Forbes Bloopers
Kalau anda adalah seorang Aburizal Bakrie, apa reaksi anda ketika Forbes bilang kalau harta kekayaan anda ‘cuma’ US$ 2.1 milyar? Kalau saya sih akan senyum-senyum.. Masa sih gue ‘semiskin’ itu?
Kita lihat, waktu BNBR melaksakan right issue tahun 2008 lalu saja, perusahaan induk Grup Bakrie ini dapat dana segar Rp40.1 trilyun, atau sekitar US$ 4 milyar. Belum lagi serentetan right issue dari beberapa anggota B7 lainnya. Meski memang kepemilikan saham Grup Bakrie di BNBR dan anggota B7 lainnya terkesan minoritas karena pemegang saham terbesarnya adalah publik, tapi memangnya siapa yang dapet duitnya setiap kali perusahaan melakukan IPO, right issue, ataupun menjual saham hasil gorengan di harga mahal? Ya mereka lah! Investor retail cuma kebagian remahannya saja. Dan diluar beberapa perusahaan yang listing di bursa, Grup Bakrie masih punya puluhan perusahaan lagi yang bergerak di hampir semua sektor usaha, dengan total aset entah berapa.
Tak hanya Ical (atau lebih tepatnya Keluarga Bakrie, karena di Grup Bakrie tidak hanya ada Ical, tapi juga Nirwan, Indra, dan Roosmania Bakrie), namun nilai kekayaan beberapa konglomerat lainnya pun bisa jadi tidak ‘sekecil’ yang disajikan Forbes. Angka-angka yang disajikan Forbes sekilas memang terkesan sangat besar, (tentu saja, siapa bilang kalau US$ 1 milyar itu sedikit?) tapi sebenarnya, sangat mungkin beberapa pengusaha yang disebutkan di daftar Forbes tersebut memiliki jumlah kekayaan jauh lebih besar dari yang disebutkan.
Contohnya, Forbes menyebut bahwa dua bersaudara Hartono pemilik Bank BCA dan Grup Djarum, yang didaulat sebagai orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan US$ 11 milyar. Benarkah? Mari kita hitung. Dua bersaudara ini terakhir tercatat memiliki 47.15% saham di BCA. Nilai pasar BBCA ketika artikel ini ditulis adalah Rp160 trilyun, atau sekitar US$ 14.4 milyar. Dengan demikian maka kekayaan Hartono Brothers dari BCA adalah sekitar 47.15% x US$ 14.4 milyar = US$ 6.8 milyar. Bagaimana dengan Djarum? Publik tidak mengetahui nilai persisnya karena perusahaannya tidak listing di BEI. Tapi banyak yang menyebutkan bahwa nilainya kurang lebih setara dengan Gudang Garam (GGRM). Berapa nilai GGRM? Rp88 trilyun atau US$ 7.9 milyar. Dengan asumsi Djarum sama nilainya dengan GGRM, maka total kekayaan Hartono bersaudara adalah US$ 14.7 milyar. Itu baru Djarum dan BCA. Lalu bagaimana dengan Kompleks Superblok Grand Indonesia? Keluarga Hartono juga punya bisnis di properti, agribisnis, kimia, kayu & furnitur, tekstil, plastik, dan perdagangan elektronik. Kira-kira berapa nilai total semuanya? Silahkan anda hitung sendiri.
Terus ada Mochtar Riady, pendiri dan pemilik Grup Lippo, yang tercatat memiliki kekayaan US$ 730 juta. Ini becandaan atau apa? Lippo Karawaci (LPKR) saja nilainya sudah US$ 1.5 milyar. Memang, Grup Lippo tidak memiliki saham LPKR secara utuh 100%, tapi lalu bagaimana dengan Matahari Putra Prima, First Media, Lippo Insurance, Lippo Securities, dan lainnya? Grup Lippo juga punya beberapa perusahaan di Singapura dan Hongkong. Ketika kemarin mereka menjual Matahari Dept. Store saja, mereka sudah dapat dana segar lebih dari Rp5 trilyun atau sekitar US$ 450 juta.
