Penyebab Turunnya Saham BLTA
Akhir-akhir ini, pasar kembali dibuat khawatir dengan turunnya salah satu saham yang merupakan primadona di sektornya. Berlian Laju Tanker (BLTA) tidak diragukan lagi, merupakan perusahaan jasa transportasi menggunakan kapal tanker terbesar di Indonesia, sehingga rasanya memang agak kurang sreg jika anda tidak ikut memiliki saham perusahaan yang satu ini. Apalagi, pada 1Q10 lalu BLTA berhasil mencatat laba bersih US$ 25 juta, dari sebelumnya rugi US$ 73 juta. Tapi kenapa kok sahamnya malah turun terus? Dan kenapa dalam sebulan terakhir (sejak awal Juli), penurunan tersebut semakin drastis? Ketika artikel ini ditulis, BLTA terpuruk di posisi 240, setelah sebelumnya stabil di 340.
Jika kita melihat kebelakang, BLTA sempat stabil di 600 – 700 pada pertengahan 2009 hingga Mei 2010, sebelum ikut terkena imbas koreksi bulan Mei dan terjerembab di posisi 330-an. Sayangnya tidak seperti saham-saham bluchip lainnya yang segera bangkit, BLTA malah tetap saja di posisi tersebut, dan sekarang malah turun lebih rendah lagi. What’s wrong?
Satu hal yang perlu diingat oleh anda sebagai investor adalah: peningkatan laba bersih tidak selalu berarti peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Yup, jika laporan keuangannya dianalisis secara keseluruhan, kinerja BLTA ini memang tidak cukup baik untuk bisa dikoleksi, meski untuk spekulasi sekalipun. Berdasarkan laporan keuangan 1Q10 (BLTA belum merilis lap keu 1H10), BLTA memiliki aset US$ 2.7 milyar, dimana US$ 2.0 milyar atau 73.7% diantaranya adalah utang. Jumlah utang tersebut naik 18.3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Disisi lain, ekuitasnya justru turun 4.1%.
Sadar jumlah utang-utangnya cukup besar dimana sebagian diantaranya akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, manajemen BLTA melancarkan beberapa strategi untuk mengumpulkan dana segar, yaitu melalui right issue dan penerbitan obligasi. Dengan posisi kas yang hanya US$ 96 juta, tentunya tidak ada jalan lain bagi perseroan untuk membayar utang selain dengan right issue atau mencari utang baru.
Belakangan, strategi penerbitan obligasi tidak jadi dilakukan karena tampaknya perusahaan kesulitan mencari investor strategis yang mau membeli obligasi tersebut. Perusahaan lalu menerbitkan right issue sebanyak 5.6 milyar lembar saham pada harga Rp 220 per saham, sehingga akan diperoleh dana Rp 1.2 trilyun. Nah, disini poin pentingnya: pembeli siaga dari right issue tersebut hanyalah perusahaan pemilik mayoritas saham perseroan yaitu PT Tunggaladhi Baskara (TAB), dimana PT TAB hanya membeli 1.1 milyar lembar saham dari 5.6 milyar saham baru yang diterbitkan tersebut. Sisanya yang 4.5 milyar lembar dibeli oleh siapa? Dibeli oleh Danatama Makmur Sekuritas, dan beberapa kreditor dari BLTA itu sendiri.
Masih ingat ketika Bakrie Sumatra Plantations (UNSP) ketahuan ternyata tidak memiliki dana kas senilai RP 3.5 trilyun yang ditempatkan di Bank Capital, seperti yang mereka tulis di laporan keuangannya? Dana tersebut dikatakan berasal dari proses right issue UNSP senilai Rp 5.0 trilyun. Siapa pembeli right issue UNSP ketika itu? Danatama Makmur Sekuritas.
Keterlibatan Danatama dalam proses right issue UNSP dimana belakangan diragukan apakah UNSP benar-benar meraih Rp 5.0 trilyun dari right issue-nya tersebut ataukah tidak (karena mencuatnya kasus deposito fiktif di Bank Capital), dan keikut sertaaan sekuritas yang sama dalam proses right issue BLTA, membuat banyak pelaku pasar menduga-duga: jangan-jangan perolehan dana BLTA dari right issue-nya tersebut juga tidak akan sampai Rp 1.2 trilyun? Sebab jika melihat catatan kinerjanya yang turun drastis sejak dihantam krisis 2008 dan belum ada tanda-tanda bakal bangkit kembali, kemungkinan besar para stake holder BLTA akan ogah untuk ikut mengambil jatah dari right issue tersebut dan lebih memilih untuk out.
