Bakrie Connectivity & Telkom

Salah satu berita yang paling hot yang beredar di market dalam sepekan terakhir adalah tentang aksi korporasi terbarunya Bakrie Telecom (BTEL). BTEL mendirikan PT Bakrie Connectivity (BCON), anak usaha yang bergerak di jasa layanan internet. Informasi ini disambut baik oleh banyak investor dan alhasil, jumat kemarin BTEL naik 1 poin ke posisi 166. Jika dihitung sejak posisi terendahnya pada pada 25 Mei lalu yaitu 133, berarti BTEL telah naik 26.7% dalam sebulan terakhir. Sebuah kenaikan yang luar biasa apalagi mengingat status BTEL sebagai anggota B7. Diluar itu, ada beberapa fakta menarik seputar pendirian BCON.

Meski baru diumumkan pada kamis 24 Juni kemarin, sebenarnya BNBR (induk dari BTEL) sudah mendirikan PT Bakrie Connectivity atau BCON secara resmi pada 11 Maret 2010, dengan modal awal hanya Rp 500 juta. Pada tanggal yang sama, BNBR juga mendirikan PT Bakrie Network atau BNET, juga dengan modal awal Rp 500 juta. Dua unit usaha baru tersebut direncanakan untuk bergerak di industri jasa layanan komunikasi khususnya internet, sehingga ditempatkan dibawah BTEL, yang memang merupakan perusahaan komunikasi.


Apakah BCON dan BNET sengaja didirikan untuk melebarkan sayap BTEL ke bisnis jasa layanan internet? Mungkin. Tapi yang jelas, pada 7 Mei 2010 atau hampir dua bulan setelah BCON dan BNET resmi berdiri, anak usaha BTEL yaitu Bakrie Telecom Pte Ltd, menerbitkan obligasi global senilai US$ 250 juta dengan jaminan BTEL sebagai induk usaha, dan BCON serta BNET sebagai anak usaha BTEL. Obligasi tersebut akan digunakan untuk investasi modal, dan untuk membayar utang perusahaan kepada Credit Suisse. Utang BTEL ke Credit Suisse sendiri yang akan jatuh tempo pada tahun ini mencapai sekitar US$ 50 juta. Jadi BTEL punya sisa dana US$ 200 juta yang akan digunakan untuk belanja modal.

Jadi sejak awal BCON dan BNET memang sengaja didirikan untuk digunakan sebagai jaminan atas obligasi yang akan diterbitkan. BTEL akan menggunakan US$ 100 juta dari sisa dana US$ 200 juta tersebut untuk mengembangkan BCON. Sisanya lagi yaitu US$ 100 juta mungkin akan digunakan untuk mengembangkan BNET. Sampai dengan saat ini BTEL memang masih belum mengumumkan bahwa mereka telah mendirikan BNET. Mungkin mereka masih menunggu waktu yang tepat.

Kehadiran BCON membuat banyak pihak sejenak melupakan polemik atas penggabungan dua unit usaha milik BTEL dan TLKM, yaitu Esia dan Flexi. Sebab BCON ini menjanjikan prospek yang selangit. Bisnis jasa layanan internet di Indonesia memang sedang bagus-bagusnya, sehingga launching BCON ini akan membuat BTEL semakin bernilai di mata investor.

Namun jangan lupa, bahwa meski masih simpang siur, kemungkinan besar BTEL akan menggelar right issue pada rasio 1:1 dengan BNBR dan TLKM sebagai pembeli siaganya. Mungkin pada agustus atau september mendatang. Nantinya, BNBR dan TLKM masing-masing akan memegang 30% saham BTEL, dan sisanya dimiliki oleh publik. Apa artinya ini? Artinya, utang obligasi US$ 250 juta tadi akan dibagi dua antara BNBR dan TLKM.

Lalu dari mana TLKM punya duit untuk membeli sebagian kepemilikan BTEL? Dari penerbitan obligasi senilai Rp 3 trilyun yang akan ditawarkan 28 – 29 Juni mendatang. Dan TLKM kemungkinan tidak akan kesulitan menjual obligasi ini karena obligasi tersebut mendapat rating yang bagus dari Pefindo. Sejak awal, sebenarnya agak aneh kalau perusahaan dengan sejarah kinerja se-solid TLKM menerbitkan obligasi. Apa perlunya sih? Kalau memang tujuannya untuk belanja modal, TLKM masih punya dana kas segar sebesar Rp 6.8 trilyun pada 1Q10. TLKM sebelumnya tidak pernah menerbitkan obligasi, atau setidaknya itulah yang tercermin pada laporan kuangan 1Q10, dimana dari total kewajiban TLKM senilai Rp 42.8 trilyun, tidak ada sepeser pun yang merupakan utang obligasi. Jadi kenapa sekarang tiba-tiba TLKM ikut-ikutan menerbitkan obligasi? Tapi mengingat TLKM akan mensinergikan Flexi dengan Esia, maka penerbitan obligasi tersebut menjadi beralasan.

