Lippo Karawaci
Lippo Karawaci (LPKR) termasuk perusahaan yang publikasi laporan keuangannya paling ditunggu karena statusnya sebagai perusahaan properti terbesar di Indonesia, dan satu-satunya perusahaan properti yang terdaftar sebagai bluchip berkat market cap-nya yang sempat berada diatas 1 milyar Dollar. Dan aset utamanya Grup Lippo ini akhirnya mengeluarkan lap keu 1Q10 pada 31 Mei lalu. Dan coba tebak, laba bersihnya masih stabil dengan naik tipis 4.3%. Tapi kenapa kok sejak Awal April lalu, sahamnya turun terus hingga kini (saat artikel ini ditulis) tinggal 400?
Sekilas, tidak ada yang salah dengan kinerja LPKR. Asetnya hampir tak berubah dengan hanya turun 0.2%, sementara kewajibannya turun 5.8% dan ekuitasnya naik 7.5% yang memang ditopang oleh kenaikan saldo labanya. Penjualannya? Naik 11.1%, dan laba bersihnya naik 4.3%. Jadi meski kinerjanya tidak meningkat, namun juga tidak turun. Karena sekarang-sekarang ini kondisi sektor properti memang lagi lesu, kinerja LPKR tersebut masih terbilang wajar.
Lantas apa yang membuat sahamnya turun terus?
Mr. James Riady, sang pemilik Lippo Grup, punya kebiasaan yang mirip-mirip dengan Mr. Ical Bakrie: doyan ngutang. Pada 1 April (April Mop?), LPKR mengumumkan akan menerbitkan surat utang senilai US$ 350 juta, atau sekitar 3 trilyun. Itu adalah jumlah yang besar mengingat utang pinjaman bank dan obligasi LPKR sendiri sudah mencapai 2.8 trilyun, atau 41.2% dari total kewajiban. Sedangkan kewajiban LPKR sendiri memang sudah lebih besar dari ekuitasnya (kewajiban 6.7 T, dan ekuitas 5.0 T).
Sebenarnya untuk perusahaan di sektor lain, tidak jadi soal kalau jumlah kewajiban lebih besar dari ekuitasnya, asal perbedaannya tidak terlampau jauh. Tapi beda masalahnya kalau untuk sektor properti. Idealnya, perusahaan properti harus memiliki ekuitas yang jauh lebih besar dari kewajibannya, atau paling tidak setara. Mengapa? Karena bisnis properti tidak seprospektif bisnis consumer goods dan resikonya cukup besar, sehingga modalnya harus kuat. Dan ekuitas dari kebanyakan perusahaan properti memang lebih besar dari kewajibannya. LPKR ini adalah pengecualian, meski tidak sendirian. Utangnya ELTY, KIJA, PWON, SMRA, dan mungkin beberapa perusahaan properti lainnya yang lebih kecil, juga lebih besar dari ekuitasnya.
Penambahan utang 3 trilyun tersebut akan membuat utang pinjaman dan obligasi LPKR bertambah menjadi 5.8 trilyun, atau sudah lebih besar dari ekuitasnya. Wajar jika kemudian investor ketakutan, meski penerbitan surat utang tersebut masih sebatas rencana. Alhasil empat hari kemudian (4 April), LPKR mulai bergerak turun dari puncaknya yaitu 640.
Pada 19 April, LPKR masih stabil dikisaran 590. Tiba-tiba LPKR mengumumkan akan menerbitkan obligasi untuk menambal utang obligasi yang sebentar lagi akan jatuh tempo. Investor makin panik, dan akhirnya LPKR mulai terjun bebas. Pada 14 Mei, penerbitan obligasi tersebut akhirnya terealisasi, dimana anak perusahaan LPKR yaitu Sigma Capital, resmi menerbitkan obligasi sebesar US$ 271 juta. Penurunan LPKR akhirnya tidak terbendung lagi. Ketika itu LPKR masih berada di 550, dan kini sudah berada di posisi 400.
Jadi sebenarnya berapa jumlah utang obligasi LPKR sekarang?
