Menentukan Timing Buy/Sell berdasarkan ‘Quiet Market Period’
Di artikel minggu lalu
tentang IPO Waskita Beton Precast (WSBP), penulis menyampaikan tentang
pentingnya faktor timing dalam menentukan apakah anda ikut IPO WSBP atau
tidak, dimana jika anda menganggap bahwa IHSG masih berpeluang untuk naik lebih
lanjut maka anda boleh ikut. Tapi jika anda menganggap bahwa IHSG sudah mahal
dan bisa turun sewaktu-waktu, maka akan lebih aman jika nanti anda beli
sahamnya di market. Jadi meski terdapat dua orang investor yang sama-sama
menganggap bahwa WSBP layak investasi, namun keputusan untuk ikut IPO-nya bisa
berbeda, tergantung jawaban mereka terhadap pertanyaan berikut: Apakah sekarang
merupakan waktu yang tepat untuk belanja saham, entah itu WSBP atau lainnya?
Jadi dalam hal inilah, market
timing menjadi penting. Secara defisini, market timing adalah strategi
investasi dengan melihat perkembangan pasar/IHSG, dimana kita masuk ketika IHSG
akan naik, dan keluar ketika IHSG akan turun. Poinnya disini adalah, kita
memang tidak bisa memprediksi kapan IHSG
akan naik atau turun, namun dengan pendekatan value investing maka kita bisa
menilai apakah valuasi IHSG sudah mahal atau belum, dan memiliki fundamental
yang baik atau tidak (berdasarkan kinerja terbaru para emiten).
Sehingga kalau kita
melihat bahwa IHSG sudah naik banyak dan valuasinya juga sudah tinggi, sementara
fundamentalnya juga terlalu bagus, maka kita bisa mengatakan bahwa cepat atau lambat dia akan turun.
Sebaliknya, ketika IHSG turun drastis hingga valuasi ASII dkk menjadi murah,
sementara kinerja para emiten serta perkembangan ekonomi makro juga gak sejelek
itu, maka kita bisa mengatakan bahwa cepat atau lambat dia akan naik. Contoh
untuk kasusnya adalah, pada Januari 2016 lalu, penulis mengatakan bahwa dengan
mempertimbangkan faktor-faktor ini dan itu, maka IHSG, yang ketika itu berada
di posisi 4,500-an, cepat atau lambat akan naik. And indeed, meski pada Januari
tersebut IHSG justru sempat longsor dulu ke 4,300-an (waktu itu karena ada
cerita penurunan harga minyak, dan anjloknya Bursa China), tapi pada akhirnya
dia naik lagi hingga ke posisi sekarang yakni 5,400-an (meski penulis sendiri,
terus terang, waktu itu saya nggak menganggap bahwa IHSG bisa naik setinggi
ini). Anda bisa baca lagi artikelnya disini.
Jadi jika pada Januari
tersebut anda belanja saham, maka hari ini anda harusnya sudah meraih profit
signifikan, apapun pilihan sahamnya (kecuali mungkin jika anda memilih saham
blangsak, seperti BUMI dkk). Sebaliknya, jika anda baru memutuskan untuk masuk
ketika IHSG sudah tembus 5,000-an beberapa waktu lalu, maka saham-saham anda
mungkin tidak semuanya hijau, tapi ada juga yang nyangkut. Dalam hal inilah
seorang investor mungkin akan mengalami kerugian dan itu mungkin bukan karena
dia membeli saham jelek, melainkan karena ia masuk di waktu yang salah.
Nah, sebenarnya kalau
kita ikuti petuah guru besar Warren Buffett, maka market timing ini tidaklah
penting. Karena meski pasar bisa berfluktuasi dalam jangka pendek, namun dalam
jangka panjang pada akhirnya dia tetap naik. Jadi asalkan anda beli saham bagus
di harga murah, maka kalaupun dia turun dulu sejenak karena kebetulan IHSG-nya
lagi turun, namun pada akhirnya dia akan naik lagi, karena IHSG juga tidak akan
selamanya turun terus (dan sebaliknya, gak akan selamanya naik terus). Contoh paling gampang, tahun lalu PP Properti (PPRO)
sempat turun dari 200-an hingga mentok di 130, karena terseret panic selling
IHSG di bulan Agustus 2015. Tapi karena emang dasar barangnya bagus, maka ya
anda bisa lihat sendiri, berapa PPRO sekarang. Jadi jika anda ketika itu
mengabaikan IHSG dan tetap beli PPRO ini di harga 200, maka meski anda kemudian
bakal nyangkut cukup dalam, tapi pada akhirnya anda tetap profit.
