Utang BNBR

Setelah kemarin-kemarin heboh Mr. Harry dengan BHIT-nya, kali ini Bakrie kembali muncul ke permukaan setelah Telkom menyatakan akan menggabungkan Flexi dengan Esia-nya BTEL. Banyak yang mencurigai bahwa penggabungan ini hanya akan menguntungkan BTEL, namun merugikan TLKM. Penyebabnya? Karena BTEL dinilai memiliki banyak utang, dimana sebagian dari utang tersebut akan menjadi harus ditanggung oleh TLKM jika penggabungan tersebut jadi dilakukan. Dan lebih dari itu, pemilik dari BTEL yaitu Bakrie memang punya banyak utang. Itu pula yang menyebabkan B7 tidak naik-naik meski volume transaksinya akhir-akhir ini ramai lagi. Pertanyaannya, seberapa besar sih utang Bakrie saat ini?

Kita tidak mungkin bisa mengetahui berapa utang Keluarga Bakrie secara persis, karena tidak ada datanya. Atau ada, namun tentu tidak terbuka untuk publik. Namun, kita bisa memperoleh gambaran dengan menganalisis laporan utang yang dicatat oleh induk dari BTEL dan anggota B7 lainnya, BNBR. Dan secara umum, utang BNBR pada 1Q10 memang besar. Totalnya mencapai 23.9 trilyun. Jumlah tersebut naik 68.7% dibanding 1Q09. Sedangkan nilai ekuitas BNBR hanyalah 5.4 trilyun, turun 28.3% dari 1Q09. Sehingga DER-nya adalah 4.4 kali, yang menjadikan BNBR sebagai (mungkin) pengutang terbesar di IDX.


Sebuah perusahaan yang sehat, idealnya memiliki kewajiban lebih kecil dari ekuitasnya (DER-nya dibawah 1). Sebenarnya tidak masalah jika kewajiban lebih besar dari ekuitasnya, namun batas toleransinya adalah 2.0 – 2.5 kali. Kalau sudah mencapai 3.0 kali, maka anda perlu berpikir dua kali kalau ingin membeli saham emiten tersebut untuk jangka panjang, sebab bahkan bank pun hampir pasti akan menolak kalau perusahaan yang bersangkutan datang untuk mengajukan pinjaman. Lalu, bagaimana kalau sudah diatas 4.0 kali seperti BNBR?

Sebagian besar dari kewajiban senilai 23.9 trilyun tersebut, memang termasuk utang-utang yang berbahaya. Pinjaman jangka pendek naik besar dari 1.2 trilyun menjadi 4.0 trilyun. Pinjaman jangka panjang juga naik dari 6.8 trilyun menjadi 8.1 trilyun. Dan utang obligasi naik dari 2.4 trilyun menjadi 3.4 trilyun. Wow.. luar biasa bukan? Dan ingat, itu semua dalam trilyunan, bukan milyaran apalagi cuma jutaan Rupiah. Entah apa yang dilakukan oleh BNBR dalam setahun terakhir ini sehingga utangnya bisa membengkak seperti itu.

Kalau kita perhatikan ekuitasnya, maka kita akan menemukan fakta menarik lainnya. Ekuitas BNBR yang 5.4 trilyun, terdiri dari modal disetor 21.5 trilyun, modal tambahan disetor 24.5 trilyun, selisih nilai transaksi perubahan ekuitas minus 22.6 trilyun, defisit minus 19.9 trilyun, dan lain-lain. Kalau semuanya dijumlahkan hasilnya adalah 5.4 trilyun. Nah, lalu apanya yang menarik? Perhatikan poin modal tambahan disetor. Jumlahnya besar sekali, mencapai 24.5 trilyun. Kalau poin ini tidak ada, maka ekuitas BNBR akan menjadi minus 19.1 trilyun alias defisiensi modal. Apa jadinya kalau ada perusahaan yang modal bersihnya minus sampai US$ 2 milyar? Untung saja, ada tambahan modal disetor. Saya jadi penasaran, dari mana asal uang sebesar 24.5 trilyun ini?

Dan ternyata, uang tersebut diperoleh dari selisih antara penerimaan dana hasil penawaran umum dan konversi utang menjadi saham dengan nilai nominal saham dikurangi biaya emisi saham. Bingung? Jadi intinya, uang tersebut diperoleh dari hasil mengakali nilai dan jumlah saham BNBR (dan mungkin juga saham anak-anak usahanya) yang beredar di market. Dan perhatikan kalimat yang dibold: sebagian dari uang 24.5 trilyun tersebut berasal dari konversi utang. Artinya, sebagian dari modal tambahan disetor tersebut sebenarnya berasal dari utang juga!

Dan sepertinya, utang BNBR kedepannya masih akan bertambah. Pada tanggal 1 April 2010, BNBR mendirikan sebuah anak perusahaan di Singapura, tidak disebutkan apa nama perusahaannya, dalam rangka untuk memperoleh pinjaman dalam negeri. Seminggu kemudian pada tanggal 7 April 2010, anak usaha BNBR yaitu Bakrie Petroleum International Pte Ltd, mendirikan anak perusahaan bernama Alphard Capital Ltd di British Virgin Island. Perusahaan ini juga dibentuk untuk mencari pinjaman luar negeri.

Dan... ini yang ditunggu-tunggu. Pada 7 Mei 2010, anak usaha BNBR yaitu Bakrie Telecom (BTEL), menerbitkan utang obligasi senilai US$ 250 juta atau sekitar Rp 2.4 trilyun, untuk membayar utang kepada Credit Suisse (jadi berhutang untuk membayar utang), dan untuk belanja modal. Karena penerbitan obligasi tersebut dilakukan setelah tanggal 31 Maret 2010, maka angka 2.4 trilyun tadi belum termasuk dalam total kewajiban BNBR sebesar 23.9 trilyun yang disebutkan diatas.

Kalau dua anak usaha yang baru didirikan tersebut berhasil mendapat utang luar negeri, dan utang baru 2.4 trilyun itu ditambahkan ke neraca, maka kira-kira akan jadi berapa jumlah utang BNBR pada kuartal dua nanti? Sekedar informasi, anak usaha BNBR yang lainnya yaitu BUMI, juga mendapat tambahan utang sebesar total US$ 125 juta atau Rp 1.2 trilyun pada tanggal 30 April 2010 dari UBS Bank dan Deutsche Bank Singapura.

Jadi berapa kira-kira utang Bakrie? Entahlah, tapi yang jelas memang ‘cukup’ besar.

Komentar

Anonim mengatakan…
gali lubang tutup lubang....sayangnya, yang digali makin lama makin gede...dan parahnya lagi, nutupnya lebih gedean lagi....!

jadi ingat lagu dangdut jaman dulu...SALOME...salah masuk lobang loe kejeblos ampe mampus rame-rame...(ini dah dimodifikasi untuk saat ini...wkkkkk...!)
Anonim mengatakan…
Mas Teguh,
Mau tanya, seputar aksi korporasi BUMI yang pasti nyeret BNBR.
Ada rumor apalagi yang dibuat BUMI terkait mencari hutang murah meriah?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?