May Effect
Pada awal maret lalu ketika IHSG berada di posisi 2,550-an, saya berpendapat bahwa IHSG akan mampu menembus level psikologis 3,000 pada akhir April nanti, sebelum kemudian terkoreksi pada bulan Mei. Saya memprediksi bahwa IHSG akan menyentuh puncaknya pada kisaran 3,000 – 3,100 sebelum kemudian terkoreksi untuk balik lagi ke 2,700 – 2,800. Setelah saya baca-baca koran pada waktu itu, sebagian besar analis lainnya pun punya pendapat yang sama dalam hal bahwa IHSG akan menembus 3,000, namun tak banyak dari mereka yang menyebutkan bahwa akan terjadi koreksi besar-besaran pada Bulan Mei. Saya memberi istilah pada koreksi pada bulan Mei tersebut dengan ‘efek Bulan Mei’ atau ‘May Effect’.
Faktanya, IHSG tidak pernah menembus angka 3,000. IHSG hanya mampu menyentuh angka 2,971 pada tanggal 30 April lalu sebagai posisi puncaknya (cuma kurang 29 poin lagi dari posisi 3,000), sebelum kemudian mulai bergerak turun pada hari perdagangan berikutnya, yaitu 3 Mei, ke posisi 2,961. Setelah itu, IHSG terus turun hingga kini tinggal 2,739. Kondisi inilah yang saya sebut dengan May Effect.
Bagi anda yang sudah pernah membaca semua postingan saya di thread yang saya buat di forum Kaskus, anda mungkin ingat bahwa saya pernah membahas soal May Effect ini beberapa minggu lalu, meski hanya sekilas. Bagi yang belum, ini link-nya http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3683393, tapi maaf saya lupa dihalaman berapa saya membahas soal May Effect ini, threadnya udah panjang banget soalnya. Jadi silahkan anda cari sendiri, hehe.
Apa itu May Effect?
Dalam kondisi ekonomi yang normal khususnya setelah pulih dari krisis, maka biasanya indeks-indeks harga saham negara-negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang termasuk IHSG-nya Indonesia, akan bergerak naik lebih cepat dari pemulihan ekonominya sendiri, karena didorong oleh greed (istilah kasarnya: sifat serakah) para pelaku pasar. Sehingga, beberapa indeks saham termasuk IHSG memiliki kecenderungan untuk naik sangat drastis, hanya karena dipicu oleh fakta bahwa beberapa indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan perbaikan dan kenaikan, meski sebenarnya kenaikannya biasa-biasa saja.
Sebaliknya. Dalam kondisi ekonomi yang tidak normal atau krisis, seperti yang terjadi pada akhir tahun 2008 lalu, IHSG bergerak turun lebih cepat daripada pelemahan ekonomi Indonesianya sendiri, karena didorong oleh fear (kepanikan) para pelaku pasar. Ketika IHSG berada pada titik nadirnya yaitu 1,111 pada akhir oktober 2008, kondisi ekonomi kita sebenarnya fine-fine aja. Beberapa indikator ekonomi permukaan seperti nilai tukar Rupiah terhadap US$, memang menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan. Namun sebagian besar indikator ekonomi dasar seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, pertumbuhan PDB, dll, masih normal-normal saja kala itu. Faktanya, yang merasakan imbas dari krisis global hanyalah para investor pemegang saham di IDX yang jumlahnya tak sampai 1% dari seluruh penduduk di Indonesia. Beberapa konglomerat juragan saham memang mendadak bangkrut ketika itu. Namun rakyat banyak, yang rata-rata tidak mengerti apa itu saham dan hanya peduli pada harga sembako, tidak merasakan imbas apa-apa kecuali harga sembako yang naik karena Hari Raya Idul Fitri pada bulan oktober 2008.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa nilai IHSG sesungguhnya lebih dikendalikan oleh aktivitas para pelaku pasar, daripada oleh kondisi ekonomi itu sendiri. Dan tidak hanya IHSG, bursa-bursa saham di negara lainnya rata-rata juga sama seperti itu.
Dalam kondisi ekonomi yang normal, IHSG akan terus naik dari waktu ke waktu. Anda mungkin tahu bahwa IHSG pada tahun 2002 masih berada di kisaran 300-an, bandingkan dengan posisinya sekarang yang hampir saja mencapai 10 kali lipatnya? Itu memang sudah sewajarnya, sebab perusahaan-perusahaan yang terdaftar di IDX juga akan terus mencetak kenaikan pendapatan dari waktu ke waktu, kecuali sebagian yang memang kinerjanya sudah gak jelas dari awal. Nah, karena didorong oleh greed pada saat kondisi ekonomi normal, kenaikan IHSG hampir selalu lebih tinggi dari kenaikan kinerja dari para perusahaan yang bernaung dibawahnya. Sebabnya? Karena para investor terkadang menilai sebuah emiten terlalu tinggi, lebih tinggi dari nilai fundamentalnya, yang biasanya disebabkan oleh buaian para analis (atau lebih tepatnya marketing) dari sekuritas atau perusahaan bersangkutan. Akumulasi dari harga-harga yang terlalu tinggi dari banyak emiten tersebut menyebabkan IHSG naik lebih cepat dari fundamental atau kinerja emiten-emiten tersebut.