Karena aktivitas penerbitan obligasi tersebut dilakukan setelah tanggal 31 Maret, maka kita baru bisa melihat laporannya pada lap keu kuartal dua nanti. Tapi kita bisa menghitungnya. Pada 1Q10, hutang obligasi LPKR adalah 2.3 trilyun. Penambahan utang obligasi tersebut, kalau pake kurs 9,200, berarti sekitar 2.5 trilyun. Berarti totalnya 4.8 trilyun. Karena obligasi yang sebelumnya baru akan jatuh tempo tanggal 9 Maret 2011, maka jumlah 4.8 trilyun tersebut tidak berkurang. Sebaliknya, beban bunga yang harus dibayar LPKR menjadi bertambah, karena interest rate-nya naik dari 8.9% menjadi 9.0% untuk obligasi yang baru.
Jadi untuk saat ini sepertinya tidak terlalu penting untuk melihat LPKR dari sisi fundamentalnya, karena kinerjanya normal-normal saja dan tidak ada yang aneh. Pergeraan saham LPKR akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh aksi korporasi perusahaan. Lantas apakah sahamnya akan segera naik? Hal itu hampir sepenuhnya berada ditangan Mr. James sendiri. Katakanlah kalau suatu hari nanti LPKR mengeluarkan pengumuman bahwa mereka akan membayar sebagian atau seluruh utangnya, maka hampir dapat dipastikan LPKR akan segera melejit kembali.
Tapi untuk saat ini tampaknya belum ada tanda-tanda kearah situ. Mungkin Mr. James belum melihat ada pentingnya untuk menaikkan kembali harga LPKR, karena itu beliau membiarkannya saja pada harga sekarang. Pada jawaban dari manajemen LPKR atas pertanyaan IDX mengenai volatilitas transaksi saham yang diterbitkan 2 Juni kemarin, LPKR menyatakan tidak tahu menahu soal penurunan harga saham yang drastis tersebut, dan juga tidak menyebutkan bahwa perusahaan akan melakukan aksi korporasi tertentu dalam beberapa waktu kedepan.
Harga 400 memang sudah sangat rendah. Harga terendah yang pernah dicapai LPKR dalam setahun terakhir adalah 345. Jadi kalaupun LPKR kedepannya masih akan turun, sepertinya tidak akan lebih kecil dari itu.
Rating Kinerja pada 1Q10: BBB
Rating saham pada 400: BBB
Sekilas, tidak ada yang salah dengan kinerja LPKR. Asetnya hampir tak berubah dengan hanya turun 0.2%, sementara kewajibannya turun 5.8% dan ekuitasnya naik 7.5% yang memang ditopang oleh kenaikan saldo labanya. Penjualannya? Naik 11.1%, dan laba bersihnya naik 4.3%. Jadi meski kinerjanya tidak meningkat, namun juga tidak turun. Karena sekarang-sekarang ini kondisi sektor properti memang lagi lesu, kinerja LPKR tersebut masih terbilang wajar.
Lantas apa yang membuat sahamnya turun terus?
Mr. James Riady, sang pemilik Lippo Grup, punya kebiasaan yang mirip-mirip dengan Mr. Ical Bakrie: doyan ngutang. Pada 1 April (April Mop?), LPKR mengumumkan akan menerbitkan surat utang senilai US$ 350 juta, atau sekitar 3 trilyun. Itu adalah jumlah yang besar mengingat utang pinjaman bank dan obligasi LPKR sendiri sudah mencapai 2.8 trilyun, atau 41.2% dari total kewajiban. Sedangkan kewajiban LPKR sendiri memang sudah lebih besar dari ekuitasnya (kewajiban 6.7 T, dan ekuitas 5.0 T).
