Mengenal ‘Nilai Kualitatif’ Saham

Sebagai investor, penulis rutin membaca annual letter Berkshire Hathway yang ditulis sendiri oleh Warren Buffett, yang biasanya terbit pada bulan Januari atau Februari setiap tahunnya, karena dari situ ada banyak sekali wisdom tentang investasi yang bisa kita peroleh. Nah, Pada annual letter-nya yang terakhir yakni edisi tahun 2014, Buffett menceritakan pengalamannya membeli saham dari See’s Candies, perusahaan pembuat cokelat dalam kotak dan cemilan manis lainnya, pada tahun 1972. Dan setelah beberapa dekade kemudian investasi tersebut sukses menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi Berkshire.

Buffett membeli See’s atas saran dari partner-nya, Charlie Munger, yang memperkenalkan strategi investasi yang baru yang belum pernah diterapkan oleh Buffett sebelumnya, yakni: Belilah saham dari perusahaan yang luar biasa bagus pada harga yang wajar. Sebelumnya, sejak tahun 1950-an, Buffett hampir selalu membeli saham-saham pada valuasi serendah mungkin, misalnya PBV kurang dari 1 kali, hampir tanpa memperhatikan apakah perusahaan memiliki fundamental kinerja yang sangat baik atau tidak. Dan meski strategi ‘buy at lowest possible price’ itu kebanyakan berhasil, tapi seringkali Buffett terjebak dalam posisi sebagai pemilik dari perusahaan yang ternyata terus merugi, yang meski sudah diupayakan habis-habisan untuk bisa kembali menghasilkan keuntungan, namun tetap saja gagal.

Sementara ketika Buffett memiliki peluang untuk mengakuisisi 100% saham See’s Candies, sebuah perusahaan yang tampak sangat bagus dan menjanjikan keuntungan jangka panjang, namun peluang itu harus ditebus pada harga yang relatif mahal, dimana Berkshire harus membayar US$ 25 juta padahal nilai aset bersih See’s hanya US$ 8 juta, atau dengan kata lain PBV-nya mencapai 3.1 kali. Sekedar perbandingan, ketika Buffett pertama kali membeli saham Berkshire Hathaway pada tahun 1962, PBV-nya hanya 0.4 kali.

Namun ternyata investasi Buffett di Berkshire malah gagal total, dimana Buffett pada akhirnya harus menutup pabrik tekstil terakhir milik Berkshire di tahun 1986 (dan status Berkshire Hathaway kemudian berubah menjadi perusahaan holding). Sementara investasinya yang di See’s? Sukses besar, dan See’s Candies sampai sekarang masih menjadi salah satu perusahaan paling menguntungkan yang dimiliki oleh Warren dan Charlie.

Dan inilah yang menarik: Pada annual letter-nya, Buffett menyebutkan bahwa dari See’s Candies, ia belajar bahwa aset tak berwujud berupa reputasi, kekuatan merk, hingga keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan, adalah lebih berharga dibanding aset-aset berwujud seperti pabrik, persediaan, dll. Yup, pada laporan keuangan See’s, aset-aset berupa reputasi dll, tentu saja tidak tampak, karena aset seperti itu tidak bisa diukur berapa nilainya dalam mata uang Dollar. Jadi meski harga beli See’s yang mencapai PBV 3.1 kali sekilas tampak mahal, namun ingat bahwa harga tersebut hanya didasarkan pada aset-aset berwujud milik perusahaan alias nilai bukunya, dan belum memperhitungkan nilai dari aset-aset yang tidak berwujud tadi. Jika Buffett menemukan perusahaan coklat lain yang dijual pada harga yang lebih rendah, misalnya PBV 1.0 kali, namun perusahaan tersebut reputasinya jelek, merk produknya sama sekali tidak dikenal, dan tidak memiliki keunggulan kompetitif apapun, maka Charlie tetap akan merekomendasikan untuk membeli See’s.

