Cara Mencermati Kabar Dari Emiten
Katakanlah anda sedang berencana untuk membeli sebuah rumah. Jika seorang agen properti datang menemui anda untuk menawarkan sebuah rumah pada harga 400 juta, sedangkan anda tahu bahwa harga pasaran rumah tersebut hanya 300 juta, apakah anda akan menerima tawaran si agen? Tentu saja tidak. Tapi bagaimana kalau si agen bilang karena alasan tertentu seperti lokasi yang strategis, kualitas bangunan, dan lain-lain, maka rumah tersebut akan bernilai 500 juta dalam setahun ke depan. Sehingga jika anda membelinya pada harga 400 juta, maka anda akan mendapat untung 100 juta. How’s that? Maka mungkin anda akan mulai tergoda untuk membeli rumah tersebut, meski harganya lebih mahal dari yang seharusnya.
Perhatikan kata yang di-bold: Jika anda jadi membeli rumah itu pada harga 400 juta, maka anda sudah pasti melepas 100 juta (karena anda membeli dengan harga yang lebih tinggi 100 juta dari harga pasarannya), namun dana 100 juta milik anda tersebut belum tentu akan balik modal plus mendapat untung 100 juta seperti yang dijanjikan, karena kita tidak pernah tahu, apakah dalam setahun kedepan harga rumah tersebut akan benar-benar mencapai 500 juta atau tidak. Bisa saja kenaikan harganya bahkan ga sampai ke harga 400 juta bukan? So, dana 100 juta milik anda sebenarnya dipertaruhkan disini.
Di pasar modal, praktek seperti itu sangat sering terjadi: anda mendapat rekomendasi untuk membeli sebuah saham pada harga yang sebenarnya lebih tinggi dari harga wajarnya, karena kinerja perusahaan yang bersangkutan dikatakan akan meningkat di masa mendatang, sehingga harga yang mahal tersebut tampak seperti wajar. Disini, resiko yang anda tanggung bahkan lebih besar, sebab dana 400 juta milik anda tidak hanya belum tentu akan bertambah menjadi 500 juta seperti yang dijanjikan, tapi bisa jadi malah berkurang. Sebab berbeda dengan harga properti yang agak sulit untuk turun, harga saham bisa saja turun setiap saat.
Anda pernah mendengar berita seperti ini? Perusahaan A memenangkan tender senilai 1 trilyun, Perusahaan B akan mengakuisisi perusahaan tambang batubara di Afrika, Perusahaan C mentargetkan kenaikan laba bersih sebesar 200% pada 2011, Perusahaan D akan menerima tambahan pendapatan dari proyek anu, dan sebagainya. Saya yakin jawabannya bukan hanya pernah, tapi sering. Yup, ketika sebuah perusahaan memiliki kinerja yang buruk atau biasa-biasa saja, maka tak ada jalan lain bagi perusahaan untuk membuat perusahaannya tampak bagus, kecuali dengan cara melempar janji yang macam-macam ke investor.
Coba anda perhatikan perusahaan yang kinerjanya solid seperti Unilever (UNVR), pernahkah mereka ngomong macam-macam ke publik mengenai kinerja mereka di masa depan? Mereka tidak perlu melakukan itu, karena tanpa mereka ngomong sekalipun, semua orang juga tahu kalau kinerja mereka sangat baik dan prospeknya sangat cerah.
Modus dari praktek ‘bermain-main dengan masa depan’ ini sebenarnya sederhana dan tipikal, alias dari dulu gitu-gitu aja, yaitu: kinerja (yang dikatakan akan sangat bagus) di masa mendatang digunakan untuk menilai harga wajar sahamnya pada saat ini. Misalnya Perusahaan A mencatat EPS Rp 5 per saham pada 1H10, sedangkan harga sahamnya Rp 200. Berarti Annualized PER-nya 20 kali, alias cukup mahal (rata-rata PER di BEI adalah 10 – 15 kali). Nah, setelah perusahaan A ini dikabarkan memenangkan proyek tertentu senilai sekian trilyun Rupiah, laba bersihnya diperkirakan akan melejit, sehingga EPS-nya pada full year 2010 (setengah tahun lagi dari sekarang) akan mencapai Rp 20 per saham. Jika menggunakan angka EPS yang Rp 20 tersebut, maka harga saham Rp 200 akan menghasilkan PER 10 kali, alias cukup murah.