Anthoni Salim disebutkan memiliki kekayaan US$ 3 milyar. Well, kalau kita hitung Indofood saja dimana Grup Salim memegang 50.1% sahamnya, maka kekayaan Mr. Anthoni dari Indofood sudah mencapai US$ 2 milyar. Tapi Mr. Anthoni gak cuma punya Indofood. Beliau juga punya Indomobil, Indosiar, Indomaret, Fast Food Indonesia, dan Multistrada. Grup Salim juga masih punya 13% saham di Indocement. Dan seperti grup-grup konglomerasi lainnya, Grup Salim juga punya beberapa perusahaan di overseas, termasuk First Pacific, perusahaan holding milik Grup Salim yang terdaftar di bursa Hongkong yang menjadi induk dari semua perusahaan Grup Salim di seluruh Asia, termasuk Indofood.
Dan mungkin yang paling mencolok adalah Sukanto Tanoto. Forbes menyebut kekayaan pemilik Royal Golden Eagle (RGE) ini US$ 1.4 milyar. Okay, mari kita lihat. RGE memiliki APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd), salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia. Diluar APRIL ada Toba Pulp Lestari (INRU), yang juga perusahaan kertas. RGE adalah juga induk dari Asian Agri, perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan ukuran kira-kira setara Astra Agro Lestari (AALI). Terus ada juga Sateri, perusahaan kayu dan serat yang terdaftar di bursa Hongkong. Dan terakhir, Pacific Oil & Gas (PO&G), sebuah perusahaan minyak dan gas. Secara keseluruhan, RGE memiliki total aset lebih dari US$ 10 milyar. Katakanlah sebagai pemilik mayoritas, kepemilikan bersih Mr. Sukanto di RGE adalah separuh total asetnya (sedangkan sisanya adalah utang atau dimiliki oleh pemegang saham minoritas), maka itu berarti sekitar US$ 5 milyar bukan?
Di daftar Forbes kali ini, terdapat dua ‘orang kaya baru’ yang sebelumnya tidak masuk daftar (atau masuk, tapi nggak begitu kelihatan), padahal dua orang ini sudah kaya dari dulu. Mereka adalah Kiki Barki, yang tercatat memiliki kekayaan US$ 1.7 milyar, dan Trihatma Haliman, US$ 600 juta. Kiki Barki masuk daftar berkat kepemilikan sahamnya di Harum Energy (HRUM), yang kemarin listing di BEI. Padahal, Mr. Barki masih punya tiga perusahaan batubara lainnya diluar HRUM, dengan ukuran aset masing-masing yang kira-kira sama dengan HRUM. Sedangkan Mr. Haliman juga masuk daftar karena kepemilikan sahamnya di Agung Podomoro Land (APLN), yang juga listing kemarin. Padahal APLN ini hanyalah sebagian kecil dari total aset yang dimiliki oleh Agung Podomoro Grup.
Itu baru sekelumit. Bagaimana dengan orang-orang kaya lainnya? Silahkan anda cek sendiri.
Selain sebagian besar dari angka kekayaan yang dicantumkan tidak begitu akurat, Forbes juga ‘lupa’ memasukkan beberapa nama yang tidak kalah kayanya dengan 40 orang terkaya di Indonesia tersebut. Misalnya Tommy Winata, pemilik Artha Graha Grup, Agung Sedayu Grup, kompleks perkantoran prestisius Sudirman Center Business District, dan masih banyak lagi. Atau Tommy Soeharto, salah satu pewaris utama Keluarga Cendana. Dan bagaimana dengan Ibrahim Risjad, yang kemarin dapet US$ 1.5 milyar hasil menjual Berau Coal ke Recapital? Dan seterusnya.
Forbes sendiri mengakui kalau daftarnya nggak lengkap, dan datanya juga nggak begitu akurat. Menurut Millie Stephanie, CEO Forbes Indonesia, Forbes hanya menghitung kekayaan para konglomerat tersebut berdasarkan kepemilikan saham mereka di perusahaan yang terbuka (listing di bursa). Diluar itu tidak dihitung, karena datanya sulit ditemukan. Karena itulah Keluarga Cendana misalnya, tidak ikut dihitung karena perusahaan-perusahaan mereka (yang jumlahnya ratusan) kebanyakan merupakan perusahaan private yang tidak listing di bursa manapun, jadi tidak ada yang tahu persis berapa kekayaan mereka, kecuali mereka sendiri.