Jika kita mengkaitkan semua informasi diatas, maka akan diperoleh kesimpulan menarik:

BTEL mungkin memang sudah sejak lama ingin terjun ke bisnis internet karena prospeknya memang bagus. Atau mungkin, Bakrie ingin menjadikan BTEL sebagai andalan barunya mengingat BUMI yang sempat berjaya beberapa waktu lalu, kini tidak lagi dilirik investor. Karena itulah BTEL menyajikan BCON sebagai ‘umpan’ bagi investor, dan mungkin kedepannya giliran BNET yang disajikan setelah gemerlap BCON meredup. Sayangnya, BTEL tidak punya uang untuk mengembangkan dua anak usahanya tersebut. Meminjam utang atau menerbitkan obligasi di dalam negeri juga hampir tidak mungkin karena utang BTEL dan khususnya utang BNBR sebagai induk dari BTEL, sudah terlalu besar dan tidak lagi dipercaya oleh investor lokal. Jadi jalan satu-satunya adalah meminjam ke luar negeri. Dan ternyata BTEL bisa memperoleh dana segar US$ 250 juta.

Lalu siapa yang nantinya harus membayar US$ 250 juta tersebut? Entah bagaimana caranya, TLKM ternyata bersedia untuk ikut menanggung utang tersebut dengan cara menjadi pembeli siaga dari right issue-nya BTEL, dengan sinergi Esia-Flexi sebagai alasannya. Duitnya dari mana? Dari penerbitan obligasi. Mengingat TLKM punya nama baik di mata investor lokal, maka TLKM tentu tidak akan mengalami kesulitan untuk mencari utang. Dan terbukti, obligasi Rp 3 trilyun yang ditawarkan TLKM dikabarkan sudah habis terserap pasar.

Bagaimana kalau BTEL ternyata tidak jadi menggelar right issue? Kan itu berarti TLKM tidak bisa menyuntikkan dana ke BTEL? Meski right issue tersebut bisa saja tidak digelar, namun Esia hampir pasti akan digabung dengan Flexi. Dan apapun bentuk penggabungan tersebut, pasti akan terdapat klausul dimana BTEL akan memperoleh keuntungan yang substansial. Kalau tidak, buat apa Esia dan Flexi pake acara digabung segala? Jelas-jelas keduanya sudah merupakan penguasa pasar telekomunikasi CDMA di Indonesia, dengan total pangsa pasar diatas 70%.

Kesimpulannya? BTEL bisa mendirikan BCON dan BNET sekaligus masuk ke industri jasa layanan internet, dengan hampir tanpa mengeluarkan modal sedikitpun, karena modalnya adalah berasal dari anda, para investor, melalui perantara TLKM. Keuntungan lainnya, BNBR sebagai induk dari BTEL nantinya tidak perlu terlalu pusing karena sebagian dari utang modal tersebut akan ditanggung oleh TLKM. Dan BTEL kini sekilas memiliki masa depan yang cerah karena telah terjun ke bisnis jasa layanan internet, yang memiliki prospek yang sangat baik.

Menurut saya, ini adalah strategi bisnis yang sangat jenius yang mungkin tidak akan bisa dilakukan oleh pengusaha biasa. Tak heran kalau Keluarga Bakrie sangat kaya raya.

Komentar

Anonim mengatakan…
Hi Mas Teguh,
Tulisan yang cukup inspirasi dan membuka sisi ada apa dengan BConnect itu. Rencanaya, saya akan menganalisis rencana BConnect dengan komentar analis. Sebelumnya, izinkan saya mengutip beberapa paragraf untuk menyempurnakan tulisan saya..
Saya berterima kasih sudah diperbolehkan mencoret lembaran putih ini.

Thx,
Susan Silaban
iru mengatakan…
hari ni BTEL ditutup di 171 dengan candle sempurna + volume, sepertinya lanjut, bagaimana menurut Pak Teguh ?
Thank's.
Teguh Hidayat mengatakan…
@susan: you're welcome!
@iru: selama berita soal BCON ini masih hangat, maka dalam seminggu ini BTEL masih berpeluang buat naik lagi, mungkin ke 180 sblum kemudian begerak sideways atau terkoreksi kembali. selasa besok mungkin BTEL akan turun sebentar sebelum kemudian naik lagi.
Teguh Hidayat mengatakan…
tapi secara umum sih, pergerakan dari BTEL sangat tergantung dari perkembangan beritanya. bisa saja besok2 BTEL malah turun kalo beredar kabar bahwa merger Esia-Flexi ternyata tidak jadi, misalnya.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?