Biasanya setelah analisis menggunakan data ‘terawangan’ tersebut beredar (atau diedarkan) di market, maka saham perusahaan A tersebut akan naik, mungkin 5 atau 10%, atau bahkan 20% jika analisisnya meyakinkan, sebelum kemudian turun kembali.
Contohnya Bakrie Telecom (BTEL), yang beberapa waktu lalu dikabarkan akan melakukan sinergi Esia miliknya dengan Flexi-nya Telkom, dimana hal tersebut diperkirakan akan memberikan benefit yang besar bagi BTEL. BTEL juga dikabarkan akan menerima tambahan pendapatan dari Bakrie Connectivity. Alhasil berbeda dengan anggota-anggota B7 lainnya yang terpuruk karena kasus Bank Capital, BTEL justru berhasil naik dari posisi 140-an ke posisi 170-an, sebelum sekarang bergerak stagnan d 150-an. Mengapa BTEL bergerak turun kembali? Ya karena fundamentalnya memang tidak cukup kuat dimana kinerjanya pada 1Q10 (saat artikel ini ditulis, BTEL belum merilis lap keu 1H10) terbilang payah, that’s it. BTEL mungkin baru akan benar-benar naik dan tidak turun kembali, jika kinerjanya pada 1H10 memang menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Lalu bagaimana cara kita menyikapi informasi semacam itu?
Informasi yang dikeluarkan emiten yang berkaitan dengan peningkatan kinerjanya di masa depan, sebenarnya tidak perlu disikapi dengan negatif. Informasi tersebut justru bisa menjadi peluang bagi anda yang bisa bermain dalam jangka pendek, karena saham yang bersangkutan biasanya memang benar-benar naik bukan? Meski kenaikannya hanya sementara. Contohnya BTEL tadi. Ketika BTEL berada di posisi 141, perusahaan mengumumkan akan melakukan sinergi Esia-Flexi, lalu sahamnya naik hingga dua minggu kemudian mencapai posisi 172. Jika anda masuk pada harga 141 dan keluar di 172, maka anda mendapat gain 22.0% hanya dalam dua minggu.
Tapi anda tentu harus bisa mencermati, mana informasi yang meyakinkan, dan mana yang tidak. Sebab tidak semua informasi yang dikeluarkan emiten bisa mendongkrak harga sahamnya. Itu sebabnya bagi anda investor jangka pendek, kemampuan untuk menilai tingkat signifikansi (masuk akal atau tidaknya) sebuah informasi, menjadi syarat mutlak agar anda bisa meraih gain besar dalam waktu singkat.
Catat: Seperti yang sudah disebutkan diatas, kenaikan sebuah saham karena kabar seperti ini (jika kabarnya terdengar meyakinkan) biasanya hanya sementara. Saham tersebut akan segera turun kembali setelah kabar yang menaikkannya dilupakan orang seiring dengan berjalannya waktu, terutama jika fundamentalnya (yang ditunjukkan oleh laporan keuangan terakhirnya) lemah. Dan itu paling lama biasanya hanya 1 atau 2 bulan. Selain BTEL, contoh lainnya yang cukup fenomenal adalah BHIT. So, jangan pernah menjadikan berita seperti: 'perusahaan mentargetkan laba bersih sekian ratus milyar pada 2011 setelah mengakuisisi ladang minyak di Kutub Utara', sebagai pedoman untuk membeli sahamnya untuk disimpan hingga 2011. Trust me, itu hanya membuang-buang waktu, dan juga mungkin uang anda.
