Efek Berantai Kasus Bank Capital
Beberapa waktu lalu, manajemen dari emiten-emiten B7 dan juga Benakat Petroleum (BIPI), angkat bicara mengenai dana deposito abal-abal di Bank Capital (BACA). Yang paling menarik perhatian tentu Bakrie Sumatra Plantations (UNSP). UNSP tercatat menyimpan lebih dari Rp3.5 trilyun dana tunai dalam bentuk deposito di BACA, atau merupakan yang terbesar dibanding emiten-emiten lainnya (BNBR tidak termasuk). Dan apa yang dikatakan manajemen? ‘Ke-tidak sinkron-an data yang terjadi antara UNSP dan BACA tak lebih dari kesalahan administrasi saja, karena perbedaan waktu pencatatan laporan keuangan. Simpelnya, cuma salah ketik doang kok.’ Alasan yang bisa diterima? Anda bisa menilainya sendiri.
Secara garis besarnya, UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun yang disimpan di BACA sudah ditarik persis ketika tanggal 31 Maret 2010. Dana tersebut kemudian disebar di beberapa pos, salah satunya untuk mengakuisisi Domba Mas. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari BACA, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di BACA. Sedangkan disisi lain, BACA baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. So? Yup, masalahnya tidak lebih dari kesalah pahaman administrasi saja.
Kita mungkin tidak pernah tahu apakah penjelasan dari manajemen UNSP itu memang benar seperti itu kejadiannya ataukah mereka hanya mengada-ngada. Namun bahkan kalaupun penjelasan tersebut memang benar, maka itu bukan berarti masalahnya selesai sampai disitu.
Sekarang mari kita cek laporan keuangan UNSP. Disana tercantum bahwa pada 1Q10, UNSP memiliki kas senilai Rp4.5 trilyun, sebuah peningkatan signifikan dibanding 1Q09 dimana kas UNSP hanya Rp213 milyar. Apa yang menyebabkan uang kas UNSP tiba-tiba melejit seperti itu? Yaitu karena UNSP dikatakan mendapat dana segar sebesar Rp5.0 trilyun dari right issue alias HMETD. Sebelumnya UNSP memang pernah menerbitkan right issue sebanyak 9.5 milyar lembar saham baru dengan harga Rp525 per saham, dengan standby buyer-nya PT Danatama Makmur.
Berkat right issue tersebut, UNSP jadi punya dana kas sebesar Rp4.5 trilyun, dimana jika right issue tersebut tidak dilakukan, maka kas UNSP akan menjadi minus Rp500 milyar (nilai right issue-nya 5 trilyun, tapi kas UNSP malah cuma 4.5 trilyun). Nah, disini letak masalahnya: Jika UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak lagi ditempatkan sebagai deposito di BACA, artinya dana kas UNSP tidak lagi 4.5 trilyun, melainkan hanya 1 trilyun. Dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak layak lagi ditempatkan sebagai dana kas yang jika di neraca ditempatkan sebagai aset lancar, melainkan sudah menjadi aset tidak lancar, karena memang sudah tidak lagi berbentuk sebagai kas.
Jika posisi kas berubah dari 4.5 trilyun menjadi hanya tinggal 1 trilyun, maka otomatis current ratio atau rasio aset lancar perusahaan juga berubah, sehingga sebagian perhitungan analisis fundamental terutama angka current ratio dari UNSP harus dihitung ulang, karena posisi neraca UNSP juga telah berubah. So, tidak ada opsi lain: UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
Masalahnya selesai sampai disitu? Belum. Karena UNSP ini adalah anak usaha dari Bakrie & Brothers (BNBR) dimana laporan keuangan BNBR merupakan hasil konsolidasi dari anak-anak usahanya termasuk UNSP, maka laporan keuangan 1Q10 milik BNBR juga harus disusun ulang. Dan jika penyusunan ulang laporan keuangan tersebut tidak dilakukan, maka kekeliruan karena ‘salah ketik’ tersebut akan merembet ke laporan-laporan keuangan UNSP dan BNBR yang selanjutnya, karena laporan keuangan antara satu periode dengan periode berikutnya tentu saja saling berkaitan. Meski memang, kekeliruan yang disebut terakhir ini bisa dihindari jika manajemen UNSP melakukan review atau audit secara menyeluruh untuk laporan keuangan 1H10 dan laporan-laporan keuangan yang berikutnya.
