Penyebab Turunnya Saham BLTA, Part 2
Kemarin manajemen Berlian Laju Tanker (BLTA) mengumumkan hasil dari right issue. Dan seperti yang sudah kita bahas di artikel sebelumnya, right issue senilai Rp 1.2 trilyun tersebut ternyata memang tidak sepenuhnya diserap pasar, melainkan hanya sekitar 74%, dan sisanya dibeli oleh pembeli siaga (http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/08/04/713451/blta-rights-issue-terserap-74/). Menurut manajemen, angka 74% tersebut memang sesuai dengan target awal, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Jika kita runut lagi cerita tentang right issue ini dari awal, maka mungkin anda akan mempertanyakan dua hal: 1. Mengapa BLTA tidak menerbitkan utang baru seperti obligasi atau semacamnya saja? dan 2. Mengapa harga right issue-nya hanya Rp 220 per lembar? Harga tersebut termasuk rendah sekali, bahkan jika dibandingkan dengan harga BLTA pada saat ini yang sudah terkoreksi cukup dalam dalam sebulan terakhir.
Kita tahu bahwa Berau Coal (BRAU), juga punya utang segunung. Tapi toh mereka tanpa kesulitan bisa mendapatkan utang baru senilai US$ 750 juta untuk keperluan refinancing. Jika BRAU melepas jumlah saham yang lebih besar dari 7 milyar lembar ke publik pada saat IPO, kemungkinan besar saham-saham tersebut juga akan tetap habis diserap pasar. Singkatnya, meski sama-sama berstatus perusahaan dengan jumlah utang yang besar, namun BRAU tampaknya lebih mudah mencari sumber pendanaan dibanding BLTA.
Kita tentu tahu bahwa BRAU dan BLTA ini jelas dua perusahaan yang berbeda. Perbedaan mendasar antara BRAU dan BLTA adalah: dua perusahaan ini bergerak di dua sektor yang kondisinya pada saat ini saling bertolak belakang. BRAU bergerak di sektor batubara yang hingga kini prospeknya masih bagus (atau setidaknya kelihatannya demikian), sementara BLTA bergerak di sektor perkapalan yang belakangan ini prospeknya memburuk. Hmm, tahu dari mana kalau sektor perkapalan saat ini sedang memburuk? Jika kita bisa memperhatikan sektor batubara dengan cara mengamati perkembangan harganya, volume produksinya, volume permintaan, dan data ekspor-impor-nya, maka untuk memperhatikan sektor perkapalan, secara mudahnya kita bisa melihatnya dari perkembangan angka Baltic Dry Index.
Apa itu Baltic Dry Index?
Baltic Dry Index (BDI), adalah angka yang menggambarkan perkembangan harga rata-rata sewa kapal yang digunakan untuk mengangkut logistik, komoditas, dan lain-lain, termasuk untuk perdagangan antar negara (ekspor impor), di seluruh dunia. Semakin tinggi harga sewa kapal, maka semakin tinggi angka BDI, demikian sebaliknya. BDI ini pertama kali diperkenalkan oleh London Stock Exchange, dan saat ini sudah digunakan sebagai salah satu indikator ekonomi khususnya perdagangan oleh para pelaku pasar di seluruh dunia.
Nah, berdasarkan data dari Bloomberg (anda bisa melihatnya disini, http://www.bloomberg.com/apps/quote?ticker=BDIY:IND) dalam 3 bulan terakhir, BDI terus turun dari puncaknya yaitu 4,209 pada 26 Mei lalu, hingga sempat menyentuh 1,700 pada 15 Juli kemarin. Ketika artikel ini ditulis, BDI berada di posisi 1,964, atau turun 53.3% dibanding puncaknya pada 26 Mei.