Sebenarnya untuk perusahaan di sektor lain, tidak jadi soal kalau jumlah kewajiban lebih besar dari ekuitasnya, asal perbedaannya tidak terlampau jauh. Tapi beda masalahnya kalau untuk sektor properti. Idealnya, perusahaan properti harus memiliki ekuitas yang jauh lebih besar dari kewajibannya, atau paling tidak setara. Mengapa? Karena bisnis properti tidak seprospektif bisnis consumer goods dan resikonya cukup besar, sehingga modalnya harus kuat. Dan ekuitas dari kebanyakan perusahaan properti memang lebih besar dari kewajibannya. LPKR ini adalah pengecualian, meski tidak sendirian. Utangnya ELTY, KIJA, PWON, SMRA, dan mungkin beberapa perusahaan properti lainnya yang lebih kecil, juga lebih besar dari ekuitasnya.
Penambahan utang 3 trilyun tersebut akan membuat utang pinjaman dan obligasi LPKR bertambah menjadi 5.8 trilyun, atau sudah lebih besar dari ekuitasnya. Wajar jika kemudian investor ketakutan, meski penerbitan surat utang tersebut masih sebatas rencana. Alhasil empat hari kemudian (4 April), LPKR mulai bergerak turun dari puncaknya yaitu 640.
Pada 19 April, LPKR masih stabil dikisaran 590. Tiba-tiba LPKR mengumumkan akan menerbitkan obligasi untuk menambal utang obligasi yang sebentar lagi akan jatuh tempo. Investor makin panik, dan akhirnya LPKR mulai terjun bebas. Pada 14 Mei, penerbitan obligasi tersebut akhirnya terealisasi, dimana anak perusahaan LPKR yaitu Sigma Capital, resmi menerbitkan obligasi sebesar US$ 271 juta. Penurunan LPKR akhirnya tidak terbendung lagi. Ketika itu LPKR masih berada di 550, dan kini sudah berada di posisi 400.
Jadi sebenarnya berapa jumlah utang obligasi LPKR sekarang?
Karena aktivitas penerbitan obligasi tersebut dilakukan setelah tanggal 31 Maret, maka kita baru bisa melihat laporannya pada lap keu kuartal dua nanti. Tapi kita bisa menghitungnya. Pada 1Q10, hutang obligasi LPKR adalah 2.3 trilyun. Penambahan utang obligasi tersebut, kalau pake kurs 9,200, berarti sekitar 2.5 trilyun. Berarti totalnya 4.8 trilyun. Karena obligasi yang sebelumnya baru akan jatuh tempo tanggal 9 Maret 2011, maka jumlah 4.8 trilyun tersebut tidak berkurang. Sebaliknya, beban bunga yang harus dibayar LPKR menjadi bertambah, karena interest rate-nya naik dari 8.9% menjadi 9.0% untuk obligasi yang baru.
Jadi untuk saat ini sepertinya tidak terlalu penting untuk melihat LPKR dari sisi fundamentalnya, karena kinerjanya normal-normal saja dan tidak ada yang aneh. Pergeraan saham LPKR akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh aksi korporasi perusahaan. Lantas apakah sahamnya akan segera naik? Hal itu hampir sepenuhnya berada ditangan Mr. James sendiri. Katakanlah kalau suatu hari nanti LPKR mengeluarkan pengumuman bahwa mereka akan membayar sebagian atau seluruh utangnya, maka hampir dapat dipastikan LPKR akan segera melejit kembali.
Tapi untuk saat ini tampaknya belum ada tanda-tanda kearah situ. Mungkin Mr. James belum melihat ada pentingnya untuk menaikkan kembali harga LPKR, karena itu beliau membiarkannya saja pada harga sekarang. Pada jawaban dari manajemen LPKR atas pertanyaan IDX mengenai volatilitas transaksi saham yang diterbitkan 2 Juni kemarin, LPKR menyatakan tidak tahu menahu soal penurunan harga saham yang drastis tersebut, dan juga tidak menyebutkan bahwa perusahaan akan melakukan aksi korporasi tertentu dalam beberapa waktu kedepan.
Harga 400 memang sudah sangat rendah. Harga terendah yang pernah dicapai LPKR dalam setahun terakhir adalah 345. Jadi kalaupun LPKR kedepannya masih akan turun, sepertinya tidak akan lebih kecil dari itu.
Rating Kinerja pada 1Q10: BBB
Rating saham pada 400: BBB
Komentar
Nice review..
Spec Buy LPKR ^^