Krakatau Steel
Di IDX alias BEI, sektor logam besi dan baja tidak begitu populer jika dibandingkan dengan sektor logam lainnya seperti nikel dan timah. Penyebabnya karena Indonesia memang bukan merupakan salah satu negara produsen besi terbesar di dunia, seperti India dan China. Karena itu, pemain di bisnis besi dan baja ini di tanah air tidak begitu banyak. Krakatau Steel boleh dikatakan adalah satu-satunya pemain besar di Indonesia di bidang ini. Seberapa besar? Pada fist half 2010, Krakatau Steel mencatat total aset sekitar Rp 13.3 trilyun.
Meski sektor besi dan baja kurang populer di stock market, namun sektor ini sebenarnya merupakan tulang punggung dari industrialisasi, dan bahkan pembangunan suatu negara dan dunia secara keseluruhan. Tanpa adanya besi dan baja, maka tidak akan ada industri otomotif, industri elektronik, industri mesin, industri pesawat terbang, industri kilang minyak, industri perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya. Besi dan baja juga penting untuk pembangunan, seperti untuk kerangka dan fondasi rumah-rumah dan gedung bertingkat, untuk jembatan dan jalan raya termasuk untuk tiang-tiang lampu penerang jalan, hingga untuk mendirikan pabrik-pabrik. Benda-benda militer yang dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan negara seperti tank, senapan, hingga roket, juga dibuat dari besi dan baja. Pendek kata, tanpa benda yang biasa kita sebut dengan ‘besi dan baja’ ini, maka dunia tidak akan menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini. Komputer atau handphone yang anda gunakan untuk membaca blog ini juga tidak akan ada jika besi dan baja tidak pernah ada.
Nah, karena konsumen utama dari besi dan baja ini adalah kalangan industri dan pembangunan negara, maka kinerja para perusahaan besi dan baja mudah dipengaruhi oleh jumlah permintaan besi dan baja dari dua bidang tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Alhasil jika industri lagi mandek sebentar karena krisis ekonomi, maka otomatis pendapatan para perusahaan besi dan baja akan terpengaruh. Demikian juga jika pembangunan suatu negara lagi ‘rehat’ sejenak kaena krisis moneter, maka perusahaan besi dan baja mau tak mau harus ikutan libur atau mengurangi produksinya. Sebaliknya, jika industri dan pembangunan lagi on fire, maka para perusahaan besi dan baja akan kebanjiran order, dan harga baja juga akan naik karena melonjaknya permintaan.
Lalu bagaimana dengan kinerja Krakatau Steel?
Sebelum kita bahas kinerjanya, ada beberapa poin mengenai Krakatau Steel yang perlu anda ketahui:
1. Karena sebagian besar produksi besi dan baja Krakatau Steel dijual ke pasar dalam negeri, maka kondisi ekonomi nasional lebih berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan dibanding kondisi ekonomi global.
2. Krakatau Steel hanya memproduksi besi dan baja mentah (crude steel) dengan berbagai bentuknya, yang harus diolah kembali sebelum bisa digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai industri. Krakatau Steel bahkan belum bisa membuat baja anti karat alias stainless steel. Akibatnya, Krakatau Steel tidak dapat menentukan harga jual produknya sendiri, melainkan tergantung oleh harga baja dunia, karena perusahaan hanya bisa menjual produknya ke perusahaan baja hilir dan bukan ke konsumen langsung. Mungkin akan beda ceritanya jika Krakatau Steel menguasai sektor per-baja-an dari hulu hingga hilir, sehingga mereka bisa langsung menjual produknya ke berbagai industri. Kalau kejadiannya seperti itu, maka perusahaan akan dapat menentukan harga jual produknya sendiri, sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan pembeli, dan tidak lagi bergantung pada harga baja dunia.
3. Pasokan bijih besi Krakatau Steel cukup cukup tergantung oleh impor. Perusahaan memang juga mendapat pasokan bijih besi dari tambang kecil di Cilegon, tapi jumlahnya sedikit. Kalau pasokan bijih besi impor ini tersendat, atau harganya dimahalin sama yang punya barang, maka otomatis biaya operasional Krakatau Steel akan membengkak, dan akhirnya menurunkan laba bersihnya.