Kalau kita melihat lebih jauh lagi ke belakang, BDI pernah terus menguat hingga sempat menyentuh puncaknya yaitu 11,709 pada pertengahan tahun 2008 sebelum kemudian terjun bebas hingga menyentuh posisi 666 pada 4 Desember 2008 (itu berarti koreksi sekitar 94.3%), akibat krisis global tahun 2008. Sayangnya setelah koreksi tersebut, BDI tidak sanggup bangkit kembali. Sepanjang tahun 2009 hingga kini, posisi tertingginya hanyalah 4,661 yang dicapai pada bulan November 2009.
Karena itulah, masa-masa keemasan BLTA juga berada pada tahun 2006 dan 2007 atau sebelum terjadi krisis global, dimana jika kita melihat catatan annual report 2009-nya, perusahaan mencatat laba bersih US$ 107 juta pada 2006 dan US$ 77 juta pada 2007. Pada 2008, laba bersih BLTA mulai turun drastis dengan hanya tercatat US$ 25 juta. Bagaimana dengan tahun 2009? Rugi bersih US$ 117 juta. Pada kuartal pertama 2010, kinerja BLTA memang tampak membaik dengan berhasil mencetak laba bersih US$ 25 juta dari sebelumnya rugi bersih US$ 73 juta, namun laba usahanya masih turun.
Bagaimana bisa BLTA mencetak laba bersih US$ 25 juta pada 1Q10 padahal laba usahanya justru turun? Itu berkat surplus dari revaluasi senilai US$ 68 juta, dimana pada 1Q09 BLTA mengalami defisit revaluasi US$ 166 juta, sehingga selisihnya US$ 234 juta, cukup besar. Apa itu revaluasi? Revaluasi adalah pendapatan atau kerugian tidak nyata yang diperoleh dari nilai terbaru dari aset yang dimiliki oleh perusahaan. Misalnya BLTA punya 1 unit kapal yang harganya pada 1Q09 adalah US$ 100 juta. Pada 1Q10, harga kapal tersebut naik menjadi US$ 110 juta, maka itu berarti BLTA memperoleh pendapatan revaluasi senilai US$ 10 juta. Mengapa pendapatan tersebut dikatakan tidak nyata? Karena BLTA baru akan benar-benar menerima uang tunai US$ 10 juta, jika kapal tersebut dijual dan memang laku terjual pada harga US$ 110 juta tersebut.
So, pendapatan US$ 68 juta tersebut hanya merupakan pendapatan di pembukuan secara akuntansi saja. That’s why, terkadang lebih penting bagi kita untuk mengamati laba usaha daripada laba bersih (hanya terkadang saja, tidak selalu). Sebab dibanding laba bersih, laba usaha lebih menggambarkan pendapatan sebuah perusahaan, karena memang berasal dari aktivitas operasional mereka yang benerannya. Pada 1Q10, pendapatan BLTA memang naik tipis 1.6% dari US$ 159 menjadi 162 juta. Namun karena besarnya peningkatan pada beban pokok dari US$ 109 menjadi 131 juta, maka laba usaha BLTA menjadi turun 42.4% dari US$ 42 menjadi 24 juta.
Kembali ke masalah turunnya saham BLTA. Penurunan yang terjadi sejak awal Mei lalu tersebut, mungkin berpangkal dari masalah ini: Pada tahun 2007, dengan berbekal kinerja kinclong mereka di tahun 2006, dan angka BDI yang ketika itu lagi bagus-bagusnya, BLTA mengambil banyak utang untuk ekspansi usaha seluas-luasnya. Pada akhir tahun 2007, BLTA tercatat memiliki total kewajiban senilai US$ 1.8 milyar, naik lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun 2006 yang hanya US$ 561 juta. Dengan ekspansi tersebut, maka seandainya tidak ada faktor krisis global, seharusnya kinerja mereka pada tahun-tahun setelah 2006 bisa lebih baik lagi.