Pada 1Q10, BLTA memang mencatat laba bersih US$ 25 juta. Namun laba usahanya justru turun 38.3% dari US$ 42 juta menjadi US$ 24 juta, sehingga kinerja BLTA yang real-nya masih belum membaik seperti kelihatannya. Inilah yang dicermati oleh para investor.
Right issue tersebut sudah dilakukan pada sepanjang Juli lalu, dengan tanggal penjatahannya pada 29 Juli kemarin. Nah, kalaupun BLTA berhasil memperoleh dana Rp 1.2 trilyun dari right issue tersebut, jumlah itu masih belum cukup untuk membayar utang jangka pendeknya, yang totalnya mencapai US$ 395 juta atau sekitar Rp 3.5 trilyun. So bahkan meski strategi right issue ini berhasil, manajemen BLTA masih tetap harus mencari alternatif pembiayaan lainnya.
Itulah sebabnya, banyak stake holder dari BLTA tetap tidak bisa melihat prospek yang cerah dari BLTA ini, sehingga mereka benar-benar memilih untuk out sejak sebulan terakhir. Dan alhasil, sahamnya terus bergerak turun bahkan meski sudah melewati batas dilusi-nya.
By the way, proses right issue dengan rasio 1:1 tersebut membuat saham BLTA terdilusi 50%. Jika dibandingkan dengan harganya sebelum bulan Mei yaitu di kisaran 650-an (BLTA mengumumkan right issue-nya pada 26 Mei), maka seharusnya BLTA hanya akan turun ke 325-an setelah terdilusi. Tapi kenapa sahamnya turun terus hingga lebih rendah dari 325 dan sekarang sudah berada di posisi 240? Baca lagi penjelasan diatas.
Lalu apakah kedepannya BLTA bisa bergerak menguat lagi? Sepertinya sulit karena sejauh ini belum ada faktor yang bisa membuat BLTA menguat kembali, kecuali faktor spekulasi, seperti biasa.
Jika anda sejak awal sudah mengetahui siapa yang menjadi penjamin emisi dari right issue-nya BLTA, maka seharusnya anda sudah keluar dari BLTA ini sejak awal Juni lalu.
Jika kita melihat kebelakang, BLTA sempat stabil di 600 – 700 pada pertengahan 2009 hingga Mei 2010, sebelum ikut terkena imbas koreksi bulan Mei dan terjerembab di posisi 330-an. Sayangnya tidak seperti saham-saham bluchip lainnya yang segera bangkit, BLTA malah tetap saja di posisi tersebut, dan sekarang malah turun lebih rendah lagi. What’s wrong?
Satu hal yang perlu diingat oleh anda sebagai investor adalah: peningkatan laba bersih tidak selalu berarti peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Yup, jika laporan keuangannya dianalisis secara keseluruhan, kinerja BLTA ini memang tidak cukup baik untuk bisa dikoleksi, meski untuk spekulasi sekalipun. Berdasarkan laporan keuangan 1Q10 (BLTA belum merilis lap keu 1H10), BLTA memiliki aset US$ 2.7 milyar, dimana US$ 2.0 milyar atau 73.7% diantaranya adalah utang. Jumlah utang tersebut naik 18.3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Disisi lain, ekuitasnya justru turun 4.1%.
Sadar jumlah utang-utangnya cukup besar dimana sebagian diantaranya akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, manajemen BLTA melancarkan beberapa strategi untuk mengumpulkan dana segar, yaitu melalui right issue dan penerbitan obligasi. Dengan posisi kas yang hanya US$ 96 juta, tentunya tidak ada jalan lain bagi perseroan untuk membayar utang selain dengan right issue atau mencari utang baru.
Belakangan, strategi penerbitan obligasi tidak jadi dilakukan karena tampaknya perusahaan kesulitan mencari investor strategis yang mau membeli obligasi tersebut. Perusahaan lalu menerbitkan right issue sebanyak 5.6 milyar lembar saham pada harga Rp 220 per saham, sehingga akan diperoleh dana Rp 1.2 trilyun. Nah, disini poin pentingnya: pembeli siaga dari right issue tersebut hanyalah perusahaan pemilik mayoritas saham perseroan yaitu PT Tunggaladhi Baskara (TAB), dimana PT TAB hanya membeli 1.1 milyar lembar saham dari 5.6 milyar saham baru yang diterbitkan tersebut. Sisanya yang 4.5 milyar lembar dibeli oleh siapa? Dibeli oleh Danatama Makmur Sekuritas, dan beberapa kreditor dari BLTA itu sendiri.