Nah, karena IHSG hampir selalu naik lebih cepat dari fundamentalnya, maka secara alamiah akan terdapat koreksi rutin yang menimpa IHSG pada setiap waktu tertentu, yaitu pada setiap kali IHSG menyentuh kondisi bubble. Koreksi ini adalah untuk mengembalikan posisi IHSG ke posisi wajarnya, yaitu posisi yang sesuai dengan fundamental para emiten-emiten anggota bursa.
Dan setelah saya amati IHSG ini semenjak krisis yang terjadi pada november 2008, terdapat pola mengenai koreksi rutin ini. Pola tersebut adalah: koreksi rutin itu terjadi setiap empat bulan sekali. Koreksi pertama yang terjadi pada IHSG semenjak bangkit dari krisis terjadi pada Februari 2009. Koreksi berikutnya, Juni 2009, Oktober 2009, Februari 2010. Kalau mengikuti pola ini, maka seharusnya IHSG baru akan terkoreksi pada Juni nanti. Tapi kenapa koreksi tersebut sudah terjadi pada Bulan Mei ini?
Koreksi yang terjadi lebih cepat tersebut disebabkan oleh tindakan para investor big fish yang keluar market lebih cepat dari biasanya, karena mereka sudah mengantongi keuntungan yang cukup banyak. Faktanya, sejak posisi terendahnya setelah terjadi koreksi Februari lalu yaitu 2,476, IHSG sudah naik 20.0% ketika mencapai puncaknya 30 april lalu. Artinya, rata-rata para investor sudah mengantongi keuntungan sebesar 20% hanya dalam tiga bulan. Nah! Untuk seorang big fish dengan modal katakanlah Rp 10 milyar, maka keuntungan 2 milyar hanya dalam tiga bulan jelas lumayan! Maka dia pun memilih untuk keluar, sekalian liburan ke Afrika Selatan untuk nonton World Cup, bulan depan. Akibatnya, IHSG langsung jeblok.
Dugaan saya bahwa IHSG akan terkoreksi pada bulan Mei ini, atau lebih cepat sebulan dari seharusnya, adalah berdasarkan pada perkiraan bahwa kenaikan IHSG semenjak Februari lalu akan mencapai 20% pada akhir April kemarin. Secara psikologis, para big fish biasanya akan memilih untuk istirahat sejenak kalau sudah dapet duit gratis dari market paling tidak sebesar 2 atau 3 milyar.
Koreksi IHSG yang terjadi kali ini memang lebih dalam dari koreksi-koreksi yang terjadi sebelumnya. Sebabnya apalagi kalau bukan karena Sri Mulyani, dan juga karena diseret oleh melemahnya indeks-indeks regional dan global. Namun kalaupun Sri Mulyani tidak mundur sebagai Menkeu, IHSG tetap akan terkoreksi. Faktanya, IHSG sudah mulai turun sejak 3 Mei lalu, sementara Sri Mulyani baru mundur sebagai Menkeu pada 5 Mei.
Lalu pertanyaannya, kira-kira seberapa dalam koreksi yang akan terjadi pada IHSG? Kali ini agak sulit untuk memperkirakan seberapa dalam koreksi tersebut, sebab mundurnya Sri Mulyani tidak termasuk dalam bagian analisis yang saya perhitungkan. Seharusnya IHSG tidak bisa lebih rendah lagi dari posisi sekarang, yang berada pada posisi 2,700-an. Tapi mengingat soal Sri Mulyani ini kemungkinan besar akan berbuntut panjang, dan kondisi market regional dan global juga sama tidak stabilnya, maka IHSG masih mungkin untuk terkoreksi lebih dalam lagi. Mungkin bisa sampai menyentuh 2,500-an.
Tapi kan diawal anda bilang IHSG akan menembus 3,000 sebelum kemudian baru terkoreksi, mana? Yah namanya juga prediksi, bisa aja salah. Lagian selisihnya dari posisi tertinggi pada 30 April lalu deket banget kok, cuma 29 poin, hehe.
Bagi anda yang masih berada di luar kolam, maka mungkin sekarang adalah saatnya untuk ambil ancang-ancang untuk terjun. Tapi tidak usah terburu-buru, karena bulan Mei ini masih panjang. Sesuai namanya ‘May Effect’, efek dari bulan Mei ini kemungkinan baru akan mereda pada pertengahan atau menjelang akhir bulan nanti.