Sayangnya yang terjadi kinerja BLTA setelah tahun fiskal 2006 hingga kini justru tertekan, dan semakin tertekan, seiring dengan posisi BDI yang tidak kunjung membaik setelah krisis global 2008. Sementara disisi lain, utang-utang BLTA sudah terlanjur membesar. Manajemen pun sepertinya kesulitan untuk mencari kreditor baru atau investor strategis untuk refinancing utang-utangnya, sehingga mereka memilih right issue sebagai opsi terakhir, itupun pada harga yang murah. Melihat semua faktor diatas, tak heran kalau saham BLTA melemah dan terus melemah.
Anda mungkin baru memperhatikan penurunan BLTA sejak sebulan terakhir ini, ketika sahamnya anjlok dari 330-an ke 240-an. Tapi sebenarnya, BLTA ini sudah mulai melemah jauh sebelum itu, yaitu sejak awal tahun 2008, alias sebelum terjadinya krisis global. Pada awal januari 2008, BLTA sempat berjaya di posisi 2,600-an, sebelum kemudian mulai bergerak melemah. Pada pertengahan agustus 2008, BLTA sudah turun ke posisi 1,700-an. Kemudian terjadi krisis global, dan BLTA terjun bebas ke posisi 375 pada desember 2008. Setelah itu BLTA sempat menguat sejenak hingga menyentuh 930 pada Juni 2009. Tapi setelah itu? Sahamnya kembali terus melemah hingga posisi sekarang.
Lalu kapan kira-kira BLTA bakal menguat? Jika BDI menguat, maka secara simpelnya kita bisa berharap BLTA juga akan ikut menguat signifikan, karena dengan demikian akan timbul harapan bahwa pendapatan BLTA kedepannya akan naik. Sayangnya untuk memprediksi pergerakan BDI kedepannya terbilang sangat sulit karena faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat banyak. Harga sewa kapal tentunya dipengaruhi oleh sedikit banyaknya jumlah logistik atau komoditas yang harus diangkut, dimana hal itu dipengaruhi oleh ramai tidaknya transaksi perdagangan dari komoditas itu sendiri. Faktor-faktor lain seperti kebijakan bea ekspor impor sebuah negara, harga bahan bakar kapal, faktor cuaca, faktor keamanan, dan lain-lain, juga ikut mempengaruhi harga sewa kapal tersebut. So, kita belum tahu bagaimana kira-kira posisi BDI kedepannya, tapi yang jelas pada saat ini posisinya terbilang rendah.
So, kembali ke kedua pertanyaan diatas: 1. Mengapa BLTA tidak menerbitkan utang baru seperti obligasi atau semacamnya saja? Mungkin itu karena perusahaan kesulitan menemukan kreditor yang mau memberi utang, karena perusahaan tidak bisa menjanjikan prospek yang cerah. Dan 2. Mengapa harga right issue-nya hanya Rp 220 per lembar? Karena harga tersebut sudah cukup realistis. Dan terbukti meski pada harga yang terbilang murah tersebut sekalipun, right issue BLTA tetap saja tidak diserap sepenuhnya oleh pasar.
Jadi apakah BLTA ini tidak layak dikoleksi? Kalau untuk saat ini, tidak juga. Mengingat likuiditasnya akhir-akhir ini sangat bagus dimana transaksi hariannya mencapai ratusan juta lembar, BLTA bisa menjadi mainan spekulasi yang menyenangkan.
Jika kita runut lagi cerita tentang right issue ini dari awal, maka mungkin anda akan mempertanyakan dua hal: 1. Mengapa BLTA tidak menerbitkan utang baru seperti obligasi atau semacamnya saja? dan 2. Mengapa harga right issue-nya hanya Rp 220 per lembar? Harga tersebut termasuk rendah sekali, bahkan jika dibandingkan dengan harga BLTA pada saat ini yang sudah terkoreksi cukup dalam dalam sebulan terakhir.
