Tidak Nyata?
Jika anda membeli sebuah saham sebanyak 100 ribu lembar (200 lot) pada harga Rp 100 per lembar, senilai total Rp 10 juta, dan besoknya saham anda tersebut naik 2% menjadi Rp 102 per lembar, maka berapakah keuntungan anda? Tentu saja 2% dikali 10 juta bukan? Dan hasilnya adalah Rp 200 ribu.
Nah, pertanyaan berikutnya, apakah keuntungan anda sudah pasti Rp 200 ribu? Tidak. Keuntungan anda yang 200 ribu itu masih bisa berubah setiap saat, seiring dengan perubahan harga saham tersebut. Jika saham anda naik lebih tinggi lagi ke 104 misalnya, maka keuntungan anda pun naik menjadi Rp 400 ribu. Sebaliknya, jika saham anda kemudian malah turun menjadi 99, maka keuntungan anda akan seketika lenyap dan berubah menjadi rugi Rp 100 ribu.
Jadi selama anda belum menjual kembali saham anda, maka keuntungan yang anda terima belum bersifat pasti. Jika anda melepas saham anda pada harga 102 per saham, maka barulah keuntungan Rp 200 ribu tersebut menjadi pasti. Makanya kalau ada orang yang menjual sahamnya pada harga yang lebih tinggi dibanding harga belinya, itu disebut juga sebagai realisasi keuntungan. Demikian pula, kalau ada orang yang menjual sahamnya pada harga yang lebih rendah dibanding harga belinya, itu disebut juga sebagai realisasi kerugian. Anda belum benar-benar menerima keuntungan ataupun kerugian, selama uang anda masih berbentuk saham, dan belum berbentuk kas yang bisa dicairkan ke rekening bank anda.
Okay, tapi anda tentu sudah sangat mengerti hal diatas. Lalu apa sebenarnya yang hendak kita bahas di artikel ini?
Ketika anda membaca laporan keuangan sebuah emiten, terutama di bagian laporan laba rugi, pernah menemukan poin-poin seperti ini? ‘Keuntungan yang belum terealisasi’, atau ‘kerugian tidak nyata’, dan semacamnya? Itu adalah keuntungan atau kerugian yang tidak nyata, karena sebenarnya gak ada uang yang masuk ataupun keluar. Poin-poin tersebut biasanya diletakkan di bawah poin laba usaha. Meski tidak nyata, poin ini seringkali menyebabkan laba bersih sebuah perusahaan menjadi melonjak drastis, terkadang hingga menjadi lebih besar dari laba usahanya, atau sebaliknya menjadi turun hingga minus (rugi). Berikut contohnya (klik gambar untuk memperbesar)
Contoh diatas adalah laporan keuangan CMNP periode kuartal II 2010. Perhatikan bagian yang ditandai, disitu disebutkan bahwa CMNP menerima penghasilan lain-lain diluar operasional perusahaan, sebesar 236 milyar, yang berasal dari keuntungan yang belum direalisasi dari penurunan/kenaikan nilai wajar Pinjaman Bank dan Obligasi. Penghasilan ini pada periode sebelumnya (kuartal II 2009) belum ada. Berkat penghasilan inilah, laba bersih CMNP pada kuartal II 2010 menjadi 400 milyar, atau lebih besar dari laba usahanya yang hanya 222 milyar. Laba bersih tersebut melonjak 1,190.5% dibandingkan kuartal II 2009, yang cuma 31 milyar. Wow!
Nah, yang dimaksud dengan keuntungan yang belum direalisasi disini adalah sama saja dengan contoh saham tadi. Angka 236 milyar tersebut tidak nyata, karena masih bisa berubah setiap kali nilai wajar pinjaman bank dan obligasi CMNP berubah. Jika nilai wajar tersebut turun misalnya, maka keuntungan tersebut juga akan turun, bahkan bisa jadi minus hingga mengurangi laba bersihnya. Sebaliknya, jika nilai wajar tersebut naik, maka keuntungan yang belum direalisasi itu juga akan naik. Angka 236 milyar tersebut diperoleh berdasarkan nilai wajar per tanggal 30 Juni 2010, yaitu tanggal buku laporan keuangannya. Boleh jadi beberapa waktu kemudian, angka tersebut sudah berubah.