Laporan keuangan adalah dokumen yang teramat sangat sensitif dimana kesalahan penempatan satu angka saja bisa menyebabkan laporan keuangan tersebut keliru seluruhnya. Sayang sekali manajemen UNSP maupun anggota-anggota B7 lainnya (dan juga BIPI), tampaknya tidak terlalu mempedulikan hal ini.
Kalau kita lihat kebelakang, kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan kelihatannya memang merupakan sesuatu yang biasa terjadi diantara perusahaan-perusaahaan anggota B7. Kita tentu masih ingat bahwa ketika Bumi Resources (BUMI) menerbitkan laporan keuangan 1Q10 beberapa waktu lalu, salah satu direkturnya dengan entengnya berkata bahwa laba bersih BUMI sebenarnya tidak turun, melainkan naik. Alasannya? Karena laba bersih BUMI pada 1Q09 bukanlah US$ 125 juta seperti yang tercantum di laporan keuangan, melainkan hanya US$ 71 juta. Dengan demikian laba bersih BUMI tidak turun 22.3%, melainkan naik 38%, karena laba bersih BUMI pada 1Q10 adalah US$ 97 juta.
Well, kalau laba bersih BUMI pada 1Q09 memang hanya US$ 71 juta, kenapa dicatatnya US$ 125 juta? Manajemen berkilah bahwa perbedaan pencatatan tersebut terjadi karena masalah administrasi, dimana kelebihan bayar pajak dan penurunan nilai minority interest belum dicantumkan. Bagaimana bisa, perusahaan sebesar BUMI dengan aset milyaran dollar bisa membuat kekeliruan separah itu hanya karena kesalahan administrasi? Selisih US$ 54 juta biar bagaimanapun bukan uang yang sedikit. Saya akan langsung pensiun kalau saya punya uang sebanyak itu.
Jadi tidak perlu ‘diberi tahu’ oleh kasus Bank Capital-pun, kita memang sudah tahu bahwa laporan keuangan B7 memang sering nggak beres. Dan B7 mungkin tidak sendirian, karena setidaknya kita tahu bahwa BIPI juga punya masalah yang sama. Bagaimana dengan emiten-emiten lainnya? Who knows.
Secara garis besarnya, UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun yang disimpan di BACA sudah ditarik persis ketika tanggal 31 Maret 2010. Dana tersebut kemudian disebar di beberapa pos, salah satunya untuk mengakuisisi Domba Mas. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari BACA, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di BACA. Sedangkan disisi lain, BACA baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. So? Yup, masalahnya tidak lebih dari kesalah pahaman administrasi saja.
Kita mungkin tidak pernah tahu apakah penjelasan dari manajemen UNSP itu memang benar seperti itu kejadiannya ataukah mereka hanya mengada-ngada. Namun bahkan kalaupun penjelasan tersebut memang benar, maka itu bukan berarti masalahnya selesai sampai disitu.
Sekarang mari kita cek laporan keuangan UNSP. Disana tercantum bahwa pada 1Q10, UNSP memiliki kas senilai Rp4.5 trilyun, sebuah peningkatan signifikan dibanding 1Q09 dimana kas UNSP hanya Rp213 milyar. Apa yang menyebabkan uang kas UNSP tiba-tiba melejit seperti itu? Yaitu karena UNSP dikatakan mendapat dana segar sebesar Rp5.0 trilyun dari right issue alias HMETD. Sebelumnya UNSP memang pernah menerbitkan right issue sebanyak 9.5 milyar lembar saham baru dengan harga Rp525 per saham, dengan standby buyer-nya PT Danatama Makmur.
Berkat right issue tersebut, UNSP jadi punya dana kas sebesar Rp4.5 trilyun, dimana jika right issue tersebut tidak dilakukan, maka kas UNSP akan menjadi minus Rp500 milyar (nilai right issue-nya 5 trilyun, tapi kas UNSP malah cuma 4.5 trilyun). Nah, disini letak masalahnya: Jika UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak lagi ditempatkan sebagai deposito di BACA, artinya dana kas UNSP tidak lagi 4.5 trilyun, melainkan hanya 1 trilyun. Dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak layak lagi ditempatkan sebagai dana kas yang jika di neraca ditempatkan sebagai aset lancar, melainkan sudah menjadi aset tidak lancar, karena memang sudah tidak lagi berbentuk sebagai kas.