Kesimpulannya, pendapatan Krakatau Steel setiap tahunnya ditentukan oleh tiga faktor berikut: 1. Kondisi ekonomi, terutama ekonomi nasional, 2. Harga baja dunia, dan 3. Biaya operasional.
Sekarang mari kita lihat kinerja Krakatau Steel. Pada tahun 2005, perusahaan mencetak laba bersih Rp 184 milyar. Pada 2006, angka ini justru jeblok menjadi minus Rp 135 milyar, alias rugi. Padahal pendapatan perusahaan sendiri justru naik dari Rp 11.6 trilyun menjadi Rp 12.1 trilyun. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena membengkaknya biaya pokok dan operasional, dari total Rp 11.0 trilyun menjadi Rp 12.3 trilyun. Mungkin ketika itu harga bijih besi lagi mahal-mahalnya, sedangkan harga baja lagi biasa-biasa saja.
Pada 2007, kinerja perusahaan kembali pulih dengan mencetak laba bersih Rp 313 milyar. Pada 2008, laba bersih Krakatau Steel tetap tumbuh menjadi Rp 460 milyar meski dunia mulai keracunan krisis global, dan belanjut menjadi Rp 495 milyar pada 2009. Dan terakhir pada 1H10 kemarin, Krakatau Steel mencetak laba bersih Rp 998 milyar. So, secara historis Krakatau Steel senantiasa mencatat peningkatan kinerja yang cukup menggembirakan sejak tahun 2007. Pertanyaaannya, bagaimana kedepannya?
Menurut Direktur Utama perusahaan, Fazwar Bujang, kenaikan laba bersih yang cukup signifikan pada 1H10 ditopang oleh meningkatnya permintaan baja seiring dengan membaiknya perekonomian, dan karena naiknya harga baja dunia (persis seperti yang kita bahas diatas). Lalu bagaimana jika kebetulan permintaan baja lagi seret, dan harganya juga lagi murah? Maka tentu pendapatan perusahaan akan tertekan. Jadi meski kinerja perusahaan dalam tiga tahun terakhir terbilang baik, namun tidak ada jaminan sama sekali kalau kinerja perusahaan kedepannya akan sama baiknya. Semuanya tergantung pada kondisi ekonomi, perkembangan harga baja, dan juga biaya operasional, terutama harga bijih besi sebagai bahan baku pembuatan baja.
Prospek IPO Krakatau Steel
Perusahaan terbuka yang bergerak di bidang natural resources, pada umumnya harga sahamnya mudah dipengaruhi oleh harga komoditas yang menjadi produk utamanya tersebut. Penyebabnya sama: karena perusahaan-perusaahaan tersebut hanya bergerak di sektor hulu, mengambil hasil alam kemudian langsung menjualnya, atau mengolahnya menjadi barang setengah jadi kemudian menjualnya, tanpa mengolahnya sampai tuntas hingga menjadi barang-barang yang siap pakai. So, kalau harga komoditas lagi naik, maka biasanya harga saham perusahaan yang bersangkutan juga akan naik. Misalnya Medco Energi (MEDC) yang mudah dipengaruhi harga minyak bumi, atau International Nickel (INCO) yang dipengaruhi harga logam nikel, atau PT Timah (TINS) yang dipengaruhi harga logam timah, dan seterusnya. Alhasil, bagaimana dengan pergerakan harga sahamnya di market dalam jangka panjang? Ya naik dan turun, tergantung dari naik turunnya harga komoditas yang mereka produksi.
Contohnya MEDC, yang ketika artikel ini ditulis, harganya lagi tinggi (nyampe 3,400) karena harga minyak yang lagi diatas US$ 80 per bbl, selain karena isu akuisisi oleh Pertamina. Ternyata tepat setahun yang lalu (12 Oktober 2009), MEDC juga berada di posisi 3,125, alias posisi yang gak begitu jauh dari posisinya sekarang. Kenapa begitu? Mungkin karena harga minyak pada saat itu (setahun yang lalu) berada di kisaran US$ 65 – 75 per bbl, alias gak beda jauh dengan harga minyak saat ini. Beberapa waktu lalu ketika harga minyak turun ke US$ 60-an, harga MEDC juga tertahan di 2,500-an. Wajar jika kemudian MEDC ini hanya cocok untuk investasi jangka pendek.
