Agung Podomoro, the Other Side

Hari ini, saya iseng-iseng ikut hadir di acara Public Expose-nya Agung Podomoro di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Sesampainya disana, saya baru ‘ngeh ada yang beda. Apa itu? Yang akan IPO adalah Agung Podomoro Land (ada Land-nya dibelakangnya), bukan Agung Podomoro itu sendiri. Lho memangnya apa bedanya? Jadi begini: Agung Podomoro Land, kita singkat saja APL, adalah anak usaha dari Grup Agung Podomoro.

Pada artikel sebelumnya, saya menulis bahwa Agung Podomoro berdiri pada tahun 2004. Ternyata yang dimaksud adalah APL. Agung Podomoro sendiri sudah berdiri sejak tahun ’70-an, jadi mereka bukanlah perusahaan baru. Beberapa proyek milik perusahaan yang sudah berdiri sejak lama diantaranya adalah perumahan di Simprug (Jakarta Selatan), dan di Sunter (Jakarta Utara).

Sementara APL, sengaja didirikan pada tahun 2004, untuk dijadikan induk dari anak-anak usaha Agung Podomoro yang bergerak di bidang properti untuk konsumen high-end, seperti perumahan mewah, apartemen, mall, dan lain-lain. Mirip seperti ICBP kemarin, yang sengaja didirikan di tahun 2009 untuk menjadi induk bagi anak-anak usaha INDF di bisnis mi instan. Jadi sebenarnya, yang IPO hanyalah salah satu anak usaha dari Grup Agung Podomoro, bukan Agung Podomoro secara keseluruhan. Itu sebabnya, perumahan di Simprug dan Sunter tidak menjadi bagian dari aset APL, karena memang sengaja tidak dimasukkan.


Kalau anda cukup kritis, maka anda akan bertanya: Mengapa yang IPO hanya sebagian? Mengapa tidak seluruhnya saja? Jawabannya mungkin, seperti biasa, terletak di laporan keuangan.

Sebelum kita sekali lagi melirik laporan keuangan APL, kita perhatikan sedikit mengenai industri properti. Bisnis properti berdasarkan target konsumennya dibedakan menjadi tiga, yaitu low, mid, dan high-end. Segmen low-end, alias perumahan murah untuk masyarakat banyak, percaya atau tidak, adalah segmen yang paling menguntungkan. Kenapa? Sebab sebagai salah satu kebutuhan primer manusia, permintaan akan rumah tidak akan pernah habis. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, maka kebutuhan masyarakat akan rumah akan terus bertambah. Dan masyarakat umum dengan pendapatan rata-rata, tentunya tidak menginginkan rumah yang mewah. Asal nyaman untuk tempat tinggal, maka itu sudah cukup. Kondisi ekonomi nasional maupun global juga tidak akan terlalu berpengaruh terhadap penjualan, karena toh harga rumahnya juga murah kok. Malah di daerah tertentu ada yang cuma Rp 70 juta. Alhasil, perusahaan properti yang bergerak di bidang perumahan rakyat, biasanya laba bersihnya cukup besar, karena omzetnya besar! Meskipun laba per rumah yang dijual bisa jadi kecil. Ibarat jualan kacang goreng lah.

Sementara segmen mid-end, misalnya perumahan semi-elit, maka jumlah pembelinya mulai berkurang. Tentunya tidak semua orang Indonesia mampu membeli rumah seharga Rp 300 hingga 900 juta bukan? Apalagi kalau diatas 1 milyar. Jadi meski laba per rumah yang dijual agak besar, namun omzetnya (jumlah rumah yang dijual) jauh lebih kecil dari segmen low. Karena itu, pendapatan perusahaan properti dari segmen ini mulai agak mengecil.

Lalu terakhir, segmen high-end, seperti perumahan elit, apartemen, mall, dan gedung-gedung perkantoran. Jika anda adalah pejabat, pengusaha, atau eksekutif puncak sebuah perusahaan besar, maka anda tentu akan tinggal di rumah atau apartemen mewah seharga milyaran Rupiah. Pertanyaannya, seberapa banyak warga Indonesia dengan profil penghasilan yang buessaarr seperti itu? Jawabannya tentu, sangat sedikit. Sebagian besar masyarakat kita adalah karyawan, buruh, dan pelaku UKM, yang lebih suka tinggal di rumah yang biasa-biasa saja. Mereka tentu pengen juga tinggal di rumah ala anggota dewan, tapi kan gak mungkin, emang duitnya dari mana?

Maka dari itu, pangsa pasar properti untuk segmen high-end sangatlah kecil. Dari 230 juta penduduk Indonesia, mungkin hanya 1 atau 2 juta saja yang mampu membeli properti dengan harga milyaran Rupiah, untuk berbagai tujuan seperti tempat tinggal (rumah yang bagus), transit (apartemen), investasi (toko di pusat perbelanjaan), dan bekerja (gedung kantor). Jadi? Yup, perusahaan properti yang bergerak di segmen high-end ini biasanya pendapatannya sangat kecil, dan juga rawan krisis. Jika terjadi krisis ekonomi, misalnya, maka tentunya para orang kaya akan mikir dua kali untuk membeli barang-barang mahal, termasuk properti. Jadi pangsa pasar yang memang sudah kecil, menjadi lebih kecil lagi ketika terjadi krisis.