Well, alasan yang cukup masuk akal sih, dan memang gak segampang itu juga untuk memperkirakan berapa jumlah harta kekayaan seseorang atau sebuah keluarga (yang tahu persis ya mereka sendiri). Tapi kalau begitu seharusnya Forbes gak usah terlalu pede gitu dong ketika merilis daftarnya!
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki majalah atau media massa ekonomi yang mampu membuat daftar yang serupa. Kan aneh, masa orang asing (Forbes ini kan dari Amerika) lebih tahu siapa saja orang-orang terkaya di Indonesia daripada orang Indonesianya sendiri? Koran Bisnis Indonesia atau Majalah SWA kemana aja nih?
Tapi mungkin, para orang kaya itu juga seneng ‘dikatain miskin’ sama Forbes. Pasalnya itu mempermudah mereka dalam berurusan dengan pajak. Seperti diberitakan, belum apa-apa Dirjen Pajak menyatakan akan mengecek pembayaran pajak para orang kaya tersebut. Well, mungkin para orang kaya ini bukannya males bayar pajak atau berkontribusi bagi negara, tapi mereka agak kurang percaya aja sama pemerintah. Kebanyakan grup konglomerasi ini lebih memilih mendirikan yayasan nirlaba yang menyumbang langsung ke masyarakat Indonesia, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan sembako, dalam rangka CSR. RGE punya Tanoto Foundation, Grup Sinarmas punya Eka Tjipta Foundation, Grup Para punya Chairul Tanjung Foundation. Bahkan Grup Bakrie yang disebut-sebut terlibat dengan kasus Gayus Tambunan, juga memiliki Achmad Bakrie Foundation.
Tapi bagaimana dengan Lapindo? Sorry, itu lain cerita. Btw, nilai kekayaan Keluarga Cikeas kira-kira berapa ya?
Kita lihat, waktu BNBR melaksakan right issue tahun 2008 lalu saja, perusahaan induk Grup Bakrie ini dapat dana segar Rp40.1 trilyun, atau sekitar US$ 4 milyar. Belum lagi serentetan right issue dari beberapa anggota B7 lainnya. Meski memang kepemilikan saham Grup Bakrie di BNBR dan anggota B7 lainnya terkesan minoritas karena pemegang saham terbesarnya adalah publik, tapi memangnya siapa yang dapet duitnya setiap kali perusahaan melakukan IPO, right issue, ataupun menjual saham hasil gorengan di harga mahal? Ya mereka lah! Investor retail cuma kebagian remahannya saja. Dan diluar beberapa perusahaan yang listing di bursa, Grup Bakrie masih punya puluhan perusahaan lagi yang bergerak di hampir semua sektor usaha, dengan total aset entah berapa.
Tak hanya Ical (atau lebih tepatnya Keluarga Bakrie, karena di Grup Bakrie tidak hanya ada Ical, tapi juga Nirwan, Indra, dan Roosmania Bakrie), namun nilai kekayaan beberapa konglomerat lainnya pun bisa jadi tidak ‘sekecil’ yang disajikan Forbes. Angka-angka yang disajikan Forbes sekilas memang terkesan sangat besar, (tentu saja, siapa bilang kalau US$ 1 milyar itu sedikit?) tapi sebenarnya, sangat mungkin beberapa pengusaha yang disebutkan di daftar Forbes tersebut memiliki jumlah kekayaan jauh lebih besar dari yang disebutkan.
Contohnya, Forbes menyebut bahwa dua bersaudara Hartono pemilik Bank BCA dan Grup Djarum, yang didaulat sebagai orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan US$ 11 milyar. Benarkah? Mari kita hitung. Dua bersaudara ini terakhir tercatat memiliki 47.15% saham di BCA. Nilai pasar BBCA ketika artikel ini ditulis adalah Rp160 trilyun, atau sekitar US$ 14.4 milyar. Dengan demikian maka kekayaan Hartono Brothers dari BCA adalah sekitar 47.15% x US$ 14.4 milyar = US$ 6.8 milyar. Bagaimana dengan Djarum? Publik tidak mengetahui nilai persisnya karena perusahaannya tidak listing di BEI. Tapi banyak yang menyebutkan bahwa nilainya kurang lebih setara dengan Gudang Garam (GGRM). Berapa nilai GGRM? Rp88 trilyun atau US$ 7.9 milyar. Dengan asumsi Djarum sama nilainya dengan GGRM, maka total kekayaan Hartono bersaudara adalah US$ 14.7 milyar. Itu baru Djarum dan BCA. Lalu bagaimana dengan Kompleks Superblok Grand Indonesia? Keluarga Hartono juga punya bisnis di properti, agribisnis, kimia, kayu & furnitur, tekstil, plastik, dan perdagangan elektronik. Kira-kira berapa nilai total semuanya? Silahkan anda hitung sendiri.
Terus ada Mochtar Riady, pendiri dan pemilik Grup Lippo, yang tercatat memiliki kekayaan US$ 730 juta. Ini becandaan atau apa? Lippo Karawaci (LPKR) saja nilainya sudah US$ 1.5 milyar. Memang, Grup Lippo tidak memiliki saham LPKR secara utuh 100%, tapi lalu bagaimana dengan Matahari Putra Prima, First Media, Lippo Insurance, Lippo Securities, dan lainnya? Grup Lippo juga punya beberapa perusahaan di Singapura dan Hongkong. Ketika kemarin mereka menjual Matahari Dept. Store saja, mereka sudah dapat dana segar lebih dari Rp5 trilyun atau sekitar US$ 450 juta.
Anthoni Salim disebutkan memiliki kekayaan US$ 3 milyar. Well, kalau kita hitung Indofood saja dimana Grup Salim memegang 50.1% sahamnya, maka kekayaan Mr. Anthoni dari Indofood sudah mencapai US$ 2 milyar. Tapi Mr. Anthoni gak cuma punya Indofood. Beliau juga punya Indomobil, Indosiar, Indomaret, Fast Food Indonesia, dan Multistrada. Grup Salim juga masih punya 13% saham di Indocement. Dan seperti grup-grup konglomerasi lainnya, Grup Salim juga punya beberapa perusahaan di overseas, termasuk First Pacific, perusahaan holding milik Grup Salim yang terdaftar di bursa Hongkong yang menjadi induk dari semua perusahaan Grup Salim di seluruh Asia, termasuk Indofood.
Dan mungkin yang paling mencolok adalah Sukanto Tanoto. Forbes menyebut kekayaan pemilik Royal Golden Eagle (RGE) ini US$ 1.4 milyar. Okay, mari kita lihat. RGE memiliki APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd), salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia. Diluar APRIL ada Toba Pulp Lestari (INRU), yang juga perusahaan kertas. RGE adalah juga induk dari Asian Agri, perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan ukuran kira-kira setara Astra Agro Lestari (AALI). Terus ada juga Sateri, perusahaan kayu dan serat yang terdaftar di bursa Hongkong. Dan terakhir, Pacific Oil & Gas (PO&G), sebuah perusahaan minyak dan gas. Secara keseluruhan, RGE memiliki total aset lebih dari US$ 10 milyar. Katakanlah sebagai pemilik mayoritas, kepemilikan bersih Mr. Sukanto di RGE adalah separuh total asetnya (sedangkan sisanya adalah utang atau dimiliki oleh pemegang saham minoritas), maka itu berarti sekitar US$ 5 milyar bukan?
Di daftar Forbes kali ini, terdapat dua ‘orang kaya baru’ yang sebelumnya tidak masuk daftar (atau masuk, tapi nggak begitu kelihatan), padahal dua orang ini sudah kaya dari dulu. Mereka adalah Kiki Barki, yang tercatat memiliki kekayaan US$ 1.7 milyar, dan Trihatma Haliman, US$ 600 juta. Kiki Barki masuk daftar berkat kepemilikan sahamnya di Harum Energy (HRUM), yang kemarin listing di BEI. Padahal, Mr. Barki masih punya tiga perusahaan batubara lainnya diluar HRUM, dengan ukuran aset masing-masing yang kira-kira sama dengan HRUM. Sedangkan Mr. Haliman juga masuk daftar karena kepemilikan sahamnya di Agung Podomoro Land (APLN), yang juga listing kemarin. Padahal APLN ini hanyalah sebagian kecil dari total aset yang dimiliki oleh Agung Podomoro Grup.
Itu baru sekelumit. Bagaimana dengan orang-orang kaya lainnya? Silahkan anda cek sendiri.
Selain sebagian besar dari angka kekayaan yang dicantumkan tidak begitu akurat, Forbes juga ‘lupa’ memasukkan beberapa nama yang tidak kalah kayanya dengan 40 orang terkaya di Indonesia tersebut. Misalnya Tommy Winata, pemilik Artha Graha Grup, Agung Sedayu Grup, kompleks perkantoran prestisius Sudirman Center Business District, dan masih banyak lagi. Atau Tommy Soeharto, salah satu pewaris utama Keluarga Cendana. Dan bagaimana dengan Ibrahim Risjad, yang kemarin dapet US$ 1.5 milyar hasil menjual Berau Coal ke Recapital? Dan seterusnya.
Forbes sendiri mengakui kalau daftarnya nggak lengkap, dan datanya juga nggak begitu akurat. Menurut Millie Stephanie, CEO Forbes Indonesia, Forbes hanya menghitung kekayaan para konglomerat tersebut berdasarkan kepemilikan saham mereka di perusahaan yang terbuka (listing di bursa). Diluar itu tidak dihitung, karena datanya sulit ditemukan. Karena itulah Keluarga Cendana misalnya, tidak ikut dihitung karena perusahaan-perusahaan mereka (yang jumlahnya ratusan) kebanyakan merupakan perusahaan private yang tidak listing di bursa manapun, jadi tidak ada yang tahu persis berapa kekayaan mereka, kecuali mereka sendiri.
Well, alasan yang cukup masuk akal sih, dan memang gak segampang itu juga untuk memperkirakan berapa jumlah harta kekayaan seseorang atau sebuah keluarga (yang tahu persis ya mereka sendiri). Tapi kalau begitu seharusnya Forbes gak usah terlalu pede gitu dong ketika merilis daftarnya!
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki majalah atau media massa ekonomi yang mampu membuat daftar yang serupa. Kan aneh, masa orang asing (Forbes ini kan dari Amerika) lebih tahu siapa saja orang-orang terkaya di Indonesia daripada orang Indonesianya sendiri? Koran Bisnis Indonesia atau Majalah SWA kemana aja nih?
Tapi mungkin, para orang kaya itu juga seneng ‘dikatain miskin’ sama Forbes. Pasalnya itu mempermudah mereka dalam berurusan dengan pajak. Seperti diberitakan, belum apa-apa Dirjen Pajak menyatakan akan mengecek pembayaran pajak para orang kaya tersebut. Well, mungkin para orang kaya ini bukannya males bayar pajak atau berkontribusi bagi negara, tapi mereka agak kurang percaya aja sama pemerintah. Kebanyakan grup konglomerasi ini lebih memilih mendirikan yayasan nirlaba yang menyumbang langsung ke masyarakat Indonesia, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan sembako, dalam rangka CSR. RGE punya Tanoto Foundation, Grup Sinarmas punya Eka Tjipta Foundation, Grup Para punya Chairul Tanjung Foundation. Bahkan Grup Bakrie yang disebut-sebut terlibat dengan kasus Gayus Tambunan, juga memiliki Achmad Bakrie Foundation.
Tapi bagaimana dengan Lapindo? Sorry, itu lain cerita. Btw, nilai kekayaan Keluarga Cikeas kira-kira berapa ya?
Komentar
Konglomerat Indonesia mungkin perlu mendirikan semacam Yayasan Induk jadi supaya lebih kelihatan bersatu dan kontribusinya ke masyarakat, lagian lebih gampang mengaturnya,
Jangan biasakan cuma baca artikel yg gratisan. ayo biasakan berani keluar modal, kalau mau artikel dan ulasan bermutu