Kalau harga minyak bisa naik lagi hingga menyentuh US$ 90 per bbl, misalnya, maka otomatis MEDC juga bisa naik lebih tinggi lagi. Tapi masa iya kita mau ngeharepin harga minyak bisa terus naik sampe setinggi itu? Memang sih, bukan mustahil harga minyak bisa naik lebih tinggi lagi. Jangankan US$ 90, US$ 100 juga mungkin saja. Namun yang lebih mungkin terjadi adalah, harga minyak akan kembali turun ke US$ 75-an per bbl. Saat itulah maka MEDC juga akan turun. That's why MEDC hanya cocok untuk jangka pendek.
Bagaimana dengan Krakatau Steel? Secara fundamental, kinerjanya pada 1H10 terbilang cukup bagus. Namun sekali lagi, karena kinerja Krakatau Steel ini kedepannya mudah dipengaruhi oleh harga baja, maka otomatis harga sahamnya di market nanti juga akan mudah naik dan turun, tergantung dari harga baja. Artinya? Krakatau Steel ini sebaiknya dikoleksi untuk jangka pendek saja: beli ketika harga baja lagi rendah, dan jual ketika harga baja lagi tinggi.
Sebenarnya, seperti yang sudah dibahas diatas, kondisi ekonomi nasional dan biaya operasional juga akan berperan penting terhadap perkembangan harga saham Krakatau Steel di market. Namun dua poin tersebut ukurannya agak rumit, sehingga sulit untuk diamati naik turunnya. Berbeda dengan harga baja yang ukurannya simpel dan jelas: sekian dollar per ton, sehingga harga baja inilah yang akan lebih berpengaruh terhadap harga saham Krakatau Steel dibanding dua poin lainnya.
Mungkin itu sebabnya, kalau kita cermati press release atau pengumuman yang rutin dikeluarkan oleh perusahaan, banyak diantaranya yang berjudul, ‘harga baja diprediksi bakal naik’, atau ‘harga baja diperkirakan akan kembali naik’, ya poko’nya naik aja terus, gak peduli meski harganya udah selangit. Harapannya tentu agar investor ramai-ramai menginvestasikan dana mereka.
Bagaimana dengan harga sahamnya? Ketika artikel ini ditulis, Krakatau Steel belum mengumumkan mengenai berapa harga saham yang akan dilepas ketika IPO nanti. Namun berapapun itu, sebaiknya anda jangan tergesa-gesa mengkoleksinya jika nanti ada banyak pendapat yang menyebutkan bahwa harga tersebut mahal. Dua IPO pada harga mahal kemarin, HRUM dan ICBP, ternyata harganya memang benar-benar kesulitan untuk menanjak, karena sejak awal harganya memang sudah mahal. Kecuali pada hari perdagangan perdananya, itupun cuma sebentar. Tapi beda ceritanya kalau harga IPO Krakatau Steel nanti ternyata murah, atau setidaknya masuk akal lah.
Btw, di internet ada banyak situs yang menyajikan perkembangan harga baja, namun yang paling bagus menurut saya adalah http://www.steelguru.com/, karena menggunakan harga baja India dan China, produsen utama baja dunia, sebagai patokannya.
Analisis Ini Akan Berbeda, Jika..
Salah satu alasan utama Krakatau Steel tidak bisa dijadikan sebagai pilihan long term adalah, karena perusahaan memiliki rasio profitabilitas yang lemah. Pada 1H10, nilai laba bersih Krakatau Steel memang mencapai 11% dari penjualannya. Namun dalam 5 tahun terakhir, nilai penjualan rata-rata Rp 15 trilyun. Tapi laba bersihnya? Rata-rata cuma Rp 300 milyar, alias hanya 2% dari penjualan. Kenapa begitu? Ya balik lagi ke masalah bahan baku: Perusahaan harus mengimpor bijih besi dari luar negeri, sehingga biaya produksi menjadi mahal. Pertanyaannya, emang Indonesia gak punya tambang bijih besi yang memadai? Jawabannya, punya! Kebanyakan terletak di Kalimantan. Dan meski jumlah produksinya tak sebanyak India dan China, tapi cukuplah untuk menyuplai kebutuhan bijih besi Krakatau Steel. Toh kapasitas produksi Krakatau Steel juga cuma sekitar 2.5 - 3 juta ton per tahun.