Namun demikian,
terdapat dua perbedaan mendasar antara Opa Warren dengan kebanyakan investor-investor
lainnya di seluruh dunia. Pertama, beliau punya ‘mesin cash’, yakni dari
dividen Coca Cola dll, plus cash yang dihasilkan dari operasional
perusahaan-perusahaan asuransi milik Berkshire. Pendek kata, jika beliau
sewaktu-waktu butuh uang untuk belanja saham/nambah posisi di harga bawah,
misalnya ketika terjadi market crash seperti tahun 2008 lalu, maka ia tidak
perlu menjual sebagian sahamnya sebelumnya (untuk memperoleh cash tersebut),
karena seiring dengan berjalannya waktu maka cash tersebut akan nongol sendiri. Kedua, secara psikologis, Opa Warren mungkin merupakan investor
paling calm di dunia, bahkan sejak ketika dulu dia masih muda. Dalam 50
tahun terakhir sejak Buffett mengakuisisi Berkshire Hathaway di tahun 1964, Dow
Jones beberapa kali mengalami krisis besar, dan saham Berskhire pernah anjlok
lebih dari 50% sebanyak tiga kali. Ketika menghadapi situasi yang sangat sulit
seperti itu, investor manapun bisa saja melakukan tindakan yang keliru (karena
panik). But still, Buffett mampu melewatinya dengan baik, dan sampai sekarang
beliau tetap konsisten mempraktekkan metode value investing yang sudah ia
kuasai sejak tahun 1950-an.
Sementara kebanyakan
investor tidak memiliki sumber cashflow (atau ada cashflow dari dividen,
tapi nilainya masih kecil), sehingga ia harus menjual sebagian sahamnya untuk
memperoleh cash untuk nanti beli lagi di harga bawah, jika benar bahwa
pasar/IHSG kemudian turun. Dan kedua, meski penulis sendiri pernah beberapa
kali memegang saham bagus yang harganya turun karena penurunan IHSG atau karena
adanya sentimen negatif tertentu, dan kita ketika itu tetap santai-santai saja,
tapi kebanyakan orang gak bisa santai begitu. Mau anda pegang saham sebagus
Bank BRI (BBRI) sekalipun, tapi kalau nanti IHSG terkoreksi dan dia jeblok ke
8,000-an, maka tetap saja orang-orang akan panik, dan mungkin malah justru cut
loss ketika seharusnya dia nambah posisi (tapi untuk nambah posisi ini juga gak
bisa, karena cash sudah habis). Termasuk pada contoh PPRO diatas, bukan tidak
mungkin anda justru malah cut loss di harga 130-an, hanya karena ‘Hayati lelah,
Abang!’
Jadi kesimpulannya,
market timing tetap penting untuk diperhatikan.
Okay, lalu bagaimana
cara untuk mengetahui bahwa kita membeli dan menjual saham di waktu yang tepat, dalam hal ini berdasarkan posisi IHSG? Well, ini adalah pertanyaan semua orang
dan jawabannya amat sangat panjang, dan kita
sudah berkali-kali membahas topik ‘kapan sebaiknya kita membeli/menjual
saham?’ di blog ini, termasuk berdasarkan analisis IHSG (karena untuk
menentukan timing untuk membeli atau menjual saham juga tidak selalu
berdasarkan pergerakan IHSG, tapi juga berdasarkan kinerja fundamental dari
emitennya sendiri, dll). Namun kali ini penulis akan membahasnya dari salah
satu fenomena yang sering terjadi di pasar, yakni fenomena ‘Quiet Period’, here we go!
Yang dimaksud quiet
period adalah periode waktu tertentu dimana saham-saham di BEI cenderung
bergerak dengan volatilitas yang tipis, menurunnya volume transaksi harian, dan
juga berkurangnya cerita-cerita (entah itu bernada positif atau negatif) yang
biasanya ramai beredar di stock market. Contoh
paling mudah adalah, pada bulan Juni kemarin, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, market cenderung sepi dimana nilai transaksi
harian di BEI hanya Rp5 – 6 trilyun per hari, dan orang-orang lebih tertarik
ngomongin soal siapa yang bakal juara Euro 2016, ketimbang soal tax amnesty dll.
Sebenarnya cerita soal tax amnesty ini sudah ada sejak bulan April, waktu itu
berbarengan dengan cerita Panama
Papers, tapi baru booming di market setelah lebaran (dan itu juga yang
bikin IHSG kemudian naik banyak).
Sementara
IHSG, yang sudah naik ke level 4,800-an pada bulan Maret, hingga akhir Juni
tersebut masih tetap berada di 4,800-an. Namun perhatikan: Sebelum bulan Juni,
pasar masih ramai dengan cerita-cerita penurunan
NIM perbankan, perubahan BI Rate menjadi BI 7-day Rate, ‘Sell in May and Go
Away’, jatuhnya
harga minyak, penurunan
Bursa China, dll, dan orang-orang ketika itu masih serba bingung, apakah
sekarang waktunya untuk belanja atau tidak? Jatuhnya saham-saham perbankan
merupakan kesempatan atau bukan? Dan seterusnya.