Nilai dari Aset-Aset Tak Berwujud: Nilai Kualitatif

Dalam value investing, seperti yang sudah penulis sampaikan berkali-kali sebelumnya, tugas seorang value investor ada dua: 1. Menyeleksi saham-saham/perusahaan berdasarkan fundamentalnya, dan 2. Menentukan harga belinya. Untuk poin pertama, terkadang investor hanya menilai fundamental suatu perusahaan hanya dari indikator-indikator yang bisa dihitung/ada angkanya, alias nilai kuantitatif, seperti nilai ekuitas, persentase kenaikan laba bersih, return on equity, margin laba, dan seterusnya. Padahal indikator yang tidak bisa dihitung/tidak ada angkanya, alias nilai kualitatif seperti kekuatan merk dll, itu seringkali memiliki kontribusi yang lebih besar terhadap nilai fundamental perusahaan secara keseluruhan, karena itu lebih sulit untuk diperoleh.

Contohnya, untuk membangun kekuatan merk, maka perusahaan manapun harus mengeluarkan biaya untuk iklan. Tapi apakah dengan semakin besarnya anggaran belanja iklan maka akan semakin meningkat pula popularitas merk tadi di mata masyarakat? Belum tentu. Kita lihat, Wings Food, produsen mie instan merk ‘Mie Sedaap’, yang iklannya nongol hampir setiap hari di televisi, tapi tetap saja popularitas Mie Sedaap masih belum bisa mengalahkan Indomie, yang sudah mengakar kuat di masyarakat.

Dari tulisan Buffett tentang See’s, penulis jadi mengerti kenapa saham-saham dari perusahaan tertentu seperti Unilever (UNVR), Bank BCA (BBCA), Indofood CBP (ICBP), hingga Kalbe Farma (KLBF), mereka memiliki valuasi yang sangat tinggi dibanding valuasi saham-saham kebanyakan, karena ketiga perusahaan tersebut memiliki segalanya diluar aset-aset berwujud, seperti reputasi, kekuatan merk, manajemen yang kredibel, hingga status sahamnya sebagai blue chip. Meski memang, kalau sewaktu-waktu perusahaan tersebut mengalami penurunan kinerja yang drastis maka sahamnya juga akan turun, contohnya seperti Multi Bintang Indonesia (MLBI), yang di tahun 2015 kemarin labanya untuk pertama kali turun, dan demikian pula dengan sahamnya.

Tapi disisi lain, selama kinerja perusahaan-perusahaan diatas masih bertumbuh, maka selama itu pula sahamnya akan naik terus, atau minimal tidak turun, tak peduli meski PER atau PBV-nya sudah sangat tinggi. Sebenarnya sejak awal, sejak sebelum penulis membaca annual letter-nya Buffett diatas, penulis sudah tahu bahwa kita tentu saja tidak bisa menyamakan valuasi BBCA dengan Bank Victoria (BVIC), misalnya, bahkan andaikata kedua perusahaan tersebut memiliki kinerja keuangan yang sama. Tapi setelah mempelajari tulisan Buffett, penulis menyimpulkan bahwa ketika kita menganalisa fundamental sebuah saham, maka selain melihat poin-poin yang tampak di laporan keuangan (kuantitatif), kita juga harus melihat poin-poin yang tidak tampak di laporan keuangan (kualitatif).