Lalu kapan CMNP akan mendapatkan keuntungan yang pasti dari nilai wajar Pinjaman Bank dan Obligasinya? Ya ketika perusahaan sudah melunasi pinjaman bank dan obligasinya tersebut, atau menjualnya ke pihak lain (jangan salah, utang juga bisa dijual lho). Sama saja seperti anda barulah akan menerima keuntungan yang pasti dari saham, jika anda sudah menjual saham tersebut pada harga yang lebih tinggi dari harga belinya.
Jadi meski CMNP mencatumkan pendapatan senilai 236 milyar di laporan keuangannya, namun CMNP sebenarnya tidak menerima uang sepeser pun dari pinjaman bank dan obligasinya, apalagi sampai 236 milyar. Pendapatan tersebut hanya dipembukuan saja.
Karena keuntungan 236 milyar tersebut tidak nyata alias tidak (belum) ada, maka laba bersih CMNP yang 400 milyar itu juga tidak nyata. Dan itu berarti? Kenaikan laba bersih sebesar 1,190.5% itu juga tidak nyata! Makanya anda harus hati-hati setiap kali melihat sebuah perusahaan mencetak kenaikan laba bersih yang kelewat tinggi, harus dicek dari mana asal kenaikan tersebut.
Contoh lainnya adalah Mitra Adiperkasa (MAPI), yang pada periode full year 2008 mencatat kerugian karena kurs sebesar 331 milyar. Angka tersebut naik dari periode sebelumnya yang hanya 83 milyar. Karena kerugian inilah, laba bersih MAPI pada periode ini jadi minus alias rugi 70 milyar, padahal laba usahanya mencapai 303 milyar, naik dari sebelumnya hanya 266 milyar.
Nah, meski tidak ada kata-kata belum direalisasi seperti contoh CMNP tadi, namun kerugian kurs MAPI tersebut merupakan kerugian yang tidak nyata, karena bukan berasal dari kenaikan biaya, penurunan nilai aset, ataupun semacamnya, namun berasal dari perubahan kurs Rupiah terhadap Baht (Thailand). Lho, memangnya apa hubungannya dengan Baht? Jadi begini, salah satu anak usaha MAPI yaitu TS Lifestyle Ltd., yang merupakan toko fashion milik MAPI di Thailand, mencatat nilai asetnya dalam mata uang negara tempat mereka beroperasi, yaitu Baht. Kemungkinan besar pada periode tersebut (Januari - Desember 2008), nilai Rupiah terhadap Baht menguat drastis (yang itu berarti nilai Baht terhadap Rupiah menurun drastis), yang mungkin disebabkan krisis global yang terjadi ketika itu, sehingga aset TS Lifestyle jika dicatat dalam Rupiah (laporan keuangan MAPI kan dalam Rupiah) menjadi turun.
Ilustrasinya begini. Katakanlah nilai aset TS Lifestyle pada 2007 adalah 10 juta Baht. Karena kurs Rupiah terhadap Baht ketika itu adalah (misalnya, hanya ilustrasi saja) Rp 350 per Baht, maka aset TS Lifestyle pada periode tersebut kalau dirupiahkan adalah 350 x 10 juta = Rp 3.5 milyar. Pada 2008, aset TS Lifestyle sebenarnya naik menjadi 15 juta Baht. Tapi karena nilai Baht terhadap Rupiah pada saat itu anjlok menjadi Rp 150 per Baht, maka aset TS Lifestyle menjadi 150 x 15 juta = Rp 2.25 milyar, alias turun Rp 1.25 milyar dibanding periode 2007. Di laporan keuangan MAPI, penurunan ini dicantumkan sebagai kerugian.
Lalu kenapa kerugian tersebut dianggap tidak nyata? Ya karena nilai kurs Rupiah terhadap Baht bisa berubah sewaktu-waktu. Hari ini 1 Baht bisa dapet 350 Rupiah, besok bisa dapet 360 Rupiah, besoknya lagi bisa cuma dapet 330 Rupiah, dan seterusnya. Dengan demikian nilai kerugian kurs MAPI tersebut juga bisa berubah sewaktu-waktu. Dan itu terlihat pada laporan keuangan full year 2009-nya, dimana MAPI mencetak keuntungan kurs senilai 165 milyar, dari sebelumnya rugi 331 milyar. Alhasil, MAPI mencetak laba bersih 164 milyar, dari sebelumnya rugi 70 milyar. Jika keuntungan kurs ini tidak ada, maka seharusnya MAPI masih mencetak rugi 1 milyar (164 dikurangi 165 milyar).
