Dari Mana Asalnya Sentimen Negatif?
Kemarin, Jumat 18
Nopember, IHSG kembali turun sebesar 0.44%, dimana meski itu tidak tergolong
sebagai penurunan yang ekstrim, katakanlah seperti Jumat minggu lalu dimana
IHSG drop 4.01%, namun yang menarik adalah santernya berita, atau lebih
tepatnya rumor, bahwa pada tanggal 25 November nanti akan terjadi bank rush (atau
money rush) dimana dikatakan bahwa orang-orang akan menarik uang dari
rekening tabungan mereka sehingga bank-bank akan mengalami kesulitan likuiditas
karena jumlah uang cash berkurang drastis, dan itu
pada akhirnya akan mengganggu perekonomian nasional.
Nah, sebenarnya isu rush
ini sudah beredar di media sosial sejak sekitar semingguan lalu, dimana nongol
propaganda entah dari mana asalnya, yang mengajak orang banyak untuk
membawa Indonesia kembali ke krisis 1998 dalam rangka ‘memberi pelajaran’
kepada Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, agar tidak lagi ‘melindungi’
Ahok, yang sebelumnya dituduh telah melakukan penistaan agama. Tapi setelah
IHSG kemudian jatuh, dan pada Jumat ini IHSG kembali turun setelah dua hari kemarin
rebound, maka isunya kemudian menjadi santer, dan beberapa investor mulai
khawatir kalau Indonesia mungkin beneran bakal jatuh ke lembah krisis, jika
‘bank rush’ itu benar-benar terjadi.
Lalu apakah pada
tanggal 25 November nanti beneran bakal terjadi rush, yang pada akhirnya
menyebabkan krisis ekonomi? Well, bisa saja sih, tapi harusnya nggak lah. I
mean, meski beberapa orang mungkin sukses terprovokasi, tapi sebagian besar
lainnya tentu menyadari bahwa kalau mereka mengikut ajakan tersebut dan
Indonesia benar-benar jatuh krisis, maka yang kena batunya ya mereka sendiri. At the end, tidak ada seorangpun yang bersedia untuk di-PHK dari
pekerjaannya lalu terpaksa ngantri sembako lagi seperti delapan belas tahun
lalu, apapun alasannya.
However, yang akan kita
bahas disini bukanlah soal isu bank rush diatas.
Sekarang, perhatikan:
Isu bank rush ini sebenarnya sudah nongol dan masuk pemberitaan sejak beberapa
hari lalu, tapi baru benar-benar diperhatikan oleh pelaku pasar pada satu atau
dua hari terakhir ini saja. Pertanyaannya, kenapa kok para investor dan trader
terkesan cuek waktu isunya pertama kali nongol, dan mereka baru khawatir
sekarang? Dan jawabannya bisa dilihat lagi diatas: Setelah pada Jumat 18
November IHSG kembali turun, maka isunya
kemudian menjadi santer, dan beberapa investor mulai khawatir kalau
Indonesia mungkin beneran bakal jatuh ke lembah krisis, jika ‘bank rush’ itu
benar-benar terjadi.
Jadi begini urutan
kejadiannya: Pertama-tama, IHSG bergerak turun, dimana pada hari Jumat kemarin
IHSG sebenarnya sempat turun cukup dalam hingga tembus 1%, sebelum kemudian
naik lagi pas pre-closing (sehingga secara keseluruhan hanya turun 0.44%).
Ketika IHSG turun maka investor tentu menjadi khawatir dan juga bingung sehingga mereka kemudian
menelpon brokernya masing-masing, untuk bertanya
kenapa kok IHSG turun? Apa penyebabnya? Intinya
para investor ini meminta kejelasan dari pihak sekuritas tentang apa yang
sedang terjadi sehingga IHSG turun, agar mereka tidak lagi kebingungan.
Sekarang, coba
bayangkan ketika seorang broker/pialang saham diserbu telepon oleh nasabahnya,
lalu ia hanya menjawab, ‘Gak apa-apa pak/bu, ini cuma koreksi wajar, nanti juga
IHSG naik lagi.’ Maka bagaimana kira-kira reaksi si nasabah? Bakal tambah bingung bukan? Karena jawaban si
broker tidak menjelaskan apapun.
