Rupiah & IHSG

Dipengaruhi oleh berita mengenai Sri Mulyani, Rupiah hari ini ditutup turun 36 poin dari 9,017 menjadi 9,053 per US$. Salah satu penurunan paling tajam sepanjang tahun 2010 ini, ditengah-tengah kondisi Rupiah yang terus menguat terhadap Dollar. Saya jadi tertarik untuk melihat ada hubungan apa antara Rupiah dan IHSG. Sebab selama ini, pergerakan Rupiah hampir selalu seiring sejalan dengan IHSG. IHSG sendiri hari ini terkoreksi cukup dalam, 3.81%.

Sejak setahun terakhir, Rupiah secara keseluruhan sudah menguat dari rata-rata 10,500-an per US$, menjadi kini hanya 9,000-an per US$. Penurunan ini memang tampaknya tidak terlalu besar, hanya sekitar 15%. Tapi efeknya sebenarnya cukup besar, berikut ulasannya:

Penguatan Rupiah memiliki setidaknya dua efek terhadap pergerakan IHSG, yaitu efek langsung dan efek tak langsung. Efek langsungnya adalah, jika Rupiah menguat maka investor asing dengan mata uang US$ akan berpikir dua kali untuk masuk ke IDX. Jika misalnya dulu hanya dengan modal US$ 1,000 seorang investor bisa dapat Rp 10.5 juta untuk belanja saham, maka kini dengan modal yang sama seorang investor hanya bisa mendapatkan Rp 9 juta. So, kalau dana yang masuk ke bursa berkurang, otomatis pasar akan lesu dan kemungkinan besar index akan melemah.

Namun, teori itu nampaknya tidak terlalu berlaku bagi IDX. Prospek penguatan IHSG yang masih menjanjikan membuat investor asing tetap masuk ke Indonesia dan membanjiri bursa dengan hot money, tak peduli meski harga Rupiah sedang mahal. Statistik menunjukkan, selama bulan April 2010, dana asing yang masuk ke bursa adalah 27.1 trilyun, sedangkan dana asing yang keluar adalah 25.8 trilyun, sehingga selisih bersihnya adalah surplus 1.3 trilyun. Pada bulan maret pun, perdagangan surplus dengan nilai 4.9 trilyun.

Efek lainnya adalah efek tidak langsung, dimana penguatan Rupiah akan berdampak positif bagi laporan keuangan perusahaan-perusahaan anggota IDX, terutama bagi perusahaan yang memiliki banyak utang dalam nominal US$. Jika Rupiah menguat maka otomatis jumlah pinjaman beserta bunganya yang harus dibayar menjadi lebih rendah. Sehingga, pengeluaran non operasional yang disebabkan oleh selisih kurs, bisa berbalik menjadi pendapatan non operasional yang pada akhirnya meningkatkan laba bersih perusahaan. Dan memang itulah yang terjadi. Penguatan Rupiah menyebabkan banyak perusahaan mencetak pertumbuhan laba bersih yang signifikan, meski laba operasionalnya sebenarnya hanya naik sedikit atau bahkan berkurang.

Misalnya TLKM yang mencatat pengeluaran karena selisih kurs sebesar 212 milyar pada 1Q/09, berbalik mencatat pendapatan karena selisih kurs sebesar 164 milyar. Dengan demikian, TLKM totalnya meraih pendapatan non operasional 376 milyar berkat penguatan Rupiah tersebut. Hasilnya? Laba bersih TLKM naik 319 milyar pada Q1/10 dibanding Q1/09. Seandainya Rupiah tidak menguat, maka TLKM akan mengalami penurunan laba bersih (ini sebabnya sahamnya tidak naik signfikan meski laba bersihnya naik). Hal yang sama juga terjadi pada banyak perusahaan lainnya. Biasanya, semakin besar jumlah utang sebuah perusahaan, semakin besar efek penguatan Rupiah ini terhadap laporan kinerja perusahaan bersangkutan.


Karena banyak perusahaan mencatat kenaikan laba bersih yang besar, maka nilai jual mereka menjadi naik, sehingga sahamnya pun naik, dan akhirnya menguatkan IHSG secara keseluruhan. Jadi, seandainya kita bisa memperkirakan apakah Rupiah akan menguat atau melemah dalam beberapa waktu kedepan, maka kita juga bisa memperkirakan berapa laba bersih yang akan diperoleh oleh perusahaan-perusahaan, dan secara tidak langsung bisa memperkirakan apakah IHSG akan naik atau turun dalam beberapa waktu kedepan.

Lalu sampai level berapa Rupiah ini akan menguat? Dan apakah penurunan yang cukup tajam hari ini akan berlanjut pada hari-hari berikutnya?

Seperti IHSG, pergerakan Rupiah juga termasuk rentan terhadap berita dan peristiwa-peristiwa politik dalam negeri. Penguatan signifikan Rupiah selama ini, salah satunya adalah karena pemerintah tampaknya cukup berhasil dalam meredam berbagai isu politik dalam negeri, sehingga kondisi ekonomi kita relatif kondusif.

Dan mengingat bahwa cerita tentang Sri Mulyani ini tampaknya akan berbuntut panjang, maka Rupiah mungkin belum akan kembali menguat dalam waktu dekat ini. Berbuntut panjang bagaimana? Setelah Sri Mulyani pergi, isu yang pasti akan muncul kemudian adalah siapa pengganti beliau sebagai Menkeu. Isu ini pasti akan berkepanjangan karena tentu semua pihak yang berkepentingan akan berebut untuk menempatkan orangnya di posisi Menkeu, sementara masyarakat masih belum melihat pengganti yang sepadan dengan Sri Mulyani untuk posisi se-strategis Menkeu. Isu lainnya yang akan menjadi runyam adalah soal kasus Bank Century. Isu lainnya, bagaimana dengan reformasi perpajakan sepeninggal Sri Mulyani? Dan seterusnya.

Jika mundurnya Sri Mulyani sebagai Menkeu ini benar-benar menyulut polemik politik yang berkepanjangan, maka tentunya sulit untuk melihat Rupiah akan bangkit kembali. Kita lihat saja kelanjutan dari cerita ini besok.

Komentar

SmallKey mengatakan…
Sekarang rupiah lagi down. Semoga rupiah tidak merosot lagi dipermainkan Dollar dan tidak dipecundangi oleh kebijakan pemerintah sendiri. Salam kenal, mampir ke blogku ada apa aja

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?