Problemnya adalah, karena nilai kualitatif ini tentu saja gak ada angkanya, maka relatif sulit untuk menentukan besarnya nilai kualitatif tersebut. Contohnya, kalau anda tinggal di perkotaan, maka Bank BCA mungkin memiliki kekuatan merk yang lebih baik, karena mesin ATM-nya bisa ditemukan dimana-mana. Tapi bagi orang-orang di kampung, mungkin Bank BRI jauh lebih populer, karena disana adanya Bank BRI, bukan BCA. Dan ini berbeda dengan nilai kuantitatif seperti return on equity (ROE), dimana jika sebuah perusahaan memiliki ROE 20%, maka jelas bahwa sahamnya lebih layak koleksi, atau valuasinya layak lebih tinggi, dibanding saham lain yang ROE-nya hanya 10%. Dalam hal ini nilai kualitatif menjadi sesuatu yang subjektif, dimana pendapat anda tentang reputasi baik suatu perusahaan bisa saja keliru, jika ternyata mayoritas investor justru menganggap bahwa perusahaan tersebut punya reputasi buruk.

Namun dalam penerapannya, maka sebenarnya untuk menghitung nilai kualitatif ini tidak sesulit itu juga. Contohnya, ketika kita mempertimbangkan soal ‘kualitas manajemen’, maka anda pilih yang mana? Saham-saham Grup Astra, atau saham-saham Grup Bakrie? You surely know the answer.. Dan berikut ini adalah contoh lainnya yang lebih riil.

Contoh Penerapan

Setelah membaca annual letter-nya Berkshire diatas, penulis kemudian sedikit mengubah strategi: Jika sebelumnya penulis hampir tidak pernah mau melirik saham-saham dengan PBV diatas 2.5 kali, maka batasan PBV tersebut dinaikkan menjadi 4 atau maksimal 5 kali, tapi dengan catatan saham yang dibeli pada ‘harga tinggi’ tersebut memang memiliki nilai kualitatif yang extraordinary, tentunya diluar nilai-nilai kuantitatif seperti ROE dll.

Dan setelah melihat-lihat ikan yang ada di kolam, pilihan penulis jatuh pada Jasa Marga (JSMR). Sebelumnya, penulis tidak pernah melirik JSMR ini karena PER-nya yang selalu diatas 20 – 25 kali, atau lebih mahal dibanding BBCA sekalipun. Namun setelah membaca lagi tulisan tentang JSMR disini (jadi salah satu alasan kenapa saya menulis disini adalah agar nanti tulisan tersebut bisa saya baca lagi. Jika suatu ide investasi/analisa tidak pernah ditulis, maka ide tersebut akan hilang begitu saja), penulis baru sadar kalau JSMR ini memiliki banyak nilai kualitatif yang tidak ada pada perusahaan-perusahaan lain, seperti popularitas perusahaan (siapa yang gak tahu Jasa Marga?), model bisnis yang aman untuk jangka panjang (jalan tol), kualitas GCG yang baik, hingga track record pembayaran utang obligasi yang baik.


Ketika artikel itu ditulis pada Februari 2014, JSMR berada di posisi 5,000 pas, atau sudah turun lumayan jauh dari puncaknya yakni 6,900. Tapi setelah melihat bahwa pada harga segitupun JSMR tampak masih mahal, maka ya sudah, penulis gak jadi membelinya. Tapi yak lama kemudian, JSMR ternyata terus merangkak naik hingga tembus 7,000 pada Januari 2015, atau mencetak gain 40% hanya dalam tempo kurang dari setahun, dan meninggalkan penulis yang cuma bisa melongo kebingungan (tapi kemudian saya menemukan jawabannya di annual letter Berkshire tadi).