Lalu apakah MAPI menerima uang ketika memperoleh pendapatan kurs? Tidak. Dan apakah MAPI kehilangan uang ketika mengalami kerugian kurs? Tidak juga. Sekali lagi, angka-angka tersebut hanya di pembukuan saja. Bisa dikatakan karena poin-poin pendapatan dan kerugian seperti ini, angka laba bersih MAPI gak pernah bener.
Tidak hanya poin kurs dan nilai wajar obligasi, namun kebanyakan poin pendapatan maupun kerugian yang pada laporan keuangan diletakkan setelah laba usaha memang bersifat tidak nyata (kecuali pajak dan bunga pinjaman yang sudah dibayarkan), sehingga sedikit mengganggu ‘keabsahan’ laba ataupun rugi bersih yang dicantumkan. Tapi tidak semua poin-poin tersebut bersifat tidak nyata. Beberapa poin seperti pendapatan dari perusahaan asosiasi, merupakan pendapatan yang nyata, karena memang ada uang yang masuk, yang diperoleh dari laba bersih perusahaan asosiasi diluar perusahaan inti.
Kalau anda nggak yakin sama hal-hal yang ‘tidak nyata’ ini, maka sebaiknya saham-saham yang laporan keuangannya mengandung hal tersebut dihindari. Tapi biasanya, investor di Indonesia kurang peduli terhadap hal ini. Jadi jika sebuah emiten mencetak kenaikan laba bersih yang signifikan, padahal kenaikan tersebut sedikit berbau tidak nyata, sahamnya tetap saja diburu. Saham CMNP ketika artikel ini ditulis berada di posisi 1,330, alias naik lebih dari 60% dalam setahun terakhir. Demikian pula dengan MAPI, yang pada akhir tahun 2009 berada diposisi 620, naik dua kali lipat dibanding posisinya pada akhir tahun 2008. Dan sekarang, MAPI sudah berada di level 2,575.
Jika nanti di laporan keuangan berikutnya dua emiten ini tiba-tiba mencetak rugi bersih karena menerima kerugian tidak nyata yang kelewat gede, gimana tuh? Ya pasti sahamnya akan anjlok. So, we better not take those risks.
Nah, pertanyaan berikutnya, apakah keuntungan anda sudah pasti Rp 200 ribu? Tidak. Keuntungan anda yang 200 ribu itu masih bisa berubah setiap saat, seiring dengan perubahan harga saham tersebut. Jika saham anda naik lebih tinggi lagi ke 104 misalnya, maka keuntungan anda pun naik menjadi Rp 400 ribu. Sebaliknya, jika saham anda kemudian malah turun menjadi 99, maka keuntungan anda akan seketika lenyap dan berubah menjadi rugi Rp 100 ribu.
Jadi selama anda belum menjual kembali saham anda, maka keuntungan yang anda terima belum bersifat pasti. Jika anda melepas saham anda pada harga 102 per saham, maka barulah keuntungan Rp 200 ribu tersebut menjadi pasti. Makanya kalau ada orang yang menjual sahamnya pada harga yang lebih tinggi dibanding harga belinya, itu disebut juga sebagai realisasi keuntungan. Demikian pula, kalau ada orang yang menjual sahamnya pada harga yang lebih rendah dibanding harga belinya, itu disebut juga sebagai realisasi kerugian. Anda belum benar-benar menerima keuntungan ataupun kerugian, selama uang anda masih berbentuk saham, dan belum berbentuk kas yang bisa dicairkan ke rekening bank anda.
Okay, tapi anda tentu sudah sangat mengerti hal diatas. Lalu apa sebenarnya yang hendak kita bahas di artikel ini?
Ketika anda membaca laporan keuangan sebuah emiten, terutama di bagian laporan laba rugi, pernah menemukan poin-poin seperti ini? ‘Keuntungan yang belum terealisasi’, atau ‘kerugian tidak nyata’, dan semacamnya? Itu adalah keuntungan atau kerugian yang tidak nyata, karena sebenarnya gak ada uang yang masuk ataupun keluar. Poin-poin tersebut biasanya diletakkan di bawah poin laba usaha. Meski tidak nyata, poin ini seringkali menyebabkan laba bersih sebuah perusahaan menjadi melonjak drastis, terkadang hingga menjadi lebih besar dari laba usahanya, atau sebaliknya menjadi turun hingga minus (rugi). Berikut contohnya (klik gambar untuk memperbesar)
Contoh diatas adalah laporan keuangan CMNP periode kuartal II 2010. Perhatikan bagian yang ditandai, disitu disebutkan bahwa CMNP menerima penghasilan lain-lain diluar operasional perusahaan, sebesar 236 milyar, yang berasal dari keuntungan yang belum direalisasi dari penurunan/kenaikan nilai wajar Pinjaman Bank dan Obligasi. Penghasilan ini pada periode sebelumnya (kuartal II 2009) belum ada. Berkat penghasilan inilah, laba bersih CMNP pada kuartal II 2010 menjadi 400 milyar, atau lebih besar dari laba usahanya yang hanya 222 milyar. Laba bersih tersebut melonjak 1,190.5% dibandingkan kuartal II 2009, yang cuma 31 milyar. Wow!