Jika posisi kas berubah dari 4.5 trilyun menjadi hanya tinggal 1 trilyun, maka otomatis current ratio atau rasio aset lancar perusahaan juga berubah, sehingga sebagian perhitungan analisis fundamental terutama angka current ratio dari UNSP harus dihitung ulang, karena posisi neraca UNSP juga telah berubah. So, tidak ada opsi lain: UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
Masalahnya selesai sampai disitu? Belum. Karena UNSP ini adalah anak usaha dari Bakrie & Brothers (BNBR) dimana laporan keuangan BNBR merupakan hasil konsolidasi dari anak-anak usahanya termasuk UNSP, maka laporan keuangan 1Q10 milik BNBR juga harus disusun ulang. Dan jika penyusunan ulang laporan keuangan tersebut tidak dilakukan, maka kekeliruan karena ‘salah ketik’ tersebut akan merembet ke laporan-laporan keuangan UNSP dan BNBR yang selanjutnya, karena laporan keuangan antara satu periode dengan periode berikutnya tentu saja saling berkaitan. Meski memang, kekeliruan yang disebut terakhir ini bisa dihindari jika manajemen UNSP melakukan review atau audit secara menyeluruh untuk laporan keuangan 1H10 dan laporan-laporan keuangan yang berikutnya.
Laporan keuangan adalah dokumen yang teramat sangat sensitif dimana kesalahan penempatan satu angka saja bisa menyebabkan laporan keuangan tersebut keliru seluruhnya. Sayang sekali manajemen UNSP maupun anggota-anggota B7 lainnya (dan juga BIPI), tampaknya tidak terlalu mempedulikan hal ini.
Kalau kita lihat kebelakang, kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan kelihatannya memang merupakan sesuatu yang biasa terjadi diantara perusahaan-perusaahaan anggota B7. Kita tentu masih ingat bahwa ketika Bumi Resources (BUMI) menerbitkan laporan keuangan 1Q10 beberapa waktu lalu, salah satu direkturnya dengan entengnya berkata bahwa laba bersih BUMI sebenarnya tidak turun, melainkan naik. Alasannya? Karena laba bersih BUMI pada 1Q09 bukanlah US$ 125 juta seperti yang tercantum di laporan keuangan, melainkan hanya US$ 71 juta. Dengan demikian laba bersih BUMI tidak turun 22.3%, melainkan naik 38%, karena laba bersih BUMI pada 1Q10 adalah US$ 97 juta.
Well, kalau laba bersih BUMI pada 1Q09 memang hanya US$ 71 juta, kenapa dicatatnya US$ 125 juta? Manajemen berkilah bahwa perbedaan pencatatan tersebut terjadi karena masalah administrasi, dimana kelebihan bayar pajak dan penurunan nilai minority interest belum dicantumkan. Bagaimana bisa, perusahaan sebesar BUMI dengan aset milyaran dollar bisa membuat kekeliruan separah itu hanya karena kesalahan administrasi? Selisih US$ 54 juta biar bagaimanapun bukan uang yang sedikit. Saya akan langsung pensiun kalau saya punya uang sebanyak itu.
Jadi tidak perlu ‘diberi tahu’ oleh kasus Bank Capital-pun, kita memang sudah tahu bahwa laporan keuangan B7 memang sering nggak beres. Dan B7 mungkin tidak sendirian, karena setidaknya kita tahu bahwa BIPI juga punya masalah yang sama. Bagaimana dengan emiten-emiten lainnya? Who knows.
Komentar
kalo periode Q1 artinya adalah berakhir tanggal 31 maret jam 23.59. gak boleh lebih atau kurang.
meaning: laporan tersebut baru hanya bisa dibuat SETELAH periode yang dilaporkan. jadi, adalah MEMBODOHI kalo alasan mereka adalah "perbedaan waktu pencatatan keuangan".
in short, UNSP BERBOHONG
BIPI BERBOHONG
auditor SAMPAH..
ps : salut untuk tulisan-tulisan mas teguh yg enak dibaca dan mencerahkan..
coba kalau semua rakyak jatim mau bersatu...kirim aja tuch lumpur "hasil salah ketik" mereka....biar "org-org gede" itu tahu bagaimana rasanya menikmati "salah ketik" itu....PEACE....!