Faktanya, IHSG tidak pernah menembus angka 3,000. IHSG hanya mampu menyentuh angka 2,971 pada tanggal 30 April lalu sebagai posisi puncaknya (cuma kurang 29 poin lagi dari posisi 3,000), sebelum kemudian mulai bergerak turun pada hari perdagangan berikutnya, yaitu 3 Mei, ke posisi 2,961. Setelah itu, IHSG terus turun hingga kini tinggal 2,739. Kondisi inilah yang saya sebut dengan May Effect.
Bagi anda yang sudah pernah membaca semua postingan saya di thread yang saya buat di forum Kaskus, anda mungkin ingat bahwa saya pernah membahas soal May Effect ini beberapa minggu lalu, meski hanya sekilas. Bagi yang belum, ini link-nya http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3683393, tapi maaf saya lupa dihalaman berapa saya membahas soal May Effect ini, threadnya udah panjang banget soalnya. Jadi silahkan anda cari sendiri, hehe.
Apa itu May Effect?
Dalam kondisi ekonomi yang normal khususnya setelah pulih dari krisis, maka biasanya indeks-indeks harga saham negara-negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang termasuk IHSG-nya Indonesia, akan bergerak naik lebih cepat dari pemulihan ekonominya sendiri, karena didorong oleh greed (istilah kasarnya: sifat serakah) para pelaku pasar. Sehingga, beberapa indeks saham termasuk IHSG memiliki kecenderungan untuk naik sangat drastis, hanya karena dipicu oleh fakta bahwa beberapa indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan perbaikan dan kenaikan, meski sebenarnya kenaikannya biasa-biasa saja.
Sebaliknya. Dalam kondisi ekonomi yang tidak normal atau krisis, seperti yang terjadi pada akhir tahun 2008 lalu, IHSG bergerak turun lebih cepat daripada pelemahan ekonomi Indonesianya sendiri, karena didorong oleh fear (kepanikan) para pelaku pasar. Ketika IHSG berada pada titik nadirnya yaitu 1,111 pada akhir oktober 2008, kondisi ekonomi kita sebenarnya fine-fine aja. Beberapa indikator ekonomi permukaan seperti nilai tukar Rupiah terhadap US$, memang menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan. Namun sebagian besar indikator ekonomi dasar seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, pertumbuhan PDB, dll, masih normal-normal saja kala itu. Faktanya, yang merasakan imbas dari krisis global hanyalah para investor pemegang saham di IDX yang jumlahnya tak sampai 1% dari seluruh penduduk di Indonesia. Beberapa konglomerat juragan saham memang mendadak bangkrut ketika itu. Namun rakyat banyak, yang rata-rata tidak mengerti apa itu saham dan hanya peduli pada harga sembako, tidak merasakan imbas apa-apa kecuali harga sembako yang naik karena Hari Raya Idul Fitri pada bulan oktober 2008.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa nilai IHSG sesungguhnya lebih dikendalikan oleh aktivitas para pelaku pasar, daripada oleh kondisi ekonomi itu sendiri. Dan tidak hanya IHSG, bursa-bursa saham di negara lainnya rata-rata juga sama seperti itu.
Dalam kondisi ekonomi yang normal, IHSG akan terus naik dari waktu ke waktu. Anda mungkin tahu bahwa IHSG pada tahun 2002 masih berada di kisaran 300-an, bandingkan dengan posisinya sekarang yang hampir saja mencapai 10 kali lipatnya? Itu memang sudah sewajarnya, sebab perusahaan-perusahaan yang terdaftar di IDX juga akan terus mencetak kenaikan pendapatan dari waktu ke waktu, kecuali sebagian yang memang kinerjanya sudah gak jelas dari awal. Nah, karena didorong oleh greed pada saat kondisi ekonomi normal, kenaikan IHSG hampir selalu lebih tinggi dari kenaikan kinerja dari para perusahaan yang bernaung dibawahnya. Sebabnya? Karena para investor terkadang menilai sebuah emiten terlalu tinggi, lebih tinggi dari nilai fundamentalnya, yang biasanya disebabkan oleh buaian para analis (atau lebih tepatnya marketing) dari sekuritas atau perusahaan bersangkutan. Akumulasi dari harga-harga yang terlalu tinggi dari banyak emiten tersebut menyebabkan IHSG naik lebih cepat dari fundamental atau kinerja emiten-emiten tersebut.