Kita tahu bahwa Berau Coal (BRAU), juga punya utang segunung. Tapi toh mereka tanpa kesulitan bisa mendapatkan utang baru senilai US$ 750 juta untuk keperluan refinancing. Jika BRAU melepas jumlah saham yang lebih besar dari 7 milyar lembar ke publik pada saat IPO, kemungkinan besar saham-saham tersebut juga akan tetap habis diserap pasar. Singkatnya, meski sama-sama berstatus perusahaan dengan jumlah utang yang besar, namun BRAU tampaknya lebih mudah mencari sumber pendanaan dibanding BLTA.
Kita tentu tahu bahwa BRAU dan BLTA ini jelas dua perusahaan yang berbeda. Perbedaan mendasar antara BRAU dan BLTA adalah: dua perusahaan ini bergerak di dua sektor yang kondisinya pada saat ini saling bertolak belakang. BRAU bergerak di sektor batubara yang hingga kini prospeknya masih bagus (atau setidaknya kelihatannya demikian), sementara BLTA bergerak di sektor perkapalan yang belakangan ini prospeknya memburuk. Hmm, tahu dari mana kalau sektor perkapalan saat ini sedang memburuk? Jika kita bisa memperhatikan sektor batubara dengan cara mengamati perkembangan harganya, volume produksinya, volume permintaan, dan data ekspor-impor-nya, maka untuk memperhatikan sektor perkapalan, secara mudahnya kita bisa melihatnya dari perkembangan angka Baltic Dry Index.
Apa itu Baltic Dry Index?
Baltic Dry Index (BDI), adalah angka yang menggambarkan perkembangan harga rata-rata sewa kapal yang digunakan untuk mengangkut logistik, komoditas, dan lain-lain, termasuk untuk perdagangan antar negara (ekspor impor), di seluruh dunia. Semakin tinggi harga sewa kapal, maka semakin tinggi angka BDI, demikian sebaliknya. BDI ini pertama kali diperkenalkan oleh London Stock Exchange, dan saat ini sudah digunakan sebagai salah satu indikator ekonomi khususnya perdagangan oleh para pelaku pasar di seluruh dunia.
Nah, berdasarkan data dari Bloomberg (anda bisa melihatnya disini, http://www.bloomberg.com/apps/quote?ticker=BDIY:IND) dalam 3 bulan terakhir, BDI terus turun dari puncaknya yaitu 4,209 pada 26 Mei lalu, hingga sempat menyentuh 1,700 pada 15 Juli kemarin. Ketika artikel ini ditulis, BDI berada di posisi 1,964, atau turun 53.3% dibanding puncaknya pada 26 Mei.
Kalau kita melihat lebih jauh lagi ke belakang, BDI pernah terus menguat hingga sempat menyentuh puncaknya yaitu 11,709 pada pertengahan tahun 2008 sebelum kemudian terjun bebas hingga menyentuh posisi 666 pada 4 Desember 2008 (itu berarti koreksi sekitar 94.3%), akibat krisis global tahun 2008. Sayangnya setelah koreksi tersebut, BDI tidak sanggup bangkit kembali. Sepanjang tahun 2009 hingga kini, posisi tertingginya hanyalah 4,661 yang dicapai pada bulan November 2009.
Karena itulah, masa-masa keemasan BLTA juga berada pada tahun 2006 dan 2007 atau sebelum terjadi krisis global, dimana jika kita melihat catatan annual report 2009-nya, perusahaan mencatat laba bersih US$ 107 juta pada 2006 dan US$ 77 juta pada 2007. Pada 2008, laba bersih BLTA mulai turun drastis dengan hanya tercatat US$ 25 juta. Bagaimana dengan tahun 2009? Rugi bersih US$ 117 juta. Pada kuartal pertama 2010, kinerja BLTA memang tampak membaik dengan berhasil mencetak laba bersih US$ 25 juta dari sebelumnya rugi bersih US$ 73 juta, namun laba usahanya masih turun.