Sayangnya, entah mengapa seluruh bijih besi tersebut diekspor ke China, sementara Krakatau Steel harus mengimpor dari Australia. Aneh bukan? Tapi ya begitulah kejadiannya.
Itu kalau dilihat dari sisi hulu. Dari sisi hilir, Krakatau Steel tidak memproduksi baja siap pakai, melainkan hanya baja mentah. Kita tentu tahu kalau Krakatau Steel ini bukan perusahaan yang baru berdiri kemarin sore. BUMN ini sudah berdiri lama sejak tahun 70-an. Jadi seharusnya, perusahaan ini sudah memiliki cukup pengalaman untuk merambah sisi hilir dari bisnis baja. Tapi kalau kita perhatikan anak-anak usahanya, Krakatau Steel ternyata tidak mengintegrasikan bisnisnya di sektor besi dan baja dari hulu hingga hilir, melainkan melebar kemana-mana. Krakatau Steel punya anak usaha di bidang listrik, air minum, pelabuhan, hingga properti. Kalo saya jadi menteri BUMN, saya akan bertanya ke direksi Krakatau Steel: Kenapa kalian gak bikin pabrik produk baja turunan aja sih? Pabrik stainless steel misalnya? Siapa tahu suatu hari nanti kalian gak perlu lagi bikin press release soal harga baja..
Jadi, kapan Krakatau Steel bisa dikoleksi sebagai pilihan investasi dan bukan cuma untuk trading? Ya jika nanti perusahaan tidak lagi mengimpor bahan bakunya, dan jika perusahaan sudah bisa membuat produk baja turunan, gak cuma baja mentah.
Well, that’s from me about Krakatau Steel. Buat temen-temen jurnalis atau siapapun, anda diperbolehkan mengutip sebagian atau seluruh artikel ini, dengan catatan nama penulisnya disebutkan, sebagai analis independen.
Meski sektor besi dan baja kurang populer di stock market, namun sektor ini sebenarnya merupakan tulang punggung dari industrialisasi, dan bahkan pembangunan suatu negara dan dunia secara keseluruhan. Tanpa adanya besi dan baja, maka tidak akan ada industri otomotif, industri elektronik, industri mesin, industri pesawat terbang, industri kilang minyak, industri perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya. Besi dan baja juga penting untuk pembangunan, seperti untuk kerangka dan fondasi rumah-rumah dan gedung bertingkat, untuk jembatan dan jalan raya termasuk untuk tiang-tiang lampu penerang jalan, hingga untuk mendirikan pabrik-pabrik. Benda-benda militer yang dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan negara seperti tank, senapan, hingga roket, juga dibuat dari besi dan baja. Pendek kata, tanpa benda yang biasa kita sebut dengan ‘besi dan baja’ ini, maka dunia tidak akan menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini. Komputer atau handphone yang anda gunakan untuk membaca blog ini juga tidak akan ada jika besi dan baja tidak pernah ada.
Nah, karena konsumen utama dari besi dan baja ini adalah kalangan industri dan pembangunan negara, maka kinerja para perusahaan besi dan baja mudah dipengaruhi oleh jumlah permintaan besi dan baja dari dua bidang tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Alhasil jika industri lagi mandek sebentar karena krisis ekonomi, maka otomatis pendapatan para perusahaan besi dan baja akan terpengaruh. Demikian juga jika pembangunan suatu negara lagi ‘rehat’ sejenak kaena krisis moneter, maka perusahaan besi dan baja mau tak mau harus ikutan libur atau mengurangi produksinya. Sebaliknya, jika industri dan pembangunan lagi on fire, maka para perusahaan besi dan baja akan kebanjiran order, dan harga baja juga akan naik karena melonjaknya permintaan.
Lalu bagaimana dengan kinerja Krakatau Steel?