Nah, yang dimaksud dengan keuntungan yang belum direalisasi disini adalah sama saja dengan contoh saham tadi. Angka 236 milyar tersebut tidak nyata, karena masih bisa berubah setiap kali nilai wajar pinjaman bank dan obligasi CMNP berubah. Jika nilai wajar tersebut turun misalnya, maka keuntungan tersebut juga akan turun, bahkan bisa jadi minus hingga mengurangi laba bersihnya. Sebaliknya, jika nilai wajar tersebut naik, maka keuntungan yang belum direalisasi itu juga akan naik. Angka 236 milyar tersebut diperoleh berdasarkan nilai wajar per tanggal 30 Juni 2010, yaitu tanggal buku laporan keuangannya. Boleh jadi beberapa waktu kemudian, angka tersebut sudah berubah.
Lalu kapan CMNP akan mendapatkan keuntungan yang pasti dari nilai wajar Pinjaman Bank dan Obligasinya? Ya ketika perusahaan sudah melunasi pinjaman bank dan obligasinya tersebut, atau menjualnya ke pihak lain (jangan salah, utang juga bisa dijual lho). Sama saja seperti anda barulah akan menerima keuntungan yang pasti dari saham, jika anda sudah menjual saham tersebut pada harga yang lebih tinggi dari harga belinya.
Jadi meski CMNP mencatumkan pendapatan senilai 236 milyar di laporan keuangannya, namun CMNP sebenarnya tidak menerima uang sepeser pun dari pinjaman bank dan obligasinya, apalagi sampai 236 milyar. Pendapatan tersebut hanya dipembukuan saja.
Karena keuntungan 236 milyar tersebut tidak nyata alias tidak (belum) ada, maka laba bersih CMNP yang 400 milyar itu juga tidak nyata. Dan itu berarti? Kenaikan laba bersih sebesar 1,190.5% itu juga tidak nyata! Makanya anda harus hati-hati setiap kali melihat sebuah perusahaan mencetak kenaikan laba bersih yang kelewat tinggi, harus dicek dari mana asal kenaikan tersebut.
Contoh lainnya adalah Mitra Adiperkasa (MAPI), yang pada periode full year 2008 mencatat kerugian karena kurs sebesar 331 milyar. Angka tersebut naik dari periode sebelumnya yang hanya 83 milyar. Karena kerugian inilah, laba bersih MAPI pada periode ini jadi minus alias rugi 70 milyar, padahal laba usahanya mencapai 303 milyar, naik dari sebelumnya hanya 266 milyar.
Nah, meski tidak ada kata-kata belum direalisasi seperti contoh CMNP tadi, namun kerugian kurs MAPI tersebut merupakan kerugian yang tidak nyata, karena bukan berasal dari kenaikan biaya, penurunan nilai aset, ataupun semacamnya, namun berasal dari perubahan kurs Rupiah terhadap Baht (Thailand). Lho, memangnya apa hubungannya dengan Baht? Jadi begini, salah satu anak usaha MAPI yaitu TS Lifestyle Ltd., yang merupakan toko fashion milik MAPI di Thailand, mencatat nilai asetnya dalam mata uang negara tempat mereka beroperasi, yaitu Baht. Kemungkinan besar pada periode tersebut (Januari - Desember 2008), nilai Rupiah terhadap Baht menguat drastis (yang itu berarti nilai Baht terhadap Rupiah menurun drastis), yang mungkin disebabkan krisis global yang terjadi ketika itu, sehingga aset TS Lifestyle jika dicatat dalam Rupiah (laporan keuangan MAPI kan dalam Rupiah) menjadi turun.