Memasuki April 2015, IHSG mulai turun, dan demikian pula dengan JSMR, yang pada September 2015 lalu akhirnya balik lagi ke harga 5,000 pas. Dan kali ini penulis tidak membuang-buang waktu: JSMR langsung tak beli! Termasuk saham ini juga menjadi salah satu yang dibahas di ebook kuartalan. Hasilnya, meski JSMR sempat turun dulu sampai 4,500 pada Desember lalu, tapi belakangan naik lagi dan, ketika artikel ini ditulis, sudah berada di level 5,800. Meski kita tentu tidak bisa memprediksi akan bergerak kemana JSMR ini (dan juga saham lain manapun) dalam jangka pendek, dimana besok-besok bisa aja dia turun lagi, namun satu hal yang jelas: This company has qualitative values, dan karena itulah ia layak dihargai lebih tinggi dibanding saham dari perusahaan dengan ROE dll yang sama, atau dibanding saham lain di sektor yang sama seperti Citra Marga Nusaphala (CMNP), dan Nusantara Infrastructure (META). Prinsip yang sama juga penulis terapkan ketika pada Agustus 2015 lalu membahas saham Nippon Indosari Corpindo (ROTI), dimana meski PBV-nya 5.2 kali dan PER-nya 22.3 kali pada harga saham 1,085, namun penulis tetap mengatakan bahwa harga segitu sudah cukup wajar. And indeed, sampai sekarang ROTI masih belum bergerak kemana-mana melainkan di kisaran 1,100 – 1,200.

Jadi mulai sekarang, diluar faktor-faktor yang bisa dihitung seperti nilai ekuitas, ROE, margin laba dll, anda juga bisa mulai mempertimbangkan faktor kualitatif ini dalam menilai fundamental suatu perusahaan, dan juga berapa valuasi/harga yang layak untuk sahamnya. Termasuk, kalau anda menemukan saham yang tampak amat sangat murah, maka coba cek sekali lagi: Apakah perusahaannya memiliki nilai kualitatif? Karena jika perusahaan ternyata tidak memiliki nilai kualitatif sama sekali, maka hati-hati, mungkin valuasinya tidak semurah kelihatannya karena, sekali lagi, nilai kualitatif ini lebih valuable dibandingkan dengan apa yang tampak di laporan keuangan. Dan hati-hati: Seperti halnya kinerja keuangan, 'kinerja merk' atau reputasi sebuah perusahaan juga bisa turun sewaktu-waktu, misalnya ketika muncul kompetitor yang lebih populer. Jadi seperti halnya kita perlu mengecek kinerja keuangan perusahaan dari kuartal ke kuartal, kita juga perlu mengevaluasi nilai-nilai kualitatif dari sebuah saham setiap beberapa waktu sekali.

Okay, I think that’s enough. Minggu depan kita akan membahas sedikit soal harga minyak, dan pengaruhnya terhadap IHSG.

Info Investor: Layanan preorder Ebook analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal IV 2015 sudah dibuka. Keterangan lebih lanjut klik disini.

Komentar

Barnet mengatakan…
Paradoks dgn SIMP vs LSIP ?
Bukankah seharusnya SIMP lebih memiliki keunggulan kualitatif (produk dari hulu ke hilir) dibandingkan subsidiariesnya LSIP yg fokus di hulu (sawit & CPO only).
AGUNGNC mengatakan…
Indf termasuk saham kualitatif pak?lg uptrend skg
Lingga mengatakan…
Mungkin ini disebut jebakan Analisis Fundamental. Kita terlalu fokus menghitung angka-angka (karena memang itu yang keliatan untuk dihitung). Terjebak mencari nilai paling murah dari angka-angka tersebut dan lupa akan faktor lainnya.
Guntur mengatakan…
Benar pak! Brand memang menjadi suatu aset yang sangat bernilai apalagi yang memakai sistem monopoli seperti Coca-cola dan Warren Buffett memang menyukainya. Namun investor juga perlu mengikuti perkembangannya agar tidak bernasib seperti Nokia
Unknown mengatakan…
Mantaaaabbb pak teguh.. sangat bagus lg kl kita bs dapat 22nya yaitu scr valuasi murah dg PER & PBV rendah, pertumbuhan bagus, dan juga punya nilai kualitatif yg bagus. Untuk saat ini menurut saya BBTN & BMRI cukup memenuhi kriteria tersebut. Secara valuasi masih cukup murah tp masing2 punya brand yg kuat, bbtn terkenal dg KPRnya sedangkan bmri terkenal dg kredit korporasinya. Disc on..

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?