karena Garuda gak sanggup bayar, maka utang tersebut dikonversi menjadi saham, sehingga BMRI jadi memiliki 10.6% saham Garuda. Selama ini, masalah terbesar Garuda memang terletak di utangnya yang kelewat besar, gak terlalu berbeda dengan perusahaan airlines lainnya. Mandala Airlines juga bangkrut karena masalah utang.


Kenapa kok BMRI mau mengubah piutangnya di Garuda menjadi saham? Karena Garuda berjanji bahwa saham tersebut bisa diuangkan melalui mekanisme IPO. Dan memang dari sekian milyar lembar saham Garuda yang akan dilepas ke publik, sebagian diantaranya adalah milik BMRI.

Jadi jika anda beli saham IPO Garuda, maka itu berarti anda bayarin utangnya Garuda ke BMRI. Setelah IPO ini, janji Garuda untuk mencairkan saham milik BMRI menjadi dana tunai akan terpenuhi, dan BMRI mendapatkan uangnya kembali.

Selain mendapat 1.1 trilyun dari IPO Garuda, BMRI juga akan mendapat sekitar 12.2 trilyun dari right issue-nya, jadi totalnya 13.3 trilyun. Jumlah dana yang sangat besar, tentu saja. Dan dana ini akan sangat berguna untuk menambah modal BMRI, sehingga catatan CAR-nya yang pada kuartal tiga 2010 hanya 14.1%, mungkin akan naik menjadi 17 – 19% setelah right issue ini. Dengan cadangan modal yang jauh lebih baik, BMRI nantinya akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berekspansi, sehingga mereka akan dapat mempertahankan posisinya sebagai The Largest Bank in Indonesia.

Namun disisi lain, right issue ini akan menyebabkan nilai saham BMRI akan terdilusi (berkurang) sekitar 10.0%. Dan kepemilikan saham pemerintah di BMRI juga akan terdilusi, dari tadinya 66.7%, menjadi 60.0%. Kenapa demikian? Karena pemerintah gak akan mengambil jatah HMETD-nya yang berjumlah sekitar 1.6 milyar lembar saham, melainkan melemparnya ke publik. Karena kepemilikan pemerintah di BMRI berkurang, maka status ‘ke-BUMN-an’ BMRI juga jadi berkurang. Artinya? Jaminan pemeliharaan dari negara terhadap BMRI juga jadi tidak sebesar sebelumnya.

Tapi BMRI boleh dibilang gak begitu butuh perhatian pemerintah, sebab kinerjanya selama ini terbilang bagus, dan perusahaannya sendiri juga jarang bermasalah. Sementara untuk Garuda, kepemilikan saham pemerintah terhadapnya akan berkurang dari tadinya 85.8%, menjadi 60.1% pasca IPO. Mengingat Garuda selama ini punya banyak masalah utang, dan kinerjanya juga nggak bagus, maka angka 60.1% tersebut terdengar beresiko.

Kalau penulis boleh berpendapat, seharusnya Bank Mandiri ‘meng-ikhlas-kan’ saja piutangnya yang 1.1 trilyun itu ke Garuda Indonesia. Kenapa begitu? Karena baik BMRI maupun Garuda kan sama-sama milik pemerintah. Jadi kalaupun utang itu gak dibayar, pemerintah sebagai pemilik BMRI gak akan rugi, karena yang menerima keuntungannya adalah Garuda, perusahaan milik pemerintah juga. Ibaratnya seperti ngambil duit dari kantong kanan, lalu dimasukkan ke kantong kiri, jadi duitnya sebenarnya gak kemana-mana. Harusnya BMRI bisa sedikit lunak lah, sama saudaranya. Secara dia kan bermain di sektor perbankan, salah satu sektor paling prospektif di Indonesia (makanya kinerjanya bagus). Sementara Garuda ‘terpaksa’ bermain di sektor jasa transportasi udara, sektor yang kurang menguntungkan. Duit 1.1 trilyun tersebut kalau diambil BMRI, maka hanya akan menambah modalnya sedikit saja. Sementara kalau duit itu tetap dikasiin di Garuda, maka bisa dipake buat beli setidaknya 2 atau 3 unit pesawat terbang. Soal pengaruh negatif yang mungkin terjadi dari langkah 'ikhlas' ini terhadap catatan NPL di laporan keuangan BMRI nanti, itu bisa diakalin kok.

Tapi para petinggi BMRI dan para fund besar yang memegang sahamnya pasti gak akan setuju sama ide konyol diatas. Kalo cadangan modal BMRI sampai turun gara-gara melaksanakan ide tersebut, lantas harga sahamnya jeblok, emangnya ente mau tanggung jawab??? Selamat datang di pasar modal bung!

Komentar

Anonim mengatakan…
mas teguh bukankah hujan IPO n RI pada gilirannya akan mengurangi likuidiatas dari bursa dan menyebabkan indeks terpuruk? apalagi kalau akal2an untuk mencari dana murah? trader/investor yg jadi korban.
Anonim mengatakan…
Jadi bisa dibilang mendingan beli BMRI daripada ambil IPO Garuda ya? :D

ngomong2, di BMRI, duit 1.1 T itu posisinya apa ya sekarang ini dan berapa nilainya?

kalo dulu misalnya dicatat sebagai piutang, pastinya piutang itu sudah masuk cadangan kerugian, dengan dibalikinnya duit itu berarti nanti BMRI kejatuhan 'laba dadakan' sebesar 1.1T?
Anonim mengatakan…
maaf pak.. simple aja... pemegang saham minoritas seperti kita2 ini gimana?

Secara bisnis utang tetap harus di bayar. memangnya bank mandiri 100% milik pemerintah?

jadi bukan cuman para fund besar saja.. mau fund kecil fund besar tetep saya kalau beli saham saya anggap saya ada hak dalam perusahaan tersebut.

kalau soal 'terpaksa' main di sektor yang kurang menguntungkan? Kita lihat banyak juga airline yang masih bisa berjaya di masa sulit. Mungkin regulasi nya saja di perketat. Salah satu nya jangan terlalu banyak pemain. kualitas dan keselamatan di utamakan.

bagaimana ceritanya sampai orang indonesia sendiri kalau ke singapore lebih prefer naik Singapore Airlines?

Atau mau yg murah prefer Airasia?

Di domestik saja masih ada saingan yang sudah tinggal bentar lagi salip kejayaan Garuda. Sebutkan saja Lion air, Sriwijaya untuk beberapa.

Jadi jangan sebagai alasan 'terpaksa'. Itu pendapat saya.

hehe tapi sebenarnya inti cerita di atas kita pemegang saham walaupun hanya 1 lembar tetap harus di jaga.
Anonim mengatakan…
Mungkin memang waktu IPO Garuda dan right issue Mandiri kurang pas, namun secara time value of money, sepertinya sudah tepat...bisa saja di masa depan kondisinya lebih buruk...semuanya serba beresiko dan tidak diketahui pasti outcome dari IPO garuda dan right issue tersebut...
Tentunya dengan harga right issue dan IPO Garuda yang murah akan menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia...apalagi sekarang Timur Tengah sedang krisis, tentunya ini peluang untuk menarik investor masuk ke Indonesia, hal ini tentunya akan sangat baik dan menguntungkan bagi perekonomian Indonesia.
Janjan mengatakan…
bener" membingungkan buat orang awam kya saya,,,@@

loi
Unknown mengatakan…
mau tanya, kan hutang bmri juga gila tu, gmna cara bayarnnya ya dan siapa pemberi pinjaman ddaribank itu sendiri? thx bli teguh

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?