Lalu bagaimana dengan APL?

APL, seperti sudah dibahas diatas, adalah anak usaha Agung Podomoro yang khusus bergerak di segmen high-end. Semua proyek milik APL adalah proyek properti yang pembelinya cuma dari kalangan menengah keatas. Itu sebabnya margin keuntungan perusahaan sangat kecil. Pada kurun waktu 2005 – 2009, perusahaan hanya mampu mencetak laba bersih rata-rata 3 milyar (karena perusahaan sempat mengalami rugi pada 2005 dan 2008). Padahal asetnya cukup besar, dimana pada 2005 mencapai 714 milyar, dan menjadi 4.4 trilyun pada 2009. Pada 1H10, laba bersih perusahaan memang melejit menjadi 157 milyar, tapi itu tetep saja kecil, mengingat aset perusahaan juga melonjak menjadi 5.2 trilyun.

Nah, seandainya yang IPO adalah Agung Podomoro, bukan APL, maka sangat mungkin catatan laba bersihnya akan lebih bagus, sebab pendapatan dari aset-aset perusahaan untuk segmen low dan mid-end juga akan diikut sertakan. Tapi sayangnya, yang IPO ternyata hanya APL saja.

Ketika sesi tanya jawab di public expose, ada seorang peserta yang bertanya seperti ini, ‘Kita tahu bahwa Agung Podomoro ini adalah perusahaan yang besar, menguntungkan, dan berpengalaman bertahun-tahun. Kenapa bapak, sebagai pemilik perusahaan, mau membagi keuntungan perusahaan dengan investor kecil seperti kami? Apa motivasi bapak?’. Saya yakin perwakilan perusahaan yang ditanya akan menjawab seperti ini, ‘Lho, siapa bilang kami mau berbagi keuntungan perusahaan dengan anda? Perusahaan yang akan anda beli sahamnya itu adalah bagian dari grup kami yang kurang menguntungkan. Sementara bagian yang menguntungkannya ya tetap kami simpan sendiri, hehehe...’ tapi dalam hati. Well, saya lupa jawabannya seperti apa.

Jadi kalau anda mengharapkan pembagian dividen dari APL ini, maka peluang anda sangat kecil, meski bukan berarti tertutup sama sekali. Secara laba bersih perusahaan juga kecil. Laba perusahaan pada 1H10 memang cukup bagus, namun itu karena kondisi ekonomi kita lagi bagus. IHSG juga naik terus. Tapi kan kita gak bisa berharap tiap hari kondisinya bakal terus seperti ini? Seperti musim hujan dan kemarau, maka suka atau tidak, krisis ekonomi atau setidaknya perlambatan pertumbuhan ekonomi akan tetap menghantam dunia, termasuk Indonesia, setiap beberapa waktu sekali, guna menyesuaikan keadaan ekonomi agar tidak bubble. Saat itulah, pendapatan APL akan kembali tertekan.

Namun berhubung 99% investor di BEI adalah investor yang mengejar keuntungan dari fluktuasi harga saham, dan bukan dari pembagian dividen, maka APL ini tetap layak dikoleksi, karena prospek pertumbuhannya yang cukup menjanjikan. Seperti yang sudah saya bahas di artikel sebelumnya (kalau belum baca, baca dulu), APL kemungkinan akan mudah melejit setiap kali perusahaan mengumumkan bahwa mereka memiliki proyek baru.

Komentar

Tomi mengatakan…
Terima kasih banyak Pak Teguh.

Informasi Bapak sangat membantu saya dalam mengambil keputusan.
Anonim mengatakan…
Prospeknya tower bersama bgmn ya?
Anonim mengatakan…
Profil earnings perusahaan2 real estate tuch memank seperti itu... Sebagian besar dari proyek2 yang masuk ke APL kan belum selesai (89% menurut presentasi), yah tentu incomenya masih kecil donk... Lagian setelah saya lihat portofolio APL, ternyata proyek2nya seperti Green Bay Pluit itu sebetulnya bukan untuk high end melainkan untuk middle class.
Anonim mengatakan…
Sungguh artikel yg sangat bagus membuka mata kita. Keep up the good work Mr.Teguh.

Kalau bisa, saya minta ulasan mengenai saham KARK(Dayaindo Resources International Tbk) juga.

Thks
Anonim mengatakan…
Informasi2 di artikel ini tidak akurat.
Anonim mengatakan…
Thx pak..tp buat koreksi aja, ICBP tdk fokus ke Mie Instan saja..tp ke semua brand indofood yg dapat ditemukan di Supermarket (mie instan, saos/sambal, susu, bumbu instan) :)
Unknown mengatakan…
Tetap semangat pagi pak Teguh, info ini sangat membatu sekali...

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?