Jadi jika anda investor long term, maka anda tidak perlu terlalu memperhatikan berita-berita yang dikeluarkan emiten seperti ini. Anda cukup mencermati fundamental dari saham yang anda beli berdasarkan laporan keuangan yang terakhirnya, dan juga teknikalnya jika perlu. Jika saham yang anda koleksi ternyata harganya turun karena kabar buruk tertentu, misalnya ‘saham A turun karena harga CPO turun’, maka saham tersebut tidak termasuk dalam daftar saham-saham untuk jangka panjang, atau harganya memang sudah kemahalan.
Perhatikan kata yang di-bold: Jika anda jadi membeli rumah itu pada harga 400 juta, maka anda sudah pasti melepas 100 juta (karena anda membeli dengan harga yang lebih tinggi 100 juta dari harga pasarannya), namun dana 100 juta milik anda tersebut belum tentu akan balik modal plus mendapat untung 100 juta seperti yang dijanjikan, karena kita tidak pernah tahu, apakah dalam setahun kedepan harga rumah tersebut akan benar-benar mencapai 500 juta atau tidak. Bisa saja kenaikan harganya bahkan ga sampai ke harga 400 juta bukan? So, dana 100 juta milik anda sebenarnya dipertaruhkan disini.
Di pasar modal, praktek seperti itu sangat sering terjadi: anda mendapat rekomendasi untuk membeli sebuah saham pada harga yang sebenarnya lebih tinggi dari harga wajarnya, karena kinerja perusahaan yang bersangkutan dikatakan akan meningkat di masa mendatang, sehingga harga yang mahal tersebut tampak seperti wajar. Disini, resiko yang anda tanggung bahkan lebih besar, sebab dana 400 juta milik anda tidak hanya belum tentu akan bertambah menjadi 500 juta seperti yang dijanjikan, tapi bisa jadi malah berkurang. Sebab berbeda dengan harga properti yang agak sulit untuk turun, harga saham bisa saja turun setiap saat.
Anda pernah mendengar berita seperti ini? Perusahaan A memenangkan tender senilai 1 trilyun, Perusahaan B akan mengakuisisi perusahaan tambang batubara di Afrika, Perusahaan C mentargetkan kenaikan laba bersih sebesar 200% pada 2011, Perusahaan D akan menerima tambahan pendapatan dari proyek anu, dan sebagainya. Saya yakin jawabannya bukan hanya pernah, tapi sering. Yup, ketika sebuah perusahaan memiliki kinerja yang buruk atau biasa-biasa saja, maka tak ada jalan lain bagi perusahaan untuk membuat perusahaannya tampak bagus, kecuali dengan cara melempar janji yang macam-macam ke investor.
Coba anda perhatikan perusahaan yang kinerjanya solid seperti Unilever (UNVR), pernahkah mereka ngomong macam-macam ke publik mengenai kinerja mereka di masa depan? Mereka tidak perlu melakukan itu, karena tanpa mereka ngomong sekalipun, semua orang juga tahu kalau kinerja mereka sangat baik dan prospeknya sangat cerah.
Modus dari praktek ‘bermain-main dengan masa depan’ ini sebenarnya sederhana dan tipikal, alias dari dulu gitu-gitu aja, yaitu: kinerja (yang dikatakan akan sangat bagus) di masa mendatang digunakan untuk menilai harga wajar sahamnya pada saat ini. Misalnya Perusahaan A mencatat EPS Rp 5 per saham pada 1H10, sedangkan harga sahamnya Rp 200. Berarti Annualized PER-nya 20 kali, alias cukup mahal (rata-rata PER di BEI adalah 10 – 15 kali). Nah, setelah perusahaan A ini dikabarkan memenangkan proyek tertentu senilai sekian trilyun Rupiah, laba bersihnya diperkirakan akan melejit, sehingga EPS-nya pada full year 2010 (setengah tahun lagi dari sekarang) akan mencapai Rp 20 per saham. Jika menggunakan angka EPS yang Rp 20 tersebut, maka harga saham Rp 200 akan menghasilkan PER 10 kali, alias cukup murah.
