Bumi Resources: Analisa Restrukturisasi Utang
Pada akhir September
kemarin, Bumi Resources (BUMI), perusahaan batubara terbesar sekaligus paling
keberatan utang di Indonesia, merilis informasi terbaru terkait upaya manajemen
dalam me-restrukturisasi outstanding debt-nya (utang-utang yang mengandung
bunga), yang mencapai hampir US$ 4 milyar per 31 Agustus 2015. Sebenarnya sejak
harga batubara mulai turun pada tahun 2012 lalu, BUMI sudah kesulitan dalam membayar
cicilan utangnya, hingga pada Juli 2013 lalu BUMI terpaksa melepas sebagian
sahamnya di PT Kaltim Prima Coal (KPC), untuk membayar sebagian utangnya ke
China Investment Corporation (CIC). Namun setelah dua tahun harga batubara
ternyata masih saja turun, dan alhasil sampai sekarang manajemen BUMI masih
harus terus berurusan dengan para kreditor.
Nah, meski disatu sisi kita
bisa katakan bahwa BUMI ‘kena batunya’ akibat dari keserakahan manajemen di
masa lalu dalam mengambil leverage
gila-gilaan
(rasain lu!), tapi disisi lain terus terang penulis lumayan kagum sekaligus
heran juga. Karena ketika ada banyak perusahan-perusahaan lain yang jatuh dan
hancur karena utang, BUMI entah bagaimana caranya masih baik-baik saja. BUMI sampai
sekarang belum pernah default (gagal bayar utang) atau dituntut pailit
oleh para kreditornya, dan anak-anak usahanya juga masih beroperasi dengan
normal di Kalimantan sana. Ketika beberapa bulan lalu Berau
Coal Energy (BRAU) di-cap default, penulis yakin kalau tim manajemennya juga
sudah berupaya sekuat tenaga agar cap default tersebut tidak sampai diterima,
tapi toh mereka tetap saja gagal, padahal nilai utang yang gagal dibayar ‘cuma’
US$ 500 juta.
Sementara BUMI? Total utangnya
mencapai US$ 4 milyar, alias jauh lebih besar, but still, sekedar ancaman
default pun sampai sekarang belum pernah terdengar.
Dan melalui proposal terbarunya, manajemen BUMI mengusulkan bahwa utang US$ 4 milyar
tersebut akan direstrukturisasi menjadi sebagai berikut:
- US$ 1.2 milyar diperpanjang hingga lima tahun kedepan, dan dikonversi menjadi senior secured facility. Intinya manajemen BUMI minta penundaan waktu pelunasan hingga lima tahun kedepan, dengan iming-iming tambahan jaminan aset atas utang tersebut. Namun tingkat bunganya tetap, alias tidak naik.
- US$ 1.5 milyar dikonversi menjadi 32.5% saham BUMI. Jika poin kedua ini diterima oleh kreditor, maka artinya mereka (kreditor) setuju untuk menganggap bahwa nilai aset bersih/ekuitas BUMI adalah US$ 4.6 milyar.
- US$ 630 juta dikonversi menjadi sekian persen saham pada beberapa anak usaha milik BUMI.
- US$ 150 juta dikonversi menjadi saham BUMI pada harga Rp250 per saham, berdasarkan assessment bahwa nilai ekuitas BUMI adalah US$ 4.6 milyar. Ini berarti bahwa utang US$ 150 juta ini memperoleh perlakuan yang lebih baik dibanding utang US$ 1.5 milyar diatas (poin nomor 2), yang juga ditawari untuk dikonversi dengan saham BUMI tapi pada harga yang jauh lebih tinggi (akan dijelaskan dibawah).
- US$ 141 juta, dibayar lunas menggunakan dana hasil penjualan salah satu anak usaha, PT Fajar Bumi Sakti (FBS).
- US$ 410 juta diperpanjang hingga lima tahun kedepan, dan bisa dikonversi menjadi saham BUMI setelah lima tahun tersebut.
Nah, yang menarik
adalah poin nomor 2, dimana manajemen BUMI mencoba menjual saham BUMI kepada
beberapa kreditornya pada harga yang mencerminkan market cap US$ 4.6 milyar,
atau Rp60.7 trilyun berdasarkan kurs Rp13,200 per US$. Berhubung jumlah saham beredar
BUMI adalah 36.6 milyar lembar, maka market cap tersebut setara dengan.. Rp1,660 per saham.
Proposal selengkapnya yang diajukan manajemen BUMI, klik gambar untuk memperbesar |
Pertanyaannya tentu,
kreditor sinting mana yang bersedia utangnya ditukar dengan saham BUMI pada
harga setinggi itu, padahal jelas-jelas harga saham BUMI di market cuma gocap???
(kemarin sempat naik sih, tapi masih belum jauh-jauh dari gocap). Selain itu,
berdasarkan laporan keuangan BUMI per Semester I 2015, bukankah sudah jelas-jelas
ditunjukkan bahwa ekuitas BUMI adalah minus 1.4 milyar? Jadi bagaimana mungkin
tiba-tiba saja manajemen BUMI menganggap bahwa ekuitas perusahaan adalah US$
4.6 milyar???
But maybe, just maybe, nilai aset bersih BUMI
memang lebih tinggi dari apa yang tercantum di laporan keuangannya. Dan berikut
penjelasannya:
Hidden Value?
Sejak manajemen BUMI mulai merestrukturisasi
utang-utangnya pada Juli 2013 lalu, salah satu tindakan restrukturisasi
tersebut adalah dengan melepas 19% saham di KPC ke CIC pada harga US$ 950 juta. Hal yang perlu
diingat disini adalah, ketika BUMI melepas sebagian kepemilikannya di KPC ke
CIC, posisi BUMI sedang berhutang US$ 1.9 milyar ke CIC dan utang itu nyaris
saja gagal dibayar, atau dengan kata lain, posisi
BUMI dalam transaksi jual beli saham KPC tersebut bisa dikatakan terjepit.
Namun hebatnya, manajemen sukses meyakinkan CIC bahwa BUMI
hanya perlu melepas 19% sahamnya saja di KPC. Dan kalau CIC setuju untuk
mengkonversi piutangnya senilai US$ 950 dengan 19% saham KPC, itu berarti
manajemen CIC menganggap bahwa nilai saham KPC yang mereka terima adalah lebih besar atau minimal setara
dengan US$ 950 juta plus bunganya sebesar 19% per tahun! (19% adalah bunga
yang dibebankan CIC ketika mereka memberikan pinjaman ke BUMI). CIC adalah perusahaan
investasi yang amat sangat besar, jadi mereka tentunya tidak asal-asalan ketika
setuju untuk mengkonversi separuh piutangnya dengan saham KPC, melainkan mereka
sudah melakukan perhitungan yang sangat hati-hati. KPC sendiri, sebagaimana
yang kita tahu, adalah salah satu perusahaan batubara terbesar di dunia, dan
merupakan aset utama milik Bumi Resources.
Dengan demikian nilai KPC, atau setidaknya dalam pandangan CIC,
adalah US$ 950 juta / 19% = US$ 5 milyar! Dan itu belum termasuk tambahan nilai dari bunga yang 19% per tahