Bank Bukopin
Beberapa waktu terakhir, penulis menerima cukup banyak email dari teman-teman investor yang menanyakan soal Bank Bukopin (BBKP). Dan setelah penulis cek, ketauan sebabnya. Sepertinya beberapa investor terjebak membeli BBKP ini di harga diatas 700 per saham, karena dipengaruhi kabar bahwa BBKP akan diakuisisi oleh, kalau bukan Bank BRI (BBRI) ya Jamsostek. Memang pada Agustus lalu saham BBKP melambung dari 640 hingga sempat menyentuh 760 karena kabar akuisisi ini. Belakangan, BBKP malah turun lagi dan kembali ke level 640.
Penyebab turunnya BBKP cukup jelas sebenarnya, yaitu karena pihak manajemen menegaskan bahwa mereka tidak akan diakuisisi perusahaan manapun, termasuk BBRI. BBKP lebih memilih right issue untuk menambah modalnya yang memang lagi seret, dengan Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo, pemilik mayoritas BBKP saat ini) sebagai pembeli siaganya. Jadi BBKP tidak akan dimasuki oleh perusahaan manapun. Tapi kemudian ada kabar lagi kalau BBKP membatalkan right issue-nya, dan lebih memilih menjual subdebt senilai Rp 1 trilyun kepada Jamsostek untuk menambah modalnya. Penulis kira inilah yang membuat saham BBKP akhirnya tertekan, karena kabar seputarnya simpang siur, sehingga investor jadi bingung. Jadi mereka maunya apa sih? Right issue atau subdebt? Atau malah opsi lainnya lagi?
Tapi yang jelas, BBKP menolak diakuisisi oleh perusahaan tertentu manapun, dan penulis kira hal inilah yang menjadi pemicu utama tertekannya harga saham BBKP, sama seperti ketika Medco Energi (MEDC) jatuh karena beredar kabar bahwa akuisisi Pertamina terhadapnya batal. Kalau kita cek kinerjanya, maka wajar kalau manajemen BBKP menolak menyerahkan ‘harta’ mereka ke orang lain. Kinerja BBKP pada kuartal III 2010 terbilang sedang, gak terlalu bagus tapi juga gak terlalu jelek. Masalahnya hanya terletak pada modalnya yang seret (CAR-nya cuma 12.17%), sehingga BBKP harus menambah modalnya. Peluang inilah yang lalu ditangkap oleh BBRI yang kemudian menawarkan tambahan modal dalam bentuk akuisisi. Tapi Kopelindo sebagai pemilik mayoritas BBKP jelas nggak mau. Ngapain BBKP dijual? Lha perusahaannya masih menghasilkan kok.
Tapi waktu kemarin BBRI ngambil Bank Agro (AGRO), prosesnya keliatannya mulus-mulus aja tuh? Ya itu karena pemilik AGRO yaitu Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun), menilai bahwa AGRO tidak begitu menguntungkan. Jadi kalau ada yang mau beli ya sok aja. Dan kalau kita cek kinerjanya, AGRO memang gak begitu bagus.
Kalau kita cek lebih jauh ke belakang, merger atau akuisisi adalah hal yang tidak begitu disukai oleh perusahaan milik negara, termasuk bank-bank BUMN, terutama bagi pihak yang ‘ditindas’ (diakuisisi). Kenapa memangnya? Ya sekarang coba saja anda bayangkan kalau anda adalah Dirut BBKP, alias pimpinan puncak di BBKP yang bisa tunjuk sana sini. Kalau BBKP diambil sama BBRI, maka anda tidak lagi menjadi pimpinan puncak, melainkan anak buah dari Dirut-nya BBRI. Apa anda bersedia? Saya sih nggak lah. Demikian pula dengan dewan komisarisnya, bisa-bisa mereka kehilangan pekerjaannya. Makanya ketika kemarin empat bank BUMN yaitu Bank Mandiri (BMRI), Bank BRI (BBRI), Bank BNI (BBNI), dan Bank BTN (BBTN) sempat diusulkan untuk merger dengan alasan efisiensi, para dewan direksinya serentak menolaknya mentah-mentah. Meski negara sebagai pemilik dari bank-bank BUMN tersebut seharusnya memiliki kekuasaan untuk memaksakan merger, tapi biasanya hal ini cuma jadi alat tawar menawar bagi para pejabat negara yang terkait, dengan para petinggi bank-bank tersebut.
Ceritanya baru akan berbeda kalau bank yang akan dimerger/diakuisisi memiliki kinerja yang buruk, sehingga manajemennya mau gak mau harus nurut agar kinerjanya membaik. Hal ini pernah terjadi tahun 1998 lalu, ketika 4 bank yang kinerjanya hancur-hancuran karena krisis moneter, akhirnya bersedia dimerger untuk menjadi bank yang sekarang kita kenal dengan nama Bank Mandiri. Itupun setelah pemerintah bersedia mengucurkan dana Rp 600 trilyun untuk menyelamatkan keempat bank tersebut.
Balik lagi ke masalah BBKP. Gimana sih fundamentalnya? Pada harga 640, PER-nya cuma 8.7 kali, dan PBV-nya juga cuma 1.4 kali. Berarti seharusnya murah banget dong? Yup, memang murah. Meski kinerja BBKP nggak sebagus BMRI misalnya, tapi BBKP ini masih lumayan. Rating kinerjanya pada kuartal III 2010 adalah BBB. Masalahnya, seperti yang sudah disebut diatas, modal BBKP agak terlalu kecil dibanding total asetnya, sehingga BBKP butuh tambahan modal setidaknya Rp 1 trilyun. Karena akuisisi tampaknya nggak mungkin, maka yang lebih mungkin adalah right issue, yang itu berarti saham BBKP nantinya akan terdilusi. Mungkin ini juga salah satu yang dikhawatirkan investor sehingga akhirnya saham BBKP tertekan.
Tapi dalam jangka panjang, penulis kira saham BBKP akan bangkit lagi. Sebab penambahan modal tersebut akan memberi efek positif bagi BBKP untuk bisa berekspansi kembali, dan dilusi yang terjadi juga tidak akan terlalu besar. Perhitungan kasarnya begini: Kalau right issue-nya 1 trilyun, dan harga per sahamnya 500, maka jumlah saham BBKP akan bertambah 2 milyar lembar. Jumlah saham BBKP saat ini adalah 6.1 milyar lembar, jadi saham BBKP nantinya akan menjadi 8.1 milyar lembar. Kalau berpatokan pada laba bersih BBKP saat ini yaitu 336 milyar, maka PER BBKP berdasarkan jumlah saham yang 8.1 milyar lembar adalah 11.6 kali. Masih murah kan? Rata-rata PER sektor perbankan pada saat ini adalah 15 - 17 kali. Dan tentunya laba bersih BBKP dimasa depan kemungkinan besar akan bertambah seiring dengan langkah BBKP berekspansi setelah mendapat modal tambahan. Jadi PER-nya bisa lebih kecil dari 11.6 kali.
(Buat temen-temen pembaca yang masih agak bingung dengan ilustrasi perhitungan PER diatas, bisa baca artikel ini http://teguhidx.blogspot.com/2010/05/price-earning-ratio-dan-price-to-book.html)
So, bagi anda yang nyangkut di BBKP, santai saja. Trust me, dalam waktu long term dia akan naik lagi untuk kembali ke 700-an atau bahkan lebih, bisa 6 bulan lagi, bisa 12 bulan lagi dari sekarang, tentunya dengan catatan pergerakan IHSG normal. Tapi kalau anda nggak sabar ya udah cut loss aja. BBKP mungkin belum akan menguat kembali dalam waktu dekat, karena selain sentimen yang beredar masih negatif, proses right issue-nya (yang juga masih belum jelas apakah akan right issue atau lainnya, tapi kemungkinan besar sih right issue) sepertinya masih lama.
Penyebab turunnya BBKP cukup jelas sebenarnya, yaitu karena pihak manajemen menegaskan bahwa mereka tidak akan diakuisisi perusahaan manapun, termasuk BBRI. BBKP lebih memilih right issue untuk menambah modalnya yang memang lagi seret, dengan Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo, pemilik mayoritas BBKP saat ini) sebagai pembeli siaganya. Jadi BBKP tidak akan dimasuki oleh perusahaan manapun. Tapi kemudian ada kabar lagi kalau BBKP membatalkan right issue-nya, dan lebih memilih menjual subdebt senilai Rp 1 trilyun kepada Jamsostek untuk menambah modalnya. Penulis kira inilah yang membuat saham BBKP akhirnya tertekan, karena kabar seputarnya simpang siur, sehingga investor jadi bingung. Jadi mereka maunya apa sih? Right issue atau subdebt? Atau malah opsi lainnya lagi?
Tapi yang jelas, BBKP menolak diakuisisi oleh perusahaan tertentu manapun, dan penulis kira hal inilah yang menjadi pemicu utama tertekannya harga saham BBKP, sama seperti ketika Medco Energi (MEDC) jatuh karena beredar kabar bahwa akuisisi Pertamina terhadapnya batal. Kalau kita cek kinerjanya, maka wajar kalau manajemen BBKP menolak menyerahkan ‘harta’ mereka ke orang lain. Kinerja BBKP pada kuartal III 2010 terbilang sedang, gak terlalu bagus tapi juga gak terlalu jelek. Masalahnya hanya terletak pada modalnya yang seret (CAR-nya cuma 12.17%), sehingga BBKP harus menambah modalnya. Peluang inilah yang lalu ditangkap oleh BBRI yang kemudian menawarkan tambahan modal dalam bentuk akuisisi. Tapi Kopelindo sebagai pemilik mayoritas BBKP jelas nggak mau. Ngapain BBKP dijual? Lha perusahaannya masih menghasilkan kok.
Tapi waktu kemarin BBRI ngambil Bank Agro (AGRO), prosesnya keliatannya mulus-mulus aja tuh? Ya itu karena pemilik AGRO yaitu Dana Pensiun Perkebunan (Dapenbun), menilai bahwa AGRO tidak begitu menguntungkan. Jadi kalau ada yang mau beli ya sok aja. Dan kalau kita cek kinerjanya, AGRO memang gak begitu bagus.
Kalau kita cek lebih jauh ke belakang, merger atau akuisisi adalah hal yang tidak begitu disukai oleh perusahaan milik negara, termasuk bank-bank BUMN, terutama bagi pihak yang ‘ditindas’ (diakuisisi). Kenapa memangnya? Ya sekarang coba saja anda bayangkan kalau anda adalah Dirut BBKP, alias pimpinan puncak di BBKP yang bisa tunjuk sana sini. Kalau BBKP diambil sama BBRI, maka anda tidak lagi menjadi pimpinan puncak, melainkan anak buah dari Dirut-nya BBRI. Apa anda bersedia? Saya sih nggak lah. Demikian pula dengan dewan komisarisnya, bisa-bisa mereka kehilangan pekerjaannya. Makanya ketika kemarin empat bank BUMN yaitu Bank Mandiri (BMRI), Bank BRI (BBRI), Bank BNI (BBNI), dan Bank BTN (BBTN) sempat diusulkan untuk merger dengan alasan efisiensi, para dewan direksinya serentak menolaknya mentah-mentah. Meski negara sebagai pemilik dari bank-bank BUMN tersebut seharusnya memiliki kekuasaan untuk memaksakan merger, tapi biasanya hal ini cuma jadi alat tawar menawar bagi para pejabat negara yang terkait, dengan para petinggi bank-bank tersebut.
Ceritanya baru akan berbeda kalau bank yang akan dimerger/diakuisisi memiliki kinerja yang buruk, sehingga manajemennya mau gak mau harus nurut agar kinerjanya membaik. Hal ini pernah terjadi tahun 1998 lalu, ketika 4 bank yang kinerjanya hancur-hancuran karena krisis moneter, akhirnya bersedia dimerger untuk menjadi bank yang sekarang kita kenal dengan nama Bank Mandiri. Itupun setelah pemerintah bersedia mengucurkan dana Rp 600 trilyun untuk menyelamatkan keempat bank tersebut.
Balik lagi ke masalah BBKP. Gimana sih fundamentalnya? Pada harga 640, PER-nya cuma 8.7 kali, dan PBV-nya juga cuma 1.4 kali. Berarti seharusnya murah banget dong? Yup, memang murah. Meski kinerja BBKP nggak sebagus BMRI misalnya, tapi BBKP ini masih lumayan. Rating kinerjanya pada kuartal III 2010 adalah BBB. Masalahnya, seperti yang sudah disebut diatas, modal BBKP agak terlalu kecil dibanding total asetnya, sehingga BBKP butuh tambahan modal setidaknya Rp 1 trilyun. Karena akuisisi tampaknya nggak mungkin, maka yang lebih mungkin adalah right issue, yang itu berarti saham BBKP nantinya akan terdilusi. Mungkin ini juga salah satu yang dikhawatirkan investor sehingga akhirnya saham BBKP tertekan.
Tapi dalam jangka panjang, penulis kira saham BBKP akan bangkit lagi. Sebab penambahan modal tersebut akan memberi efek positif bagi BBKP untuk bisa berekspansi kembali, dan dilusi yang terjadi juga tidak akan terlalu besar. Perhitungan kasarnya begini: Kalau right issue-nya 1 trilyun, dan harga per sahamnya 500, maka jumlah saham BBKP akan bertambah 2 milyar lembar. Jumlah saham BBKP saat ini adalah 6.1 milyar lembar, jadi saham BBKP nantinya akan menjadi 8.1 milyar lembar. Kalau berpatokan pada laba bersih BBKP saat ini yaitu 336 milyar, maka PER BBKP berdasarkan jumlah saham yang 8.1 milyar lembar adalah 11.6 kali. Masih murah kan? Rata-rata PER sektor perbankan pada saat ini adalah 15 - 17 kali. Dan tentunya laba bersih BBKP dimasa depan kemungkinan besar akan bertambah seiring dengan langkah BBKP berekspansi setelah mendapat modal tambahan. Jadi PER-nya bisa lebih kecil dari 11.6 kali.
(Buat temen-temen pembaca yang masih agak bingung dengan ilustrasi perhitungan PER diatas, bisa baca artikel ini http://teguhidx.blogspot.com/2010/05/price-earning-ratio-dan-price-to-book.html)
So, bagi anda yang nyangkut di BBKP, santai saja. Trust me, dalam waktu long term dia akan naik lagi untuk kembali ke 700-an atau bahkan lebih, bisa 6 bulan lagi, bisa 12 bulan lagi dari sekarang, tentunya dengan catatan pergerakan IHSG normal. Tapi kalau anda nggak sabar ya udah cut loss aja. BBKP mungkin belum akan menguat kembali dalam waktu dekat, karena selain sentimen yang beredar masih negatif, proses right issue-nya (yang juga masih belum jelas apakah akan right issue atau lainnya, tapi kemungkinan besar sih right issue) sepertinya masih lama.
Komentar
Oia, kalau boleh bisa gak diulas tentang KARK ? ;-)
Terus Berkarya..
Boleh dong diulas KARK, saham 50 dengan PER rendah (terlihat murah) padahal kinerja jelek ROE sangat kecil..
Saya yakin banyak teman2 yg nyangkut di saham 50an seperti ini karena menganggap harganya murah (termasuk saya, hehe)..
Mohon analisanya Mas, tentang KARK atau bagaimana menyikapi saham 50an.. Kapan saham 50an layak dikoleksi.. agar tidah jatuh ke lubang yang sama..
btw tolong analisa untuk TGKA dan ASGR donk mas, kayaknya nih emiten murah tapi koq gk gerak2 ya...
makasih sebelumnya
mas Teguh, ngitung PER nya gimana ?
LABA BERSIH / LEMBAR SAHAM.
336 milyar / 8.1 milyar = 41x PER
tolong penjelasannya dong.
terima kasih