Masih ingat ketika Bakrie Sumatra Plantations (UNSP) ketahuan ternyata tidak memiliki dana kas senilai RP 3.5 trilyun yang ditempatkan di Bank Capital, seperti yang mereka tulis di laporan keuangannya? Dana tersebut dikatakan berasal dari proses right issue UNSP senilai Rp 5.0 trilyun. Siapa pembeli right issue UNSP ketika itu? Danatama Makmur Sekuritas.
Keterlibatan Danatama dalam proses right issue UNSP dimana belakangan diragukan apakah UNSP benar-benar meraih Rp 5.0 trilyun dari right issue-nya tersebut ataukah tidak (karena mencuatnya kasus deposito fiktif di Bank Capital), dan keikut sertaaan sekuritas yang sama dalam proses right issue BLTA, membuat banyak pelaku pasar menduga-duga: jangan-jangan perolehan dana BLTA dari right issue-nya tersebut juga tidak akan sampai Rp 1.2 trilyun? Sebab jika melihat catatan kinerjanya yang turun drastis sejak dihantam krisis 2008 dan belum ada tanda-tanda bakal bangkit kembali, kemungkinan besar para stake holder BLTA akan ogah untuk ikut mengambil jatah dari right issue tersebut dan lebih memilih untuk out.
Pada 1Q10, BLTA memang mencatat laba bersih US$ 25 juta. Namun laba usahanya justru turun 38.3% dari US$ 42 juta menjadi US$ 24 juta, sehingga kinerja BLTA yang real-nya masih belum membaik seperti kelihatannya. Inilah yang dicermati oleh para investor.
Right issue tersebut sudah dilakukan pada sepanjang Juli lalu, dengan tanggal penjatahannya pada 29 Juli kemarin. Nah, kalaupun BLTA berhasil memperoleh dana Rp 1.2 trilyun dari right issue tersebut, jumlah itu masih belum cukup untuk membayar utang jangka pendeknya, yang totalnya mencapai US$ 395 juta atau sekitar Rp 3.5 trilyun. So bahkan meski strategi right issue ini berhasil, manajemen BLTA masih tetap harus mencari alternatif pembiayaan lainnya.
Itulah sebabnya, banyak stake holder dari BLTA tetap tidak bisa melihat prospek yang cerah dari BLTA ini, sehingga mereka benar-benar memilih untuk out sejak sebulan terakhir. Dan alhasil, sahamnya terus bergerak turun bahkan meski sudah melewati batas dilusi-nya.
By the way, proses right issue dengan rasio 1:1 tersebut membuat saham BLTA terdilusi 50%. Jika dibandingkan dengan harganya sebelum bulan Mei yaitu di kisaran 650-an (BLTA mengumumkan right issue-nya pada 26 Mei), maka seharusnya BLTA hanya akan turun ke 325-an setelah terdilusi. Tapi kenapa sahamnya turun terus hingga lebih rendah dari 325 dan sekarang sudah berada di posisi 240? Baca lagi penjelasan diatas.
Lalu apakah kedepannya BLTA bisa bergerak menguat lagi? Sepertinya sulit karena sejauh ini belum ada faktor yang bisa membuat BLTA menguat kembali, kecuali faktor spekulasi, seperti biasa.
Jika anda sejak awal sudah mengetahui siapa yang menjadi penjamin emisi dari right issue-nya BLTA, maka seharusnya anda sudah keluar dari BLTA ini sejak awal Juni lalu.
Komentar
kewajiban atau hutang mendesak sekitar 400 milyar rupiah yg saya liat...
lalu bisa dijelaskan soalnya revaluasi dari pendapatan/usaha lain-lain? kenapa tidak dijelaskan?
something fishy here? :D
cm soal revaluasi tolong dijelaskan... trims
apalagi BLTA.
mo bilang perusahaanya masih bagus? liat chart n katakan apakah chartnya termasuk bagus ato jelek ? harga murah ga berarti bagus .... bisa jadi harganya masih kemahalan buat saham murahan kek gini ...
fyi, 220 harga new low ... all the time low .... wih .... (thn 2008 aja masih terendah di 300an)