Seorang broker atau analis sekuritas sebenarnya bisa saja memberikan jawaban
yang lebih masuk akal tentang penyebab IHSG turun, seperti naiknya sudah
terlalu tinggi, kinerja fundamental emiten belum begitu bagus, ini cuma
fluktuasi biasa, dan seterusnya. Tapi biasanya jawaban yang diminta si nasabah
adalah terkait sentimen, peristiwa, atau
berita apa yang sedang beredar, karena itu adalah jawaban yang jauh lebih
simpel dibanding kalau dijelaskan bahwa valuasi IHSG udah mahal bla bla bla.
Karena itulah, seorang
pialang saham mau tidak mau harus menemukan semacam alasan sentimen untuk menjelaskan penyebab penurunan IHSG kepada
nasabahnya. Dan karena kebetulan lagi ada rumor bank rush diatas, maka si
broker akan menjawab, ‘Ada rumor bahwa tanggal 25 November nanti bakal ada bank
rush, makanya IHSG turun’. Dalam hal ini si pialang tidak lagi peduli soal apakah rumor tersebut benar adanya ataukah cuma
isu murahan, karena yang terpenting
adalah si nasabah memperoleh penjelasan! Karena dalam banyak kasus, ketika nasabah bertanya ‘Kenapa kok
IHSG/saham saya turun?’, dan pialang hanya menjawab ‘Ga apa-apa, nanti juga
naik lagi’, atau malah ‘Saya juga gak tau kenapa’, maka itu hanya akan bikin
nasabah merasa kesal, dan mungkin akan menutup akunnya/pindah ke sekuritas
lain.
Tapi setelah para
nasabah memperoleh penjelasan bahwa rumor rush itulah yang bikin IHSG turun,
maka itulah yang kemudian menyebabkan
rumor/beritanya menjadi santer, karena biasanya si nasabah akan laporan ke
temen-temennya sesama investor dan trader (biasanya di grup-grup Whatsapp gitu)
tentang ‘informasi penyebab penurunan IHSG’ yang ia peroleh. Dan ketika
informasinya sudah menyebar luas, maka informasi tersebut kemudian dipercaya sebagai
kebenaran, tak peduli meski informasi
tersebut sejatinya ngawur atau hoax.
Okay, jadi mari kita
runut lagi: Seandainya IHSG masih naik/tidak turun, maka tidak akan ada
investor yang menelpon brokernya, dan tidak ada broker yang ‘dipaksa’ untuk
menjelaskan bahwa ‘IHSG turun karena anu’, dan alhasil tidak akan beredar
sentimen negatif apapun, termasuk investor yang sudah mendengar isu bank rush
sejak awal juga akan cuek saja, karena toh nyatanya IHSG masih naik kok.
Tapi ketika IHSG turun,
apalagi turunnya dalem, maka seketika itulah bakal nongol cerita jelek/sentimen
negatif yang macem-macem. Memang dalam banyak kasus, yang pertama keluar adalah
sentimen negatifnya, kemudian baru sahamnya atau IHSG-nya turun. Tapi di
waktu-waktu yang lain, sering juga terjadi sahamnya atau IHSG-nya yang turun
duluan, kemudian baru sentimen
negatifnya nongol belakangan. Terkait hal ini penulis jadi ingat dimana pada
awal tahun 2016 lalu saham-saham perbankan dihantam oleh sentimen negatif tentang
pembatasan NIM, dan kemudian disusul perubahan
sistem BI Rate menjadi
BI 7-day Rate. Alhasil saham-saham banking blue chips seperti BBRI, BBCA, BMRI, dan
BBNI semuanya bertumbangan. Tapi yang paling dalam ketika itu adalah BBNI, yang
anjlok dari 5,300 sampai 4,300 di bulan Mei. Ketika itulah kemudian santer
berita jelek lainnya, yakni bahwa Bank BNI terseret oleh kasus kredit macet
Trikomsel Oke (TRIO) senilai Rp1 trilyun (padahal itu sebenarnya berita lama di
tahun 2015, dimana efek negatifnya, jika memang ada, sudah terefleksi pada
kinerja BBNI di tahun 2015 tersebut).