Bagaimana bisa BLTA mencetak laba bersih US$ 25 juta pada 1Q10 padahal laba usahanya justru turun? Itu berkat surplus dari revaluasi senilai US$ 68 juta, dimana pada 1Q09 BLTA mengalami defisit revaluasi US$ 166 juta, sehingga selisihnya US$ 234 juta, cukup besar. Apa itu revaluasi? Revaluasi adalah pendapatan atau kerugian tidak nyata yang diperoleh dari nilai terbaru dari aset yang dimiliki oleh perusahaan. Misalnya BLTA punya 1 unit kapal yang harganya pada 1Q09 adalah US$ 100 juta. Pada 1Q10, harga kapal tersebut naik menjadi US$ 110 juta, maka itu berarti BLTA memperoleh pendapatan revaluasi senilai US$ 10 juta. Mengapa pendapatan tersebut dikatakan tidak nyata? Karena BLTA baru akan benar-benar menerima uang tunai US$ 10 juta, jika kapal tersebut dijual dan memang laku terjual pada harga US$ 110 juta tersebut.
So, pendapatan US$ 68 juta tersebut hanya merupakan pendapatan di pembukuan secara akuntansi saja. That’s why, terkadang lebih penting bagi kita untuk mengamati laba usaha daripada laba bersih (hanya terkadang saja, tidak selalu). Sebab dibanding laba bersih, laba usaha lebih menggambarkan pendapatan sebuah perusahaan, karena memang berasal dari aktivitas operasional mereka yang benerannya. Pada 1Q10, pendapatan BLTA memang naik tipis 1.6% dari US$ 159 menjadi 162 juta. Namun karena besarnya peningkatan pada beban pokok dari US$ 109 menjadi 131 juta, maka laba usaha BLTA menjadi turun 42.4% dari US$ 42 menjadi 24 juta.
Kembali ke masalah turunnya saham BLTA. Penurunan yang terjadi sejak awal Mei lalu tersebut, mungkin berpangkal dari masalah ini: Pada tahun 2007, dengan berbekal kinerja kinclong mereka di tahun 2006, dan angka BDI yang ketika itu lagi bagus-bagusnya, BLTA mengambil banyak utang untuk ekspansi usaha seluas-luasnya. Pada akhir tahun 2007, BLTA tercatat memiliki total kewajiban senilai US$ 1.8 milyar, naik lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun 2006 yang hanya US$ 561 juta. Dengan ekspansi tersebut, maka seandainya tidak ada faktor krisis global, seharusnya kinerja mereka pada tahun-tahun setelah 2006 bisa lebih baik lagi.
Sayangnya yang terjadi kinerja BLTA setelah tahun fiskal 2006 hingga kini justru tertekan, dan semakin tertekan, seiring dengan posisi BDI yang tidak kunjung membaik setelah krisis global 2008. Sementara disisi lain, utang-utang BLTA sudah terlanjur membesar. Manajemen pun sepertinya kesulitan untuk mencari kreditor baru atau investor strategis untuk refinancing utang-utangnya, sehingga mereka memilih right issue sebagai opsi terakhir, itupun pada harga yang murah. Melihat semua faktor diatas, tak heran kalau saham BLTA melemah dan terus melemah.
Anda mungkin baru memperhatikan penurunan BLTA sejak sebulan terakhir ini, ketika sahamnya anjlok dari 330-an ke 240-an. Tapi sebenarnya, BLTA ini sudah mulai melemah jauh sebelum itu, yaitu sejak awal tahun 2008, alias sebelum terjadinya krisis global. Pada awal januari 2008, BLTA sempat berjaya di posisi 2,600-an, sebelum kemudian mulai bergerak melemah. Pada pertengahan agustus 2008, BLTA sudah turun ke posisi 1,700-an. Kemudian terjadi krisis global, dan BLTA terjun bebas ke posisi 375 pada desember 2008. Setelah itu BLTA sempat menguat sejenak hingga menyentuh 930 pada Juni 2009. Tapi setelah itu? Sahamnya kembali terus melemah hingga posisi sekarang.