Tapi
memasuki bulan Juni, tiba-tiba saja market menjadi sepiiiii.. Berbagai sentimen
positif ataupun negatif bukannya tidak ada, ada banyak malah, hanya saja orang-orang
cenderung tidak peduli. Posisi IHSG ketika itu juga tidak terlalu mendatar,
melainkan justru mulai naik dari 4,700-an di bulan Mei hingga balik lagi ke
4,800-an, namun sekali lagi, ketika itu orang-orang tidak peduli. Market baru
heboh lagi setelah adanya ‘wake up call’ dari Inggris sana, ketika referendum Brexit memutuskan bahwa Inggris harus keluar dari Uni Eropa, yang sehari kemudian langsung
ditutup oleh cerita Tax Amnesty (baca lagi ceritanya disini).
Dan pasar baru benar-benar menggila setelah libur panjang lebaran, dimana IHSG
dengan cepat naik hingga ke posisi sekarang, dan hampir semua saham
menghasilkan profit extraordinary.
Nah,
entah anda memperhatikan atau tidak, namun situasi ‘quiet market’ juga pernah terjadi
pada tahun 2015 lalu, tepatnya juga di bulan Juni, dimana IHSG ketika itu mulai
turun dari 5,500 ke posisi 4,800-an, tapi orang-orang tidak peduli (termasuk
yang nyangkut juga cuek aja, gak pake marah-marah di Facebook), market
cenderung sepi, kemungkinan karena ketika itu juga lagi bulan puasa. Namun
setelah lebaran di bulan Juli, IHSG tanpa ampun langsung longsor hingga
mencapai titik terendahnya di bulan Agustus, dan ketika itulah pasar ramai lagi, dalam hal ini ramai
panic selling, plus ramai cerita-cerita yang entah nongol dari mana, bahwa
Indonesia krisis bla bla bla.
Sebenarnya
masih ada banyak lagi contoh di tahun-tahun lalu tentang situasi ‘pasar sepi’
ini, namun intinya adalah, situasi ‘quiet market’ seringkali merupakan awal dari kehebohan pasar yang luar biasa,
entah itu IHSG-nya naik tinggi atau sebaliknya jeblok sekalian. Menariknya,
fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam dua minggu terakhir, pasar
saham Amerika juga mengalami situasi paling tenang dalam beberapa tahun
terakhir, dimana Dow Jones, S&P, dan Nasdaq cenderung gak kemana-mana
setelah sebelumnya naik banyak (posisi Dow saat ini berada di all time high-nya),
dan mulai ada banyak analis yang mengingatkan bahwa sebelum pasar mulai turun
banyak di tahun 2008, 2011, dan 2015 lalu, maka selalu diawali dengan periode ‘quiet’
seperti ini terlebih dahulu.
Sementara
di Indonesia? Well, entah anda bisa merasakannya atau tidak, namun sepanjang
Agustus ini IHSG juga kembali ‘quiet’.. dimana cerita tax amnesty sudah
menguap, kenaikan saham-saham BUMN serta right issuenya tidak begitu
diperhatikan pasar, and nobody talk about cuan or nyangkut anymore so.. what do
you think? Is it a ‘calm before storm’, or ‘calm before another bullish’?
Sudah
tentu, untuk menjawab pertanyaan diatas maka anda harus menganalisis pasar
lebih dalam lagi dengan melihat kinerja terbaru emiten, perkembangan ekonomi
makro, kondisi market global, dll. Namun yang terpenting disini adalah, apapun
pendapat anda entah itu pasar akan lanjut naik atau turun setelah ‘masa tenang’
ini, tapi pengalaman mengajarkan bahwa, jika anda hendak membuat keputusan
investasi entah itu membeli atau menjual (apapun pilihan sahamnya), maka sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk
melakukannya, sebelum nanti pasar ramai lagi dan IHSG terlanjur naik banyak
(sehingga anda terlambat belanja), atau sebaliknya terlanjur turun banyak
(sehingga anda terlambat jualan). I mean, kalau anda mau naik kereta, maka anda
harus naik (atau turun) ketika kereta itu sedang berhenti di stasiun bukan?
Jadi jangan pas dia udah jalan lagi lalu baru anda kejar-kejar!
Info: Buletin
Analisis IHSG & Stock Pick Saham Pilihan edisi September 2016 akan
terbit tanggal 1 September mendatang. Anda bisa memperolehnya disini. Gratis
konsultasi & tanya jawab saham untuk member, langsung dengan
penulis.
Komentar
Dari perspektif tersebut terlihat banyak investor dan pelaku pasar modal "over-optimistic"..dan mengutip dari berita yang kekinian "Periods of extreme calm in the market have often signaled a coming storm"..
Salam,
-pram-
Terima kasih.