Tapi ketika akhirnya
BBNI naik lagi di bulan Juni – Agustus, maka seperti yang bisa anda tebak, cerita
soal kredit macet TRIO diatas menghilang begitu saja, termasuk juga soal
pembatasan NIM dll, karena memang sejatinya itu tidak berpengaruh buruk apapun
ke perbankan. Tapi yah, percaya deh, kalau besok-besok BBRI dkk jeblok lagi,
maka cerita soal bank rush diatas bakal lebih rame lagi dibicarakan, dan
mungkin malah bakal keluar isu jelek yang lainnya lagi.
Okay, jadi balik lagi
ke pertanyaan diatas: Dari mana asalnya berita atau sentimen negatif?
Jawabannya adalah, seringkali dari
kekhawatiran kita sendiri sebagai investor. Sekarang jujur aja deh: Kalau
IHSG jeblok, maka anda akan langsung panik nyari informasi dan bertanya kesana
kemari bukan? Yakni untuk memperoleh jawaban, ini sebenarnya ada apa? Seorang
investor biasanya hanya akan tetap tenang (ketika IHSG jeblok) jika ia sudah
cukup berpengalaman atau merupakan fund manager/analis profesional, yang mampu menganalisa
serta menjelaskan naik turunnya IHSG/saham-saham tertentu dari sisi analisis
fundamental, teknikal, atau lainnya, sehingga tidak perlu lagi memperoleh
jawaban dari broker atau siapapun tentang apa yang sedang terjadi. Analoginya
seperti ketika seorang anak balita sakit demam, maka seringkali orang tuanya
panik dan menganggap bahwa anaknya mungkin tidak hanya sekedar demam biasa,
melainkan lebih parah dari itu, entah itu kena typhus, demam berdarah, atau
lainnya. Kadang-kadang bahkan setelah diperiksa ke dokter dan hasilnya si anak
cuma demam ringan, tapi tetap saja orang tuanya khawatir. Tapi setelah demam si
anak mereda dengan sendirinya, maka ketika itulah kekhawatiran orang tuanya
juga ikut reda, dan berbagai ‘sentimen negatif’ bahwa si anak mungkin menderita
demam berdarah dll, kemudian dilupakan begitu saja.
Tapi jika si orang tua
sejak awal merupakan dokter, perawat, atau cukup mengerti ilmu kesehatan, atau bukan
dokter namun sudah berpengalaman sebelumnya melihat anaknya sakit, maka mereka
akan lebih tenang dan tidak akan khawatir yang macam-macam.
Fenomena dimana muncul
sentimen negatif yang berlebihan ketika IHSG atau saham-saham tertentu turun
drastis inilah yang menyebabkan saham-saham yang sebelumnya sudah turun cukup dalam menjadi
turun lebih dalam lagi (we call this panic selling),
hingga valuasinya menjadi unbelievably undervalue. Namun bagi sebagian
investor lainnya yang mampu fokus pada aspek fundamental serta mampu melihat
bahwa keberadaan sentimen negatif tersebut hanyalah sementara, maka ketika terjadi panic
selling maka itu merupakan peluang emas, dimana seorang investor bisa memperoleh profit ekstra hingga ratusan persen jika mampu memanfaatkan peluang tersebut. Pertanyaannya, menurut anda sendiri, sekarang ini
sudah terjadi panic selling apa belum???
Btw, untuk minggu depan
kita akan bahas lagi soal prospek dan outlook saham-saham batubara, yang
belakangan ini mulai cooling down setelah sebelumnya naik terus.
Penulis membuat buku kumpulan analisis saham-saham pilihan berdasarkan kinerja
perusahaan di Kuartal III 2016, dan
bukunya sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini.
Komentar