Nah, karena IHSG hampir selalu naik lebih cepat dari fundamentalnya, maka secara alamiah akan terdapat koreksi rutin yang menimpa IHSG pada setiap waktu tertentu, yaitu pada setiap kali IHSG menyentuh kondisi bubble. Koreksi ini adalah untuk mengembalikan posisi IHSG ke posisi wajarnya, yaitu posisi yang sesuai dengan fundamental para emiten-emiten anggota bursa.
Dan setelah saya amati IHSG ini semenjak krisis yang terjadi pada november 2008, terdapat pola mengenai koreksi rutin ini. Pola tersebut adalah: koreksi rutin itu terjadi setiap empat bulan sekali. Koreksi pertama yang terjadi pada IHSG semenjak bangkit dari krisis terjadi pada Februari 2009. Koreksi berikutnya, Juni 2009, Oktober 2009, Februari 2010. Kalau mengikuti pola ini, maka seharusnya IHSG baru akan terkoreksi pada Juni nanti. Tapi kenapa koreksi tersebut sudah terjadi pada Bulan Mei ini?
Koreksi yang terjadi lebih cepat tersebut disebabkan oleh tindakan para investor big fish yang keluar market lebih cepat dari biasanya, karena mereka sudah mengantongi keuntungan yang cukup banyak. Faktanya, sejak posisi terendahnya setelah terjadi koreksi Februari lalu yaitu 2,476, IHSG sudah naik 20.0% ketika mencapai puncaknya 30 april lalu. Artinya, rata-rata para investor sudah mengantongi keuntungan sebesar 20% hanya dalam tiga bulan. Nah! Untuk seorang big fish dengan modal katakanlah Rp 10 milyar, maka keuntungan 2 milyar hanya dalam tiga bulan jelas lumayan! Maka dia pun memilih untuk keluar, sekalian liburan ke Afrika Selatan untuk nonton World Cup, bulan depan. Akibatnya, IHSG langsung jeblok.
Dugaan saya bahwa IHSG akan terkoreksi pada bulan Mei ini, atau lebih cepat sebulan dari seharusnya, adalah berdasarkan pada perkiraan bahwa kenaikan IHSG semenjak Februari lalu akan mencapai 20% pada akhir April kemarin. Secara psikologis, para big fish biasanya akan memilih untuk istirahat sejenak kalau sudah dapet duit gratis dari market paling tidak sebesar 2 atau 3 milyar.
Koreksi IHSG yang terjadi kali ini memang lebih dalam dari koreksi-koreksi yang terjadi sebelumnya. Sebabnya apalagi kalau bukan karena Sri Mulyani, dan juga karena diseret oleh melemahnya indeks-indeks regional dan global. Namun kalaupun Sri Mulyani tidak mundur sebagai Menkeu, IHSG tetap akan terkoreksi. Faktanya, IHSG sudah mulai turun sejak 3 Mei lalu, sementara Sri Mulyani baru mundur sebagai Menkeu pada 5 Mei.
Lalu pertanyaannya, kira-kira seberapa dalam koreksi yang akan terjadi pada IHSG? Kali ini agak sulit untuk memperkirakan seberapa dalam koreksi tersebut, sebab mundurnya Sri Mulyani tidak termasuk dalam bagian analisis yang saya perhitungkan. Seharusnya IHSG tidak bisa lebih rendah lagi dari posisi sekarang, yang berada pada posisi 2,700-an. Tapi mengingat soal Sri Mulyani ini kemungkinan besar akan berbuntut panjang, dan kondisi market regional dan global juga sama tidak stabilnya, maka IHSG masih mungkin untuk terkoreksi lebih dalam lagi. Mungkin bisa sampai menyentuh 2,500-an.
Tapi kan diawal anda bilang IHSG akan menembus 3,000 sebelum kemudian baru terkoreksi, mana? Yah namanya juga prediksi, bisa aja salah. Lagian selisihnya dari posisi tertinggi pada 30 April lalu deket banget kok, cuma 29 poin, hehe.
Bagi anda yang masih berada di luar kolam, maka mungkin sekarang adalah saatnya untuk ambil ancang-ancang untuk terjun. Tapi tidak usah terburu-buru, karena bulan Mei ini masih panjang. Sesuai namanya ‘May Effect’, efek dari bulan Mei ini kemungkinan baru akan mereda pada pertengahan atau menjelang akhir bulan nanti.
Komentar
mendalam namun mudah dimengerti :)
sbnrnya sy jg lg menduga2 sampe kpn idx ini mo koreksi. bln Juni nanti akan ada event besar yaitu piala dunia. melalui data historikal, kt bs liat hampir setiap kali piala dunia, index asing maupun lokal biasanya terkoreksi tajam. tetapi, krn koreksi sudah dimulai dr bulan mei, kira2 sampai kpn koreksi ini akan berlanjut?
posisi sy 60% nyangkut nih.. 40% cash. bingung mo cut loss atau ga hehe..