Ilustrasinya begini. Katakanlah nilai aset TS Lifestyle pada 2007 adalah 10 juta Baht. Karena kurs Rupiah terhadap Baht ketika itu adalah (misalnya, hanya ilustrasi saja) Rp 350 per Baht, maka aset TS Lifestyle pada periode tersebut kalau dirupiahkan adalah 350 x 10 juta = Rp 3.5 milyar. Pada 2008, aset TS Lifestyle sebenarnya naik menjadi 15 juta Baht. Tapi karena nilai Baht terhadap Rupiah pada saat itu anjlok menjadi Rp 150 per Baht, maka aset TS Lifestyle menjadi 150 x 15 juta = Rp 2.25 milyar, alias turun Rp 1.25 milyar dibanding periode 2007. Di laporan keuangan MAPI, penurunan ini dicantumkan sebagai kerugian.
Lalu kenapa kerugian tersebut dianggap tidak nyata? Ya karena nilai kurs Rupiah terhadap Baht bisa berubah sewaktu-waktu. Hari ini 1 Baht bisa dapet 350 Rupiah, besok bisa dapet 360 Rupiah, besoknya lagi bisa cuma dapet 330 Rupiah, dan seterusnya. Dengan demikian nilai kerugian kurs MAPI tersebut juga bisa berubah sewaktu-waktu. Dan itu terlihat pada laporan keuangan full year 2009-nya, dimana MAPI mencetak keuntungan kurs senilai 165 milyar, dari sebelumnya rugi 331 milyar. Alhasil, MAPI mencetak laba bersih 164 milyar, dari sebelumnya rugi 70 milyar. Jika keuntungan kurs ini tidak ada, maka seharusnya MAPI masih mencetak rugi 1 milyar (164 dikurangi 165 milyar).
Lalu apakah MAPI menerima uang ketika memperoleh pendapatan kurs? Tidak. Dan apakah MAPI kehilangan uang ketika mengalami kerugian kurs? Tidak juga. Sekali lagi, angka-angka tersebut hanya di pembukuan saja. Bisa dikatakan karena poin-poin pendapatan dan kerugian seperti ini, angka laba bersih MAPI gak pernah bener.
Tidak hanya poin kurs dan nilai wajar obligasi, namun kebanyakan poin pendapatan maupun kerugian yang pada laporan keuangan diletakkan setelah laba usaha memang bersifat tidak nyata (kecuali pajak dan bunga pinjaman yang sudah dibayarkan), sehingga sedikit mengganggu ‘keabsahan’ laba ataupun rugi bersih yang dicantumkan. Tapi tidak semua poin-poin tersebut bersifat tidak nyata. Beberapa poin seperti pendapatan dari perusahaan asosiasi, merupakan pendapatan yang nyata, karena memang ada uang yang masuk, yang diperoleh dari laba bersih perusahaan asosiasi diluar perusahaan inti.
Kalau anda nggak yakin sama hal-hal yang ‘tidak nyata’ ini, maka sebaiknya saham-saham yang laporan keuangannya mengandung hal tersebut dihindari. Tapi biasanya, investor di Indonesia kurang peduli terhadap hal ini. Jadi jika sebuah emiten mencetak kenaikan laba bersih yang signifikan, padahal kenaikan tersebut sedikit berbau tidak nyata, sahamnya tetap saja diburu. Saham CMNP ketika artikel ini ditulis berada di posisi 1,330, alias naik lebih dari 60% dalam setahun terakhir. Demikian pula dengan MAPI, yang pada akhir tahun 2009 berada diposisi 620, naik dua kali lipat dibanding posisinya pada akhir tahun 2008. Dan sekarang, MAPI sudah berada di level 2,575.
Jika nanti di laporan keuangan berikutnya dua emiten ini tiba-tiba mencetak rugi bersih karena menerima kerugian tidak nyata yang kelewat gede, gimana tuh? Ya pasti sahamnya akan anjlok. So, we better not take those risks.
Komentar
Pak Teguh kalau mau lihat laporan keuangan yg lengkap seperti diatas dapat dr mana ya?? situs BEI susah sekali diaksesnya.
terima kasih sblmnya
next bisa di bahas mengenai money managemenat dgn agak detail enggak pak? terima kasih sekali lagi
Posting -posting artikel anda mengenai analisis fundamental, sungguh sangat bermanfaat. Sekali-kali pls ayo padukan juga dengan analisis teknikal seperti dengan indikator Bolinger Band dan RSI.pasti karena mas Teguh yang nulis hasilnya akan heebbat. kutunggu...yach ! well ~Merry Christmas & Happy New year 2011 wish You all the best `~
always looking forward for your article
Ditunggu terus postingnya, sukses selalu..
Menurut saya harganya masih murah jika dibandingkan dengan JSMR dari segi PE dan DER