Biasanya setelah analisis menggunakan data ‘terawangan’ tersebut beredar (atau diedarkan) di market, maka saham perusahaan A tersebut akan naik, mungkin 5 atau 10%, atau bahkan 20% jika analisisnya meyakinkan, sebelum kemudian turun kembali.
Contohnya Bakrie Telecom (BTEL), yang beberapa waktu lalu dikabarkan akan melakukan sinergi Esia miliknya dengan Flexi-nya Telkom, dimana hal tersebut diperkirakan akan memberikan benefit yang besar bagi BTEL. BTEL juga dikabarkan akan menerima tambahan pendapatan dari Bakrie Connectivity. Alhasil berbeda dengan anggota-anggota B7 lainnya yang terpuruk karena kasus Bank Capital, BTEL justru berhasil naik dari posisi 140-an ke posisi 170-an, sebelum sekarang bergerak stagnan d 150-an. Mengapa BTEL bergerak turun kembali? Ya karena fundamentalnya memang tidak cukup kuat dimana kinerjanya pada 1Q10 (saat artikel ini ditulis, BTEL belum merilis lap keu 1H10) terbilang payah, that’s it. BTEL mungkin baru akan benar-benar naik dan tidak turun kembali, jika kinerjanya pada 1H10 memang menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Lalu bagaimana cara kita menyikapi informasi semacam itu?
Informasi yang dikeluarkan emiten yang berkaitan dengan peningkatan kinerjanya di masa depan, sebenarnya tidak perlu disikapi dengan negatif. Informasi tersebut justru bisa menjadi peluang bagi anda yang bisa bermain dalam jangka pendek, karena saham yang bersangkutan biasanya memang benar-benar naik bukan? Meski kenaikannya hanya sementara. Contohnya BTEL tadi. Ketika BTEL berada di posisi 141, perusahaan mengumumkan akan melakukan sinergi Esia-Flexi, lalu sahamnya naik hingga dua minggu kemudian mencapai posisi 172. Jika anda masuk pada harga 141 dan keluar di 172, maka anda mendapat gain 22.0% hanya dalam dua minggu.
Tapi anda tentu harus bisa mencermati, mana informasi yang meyakinkan, dan mana yang tidak. Sebab tidak semua informasi yang dikeluarkan emiten bisa mendongkrak harga sahamnya. Itu sebabnya bagi anda investor jangka pendek, kemampuan untuk menilai tingkat signifikansi (masuk akal atau tidaknya) sebuah informasi, menjadi syarat mutlak agar anda bisa meraih gain besar dalam waktu singkat.
Catat: Seperti yang sudah disebutkan diatas, kenaikan sebuah saham karena kabar seperti ini (jika kabarnya terdengar meyakinkan) biasanya hanya sementara. Saham tersebut akan segera turun kembali setelah kabar yang menaikkannya dilupakan orang seiring dengan berjalannya waktu, terutama jika fundamentalnya (yang ditunjukkan oleh laporan keuangan terakhirnya) lemah. Dan itu paling lama biasanya hanya 1 atau 2 bulan. Selain BTEL, contoh lainnya yang cukup fenomenal adalah BHIT. So, jangan pernah menjadikan berita seperti: 'perusahaan mentargetkan laba bersih sekian ratus milyar pada 2011 setelah mengakuisisi ladang minyak di Kutub Utara', sebagai pedoman untuk membeli sahamnya untuk disimpan hingga 2011. Trust me, itu hanya membuang-buang waktu, dan juga mungkin uang anda.
Jadi jika anda investor long term, maka anda tidak perlu terlalu memperhatikan berita-berita yang dikeluarkan emiten seperti ini. Anda cukup mencermati fundamental dari saham yang anda beli berdasarkan laporan keuangan yang terakhirnya, dan juga teknikalnya jika perlu. Jika saham yang anda koleksi ternyata harganya turun karena kabar buruk tertentu, misalnya ‘saham A turun karena harga CPO turun’, maka saham tersebut tidak termasuk dalam daftar saham-saham untuk jangka panjang, atau harganya memang sudah kemahalan.
Komentar
Terima kasih