Lalu kapan kira-kira BLTA bakal menguat? Jika BDI menguat, maka secara simpelnya kita bisa berharap BLTA juga akan ikut menguat signifikan, karena dengan demikian akan timbul harapan bahwa pendapatan BLTA kedepannya akan naik. Sayangnya untuk memprediksi pergerakan BDI kedepannya terbilang sangat sulit karena faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat banyak. Harga sewa kapal tentunya dipengaruhi oleh sedikit banyaknya jumlah logistik atau komoditas yang harus diangkut, dimana hal itu dipengaruhi oleh ramai tidaknya transaksi perdagangan dari komoditas itu sendiri. Faktor-faktor lain seperti kebijakan bea ekspor impor sebuah negara, harga bahan bakar kapal, faktor cuaca, faktor keamanan, dan lain-lain, juga ikut mempengaruhi harga sewa kapal tersebut. So, kita belum tahu bagaimana kira-kira posisi BDI kedepannya, tapi yang jelas pada saat ini posisinya terbilang rendah.
So, kembali ke kedua pertanyaan diatas: 1. Mengapa BLTA tidak menerbitkan utang baru seperti obligasi atau semacamnya saja? Mungkin itu karena perusahaan kesulitan menemukan kreditor yang mau memberi utang, karena perusahaan tidak bisa menjanjikan prospek yang cerah. Dan 2. Mengapa harga right issue-nya hanya Rp 220 per lembar? Karena harga tersebut sudah cukup realistis. Dan terbukti meski pada harga yang terbilang murah tersebut sekalipun, right issue BLTA tetap saja tidak diserap sepenuhnya oleh pasar.
Jadi apakah BLTA ini tidak layak dikoleksi? Kalau untuk saat ini, tidak juga. Mengingat likuiditasnya akhir-akhir ini sangat bagus dimana transaksi hariannya mencapai ratusan juta lembar, BLTA bisa menjadi mainan spekulasi yang menyenangkan.
Komentar
saya kangen dengan rekomendasi sahamnya.....tapi saya masih awam dengan dunia saham
kedua, koleksi BLTA = spekulasi krn trend nya sedang bearish (super) ...
untuk trading buy, saya lebi berani buy di harga atas (> 370) drpd buy di harga sekarang ini ;)
Bener2 ngaco belo...
Soal sekuritas asing yang beli banyak saham BLTA, apa anda yakin itu sekuritas beli sahamnya murni investasi atau hanya titipan nasabahnya? Toh sekuritas asing tidak menjadi jaminan kalau mereka selalu benar ...
Saya sich liatnya simpel aja, kalau memang sekuritas asing sudah beli dalam jumlah yang sangat banyak akrena faktor fundamental yg oke, tentu tidak pperlu waktu lama agar BLTA kembali naik.. Namun liat saja harganya sekarang, apa sudah naik?
To : Bpk Teguh,
Sabar aja ya pak, terus posting analisa anda, saya yakin akan ketulusan anda dalam memberikan analisa tanpa embel2 lain...
Terkait dengan broker-broker asing yang katanya borong saham BLTA, saya pernah diberitahu oleh seorang kawan yang mengatakan bahwa kondisi permintaan pengiriman komoditas sudah membaik sehingga beberapa broker memasang TP sekitar 400 an. Lagipula, BLTA juga memiliki book value yang cukup tinggi (kalo ga salah 600 an ya?). Ini patut dicermati karena BLTA mencatat laporan keuangannya dengan standar internasional yang mengharuskan pencatatan asset dalam market value (ini kenapa ada revaluasi. Lagipula barangnya BLTA, yaitu kapal, bisa dikatakan cukup likuid jika dijual sehingga harganya ga akan turun-turun amat dari book value-nya. Namun tetap, saya pribadi kurang tertarik dengan BLTA karena hutangnya yang segunung.. buat saya masih ada saham-saham lain yang lebih layak dikoleksi