Sebelum kita bahas kinerjanya, ada beberapa poin mengenai Krakatau Steel yang perlu anda ketahui:
1. Karena sebagian besar produksi besi dan baja Krakatau Steel dijual ke pasar dalam negeri, maka kondisi ekonomi nasional lebih berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan dibanding kondisi ekonomi global.
2. Krakatau Steel hanya memproduksi besi dan baja mentah (crude steel) dengan berbagai bentuknya, yang harus diolah kembali sebelum bisa digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai industri. Krakatau Steel bahkan belum bisa membuat baja anti karat alias stainless steel. Akibatnya, Krakatau Steel tidak dapat menentukan harga jual produknya sendiri, melainkan tergantung oleh harga baja dunia, karena perusahaan hanya bisa menjual produknya ke perusahaan baja hilir dan bukan ke konsumen langsung. Mungkin akan beda ceritanya jika Krakatau Steel menguasai sektor per-baja-an dari hulu hingga hilir, sehingga mereka bisa langsung menjual produknya ke berbagai industri. Kalau kejadiannya seperti itu, maka perusahaan akan dapat menentukan harga jual produknya sendiri, sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan pembeli, dan tidak lagi bergantung pada harga baja dunia.
3. Pasokan bijih besi Krakatau Steel cukup cukup tergantung oleh impor. Perusahaan memang juga mendapat pasokan bijih besi dari tambang kecil di Cilegon, tapi jumlahnya sedikit. Kalau pasokan bijih besi impor ini tersendat, atau harganya dimahalin sama yang punya barang, maka otomatis biaya operasional Krakatau Steel akan membengkak, dan akhirnya menurunkan laba bersihnya.
Kesimpulannya, pendapatan Krakatau Steel setiap tahunnya ditentukan oleh tiga faktor berikut: 1. Kondisi ekonomi, terutama ekonomi nasional, 2. Harga baja dunia, dan 3. Biaya operasional.
Sekarang mari kita lihat kinerja Krakatau Steel. Pada tahun 2005, perusahaan mencetak laba bersih Rp 184 milyar. Pada 2006, angka ini justru jeblok menjadi minus Rp 135 milyar, alias rugi. Padahal pendapatan perusahaan sendiri justru naik dari Rp 11.6 trilyun menjadi Rp 12.1 trilyun. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena membengkaknya biaya pokok dan operasional, dari total Rp 11.0 trilyun menjadi Rp 12.3 trilyun. Mungkin ketika itu harga bijih besi lagi mahal-mahalnya, sedangkan harga baja lagi biasa-biasa saja.
Pada 2007, kinerja perusahaan kembali pulih dengan mencetak laba bersih Rp 313 milyar. Pada 2008, laba bersih Krakatau Steel tetap tumbuh menjadi Rp 460 milyar meski dunia mulai keracunan krisis global, dan belanjut menjadi Rp 495 milyar pada 2009. Dan terakhir pada 1H10 kemarin, Krakatau Steel mencetak laba bersih Rp 998 milyar. So, secara historis Krakatau Steel senantiasa mencatat peningkatan kinerja yang cukup menggembirakan sejak tahun 2007. Pertanyaaannya, bagaimana kedepannya?
Menurut Direktur Utama perusahaan, Fazwar Bujang, kenaikan laba bersih yang cukup signifikan pada 1H10 ditopang oleh meningkatnya permintaan baja seiring dengan membaiknya perekonomian, dan karena naiknya harga baja dunia (persis seperti yang kita bahas diatas). Lalu bagaimana jika kebetulan permintaan baja lagi seret, dan harganya juga lagi murah? Maka tentu pendapatan perusahaan akan tertekan. Jadi meski kinerja perusahaan dalam tiga tahun terakhir terbilang baik, namun tidak ada jaminan sama sekali kalau kinerja perusahaan kedepannya akan sama baiknya. Semuanya tergantung pada kondisi ekonomi, perkembangan harga baja, dan juga biaya operasional, terutama harga bijih besi sebagai bahan baku pembuatan baja.
Prospek IPO Krakatau Steel
Perusahaan terbuka yang bergerak di bidang natural resources, pada umumnya harga sahamnya mudah dipengaruhi oleh harga komoditas yang menjadi produk utamanya tersebut. Penyebabnya sama: karena perusahaan-perusaahaan tersebut hanya bergerak di sektor hulu, mengambil hasil alam kemudian langsung menjualnya, atau mengolahnya menjadi barang setengah jadi kemudian menjualnya, tanpa mengolahnya sampai tuntas hingga menjadi barang-barang yang siap pakai. So, kalau harga komoditas lagi naik, maka biasanya harga saham perusahaan yang bersangkutan juga akan naik. Misalnya Medco Energi (MEDC) yang mudah dipengaruhi harga minyak bumi, atau International Nickel (INCO) yang dipengaruhi harga logam nikel, atau PT Timah (TINS) yang dipengaruhi harga logam timah, dan seterusnya. Alhasil, bagaimana dengan pergerakan harga sahamnya di market dalam jangka panjang? Ya naik dan turun, tergantung dari naik turunnya harga komoditas yang mereka produksi.
Contohnya MEDC, yang ketika artikel ini ditulis, harganya lagi tinggi (nyampe 3,400) karena harga minyak yang lagi diatas US$ 80 per bbl, selain karena isu akuisisi oleh Pertamina. Ternyata tepat setahun yang lalu (12 Oktober 2009), MEDC juga berada di posisi 3,125, alias posisi yang gak begitu jauh dari posisinya sekarang. Kenapa begitu? Mungkin karena harga minyak pada saat itu (setahun yang lalu) berada di kisaran US$ 65 – 75 per bbl, alias gak beda jauh dengan harga minyak saat ini. Beberapa waktu lalu ketika harga minyak turun ke US$ 60-an, harga MEDC juga tertahan di 2,500-an. Wajar jika kemudian MEDC ini hanya cocok untuk investasi jangka pendek.
Kalau harga minyak bisa naik lagi hingga menyentuh US$ 90 per bbl, misalnya, maka otomatis MEDC juga bisa naik lebih tinggi lagi. Tapi masa iya kita mau ngeharepin harga minyak bisa terus naik sampe setinggi itu? Memang sih, bukan mustahil harga minyak bisa naik lebih tinggi lagi. Jangankan US$ 90, US$ 100 juga mungkin saja. Namun yang lebih mungkin terjadi adalah, harga minyak akan kembali turun ke US$ 75-an per bbl. Saat itulah maka MEDC juga akan turun. That's why MEDC hanya cocok untuk jangka pendek.
Bagaimana dengan Krakatau Steel? Secara fundamental, kinerjanya pada 1H10 terbilang cukup bagus. Namun sekali lagi, karena kinerja Krakatau Steel ini kedepannya mudah dipengaruhi oleh harga baja, maka otomatis harga sahamnya di market nanti juga akan mudah naik dan turun, tergantung dari harga baja. Artinya? Krakatau Steel ini sebaiknya dikoleksi untuk jangka pendek saja: beli ketika harga baja lagi rendah, dan jual ketika harga baja lagi tinggi.
Sebenarnya, seperti yang sudah dibahas diatas, kondisi ekonomi nasional dan biaya operasional juga akan berperan penting terhadap perkembangan harga saham Krakatau Steel di market. Namun dua poin tersebut ukurannya agak rumit, sehingga sulit untuk diamati naik turunnya. Berbeda dengan harga baja yang ukurannya simpel dan jelas: sekian dollar per ton, sehingga harga baja inilah yang akan lebih berpengaruh terhadap harga saham Krakatau Steel dibanding dua poin lainnya.
Mungkin itu sebabnya, kalau kita cermati press release atau pengumuman yang rutin dikeluarkan oleh perusahaan, banyak diantaranya yang berjudul, ‘harga baja diprediksi bakal naik’, atau ‘harga baja diperkirakan akan kembali naik’, ya poko’nya naik aja terus, gak peduli meski harganya udah selangit. Harapannya tentu agar investor ramai-ramai menginvestasikan dana mereka.
Bagaimana dengan harga sahamnya? Ketika artikel ini ditulis, Krakatau Steel belum mengumumkan mengenai berapa harga saham yang akan dilepas ketika IPO nanti. Namun berapapun itu, sebaiknya anda jangan tergesa-gesa mengkoleksinya jika nanti ada banyak pendapat yang menyebutkan bahwa harga tersebut mahal. Dua IPO pada harga mahal kemarin, HRUM dan ICBP, ternyata harganya memang benar-benar kesulitan untuk menanjak, karena sejak awal harganya memang sudah mahal. Kecuali pada hari perdagangan perdananya, itupun cuma sebentar. Tapi beda ceritanya kalau harga IPO Krakatau Steel nanti ternyata murah, atau setidaknya masuk akal lah.
Btw, di internet ada banyak situs yang menyajikan perkembangan harga baja, namun yang paling bagus menurut saya adalah http://www.steelguru.com/, karena menggunakan harga baja India dan China, produsen utama baja dunia, sebagai patokannya.
Analisis Ini Akan Berbeda, Jika..
Salah satu alasan utama Krakatau Steel tidak bisa dijadikan sebagai pilihan long term adalah, karena perusahaan memiliki rasio profitabilitas yang lemah. Pada 1H10, nilai laba bersih Krakatau Steel memang mencapai 11% dari penjualannya. Namun dalam 5 tahun terakhir, nilai penjualan rata-rata Rp 15 trilyun. Tapi laba bersihnya? Rata-rata cuma Rp 300 milyar, alias hanya 2% dari penjualan. Kenapa begitu? Ya balik lagi ke masalah bahan baku: Perusahaan harus mengimpor bijih besi dari luar negeri, sehingga biaya produksi menjadi mahal. Pertanyaannya, emang Indonesia gak punya tambang bijih besi yang memadai? Jawabannya, punya! Kebanyakan terletak di Kalimantan. Dan meski jumlah produksinya tak sebanyak India dan China, tapi cukuplah untuk menyuplai kebutuhan bijih besi Krakatau Steel. Toh kapasitas produksi Krakatau Steel juga cuma sekitar 2.5 - 3 juta ton per tahun.
Sayangnya, entah mengapa seluruh bijih besi tersebut diekspor ke China, sementara Krakatau Steel harus mengimpor dari Australia. Aneh bukan? Tapi ya begitulah kejadiannya.
Itu kalau dilihat dari sisi hulu. Dari sisi hilir, Krakatau Steel tidak memproduksi baja siap pakai, melainkan hanya baja mentah. Kita tentu tahu kalau Krakatau Steel ini bukan perusahaan yang baru berdiri kemarin sore. BUMN ini sudah berdiri lama sejak tahun 70-an. Jadi seharusnya, perusahaan ini sudah memiliki cukup pengalaman untuk merambah sisi hilir dari bisnis baja. Tapi kalau kita perhatikan anak-anak usahanya, Krakatau Steel ternyata tidak mengintegrasikan bisnisnya di sektor besi dan baja dari hulu hingga hilir, melainkan melebar kemana-mana. Krakatau Steel punya anak usaha di bidang listrik, air minum, pelabuhan, hingga properti. Kalo saya jadi menteri BUMN, saya akan bertanya ke direksi Krakatau Steel: Kenapa kalian gak bikin pabrik produk baja turunan aja sih? Pabrik stainless steel misalnya? Siapa tahu suatu hari nanti kalian gak perlu lagi bikin press release soal harga baja..
Jadi, kapan Krakatau Steel bisa dikoleksi sebagai pilihan investasi dan bukan cuma untuk trading? Ya jika nanti perusahaan tidak lagi mengimpor bahan bakunya, dan jika perusahaan sudah bisa membuat produk baja turunan, gak cuma baja mentah.
Well, that’s from me about Krakatau Steel. Buat temen-temen jurnalis atau siapapun, anda diperbolehkan mengutip sebagian atau seluruh artikel ini, dengan catatan nama penulisnya disebutkan, sebagai analis independen.
Komentar
soalnya yg plg dekat kan ipo tower bersama
-seto-
apakah ada yg dengar mengenai isu isu tadi bila akan ada perubahan yg fundamental tersebut?
Satu lagi, saya lihat perusahaan korea terlibat di management KS....apakah mereka dapat membuat KS menjadi lebih effficient sehingga earnings outlook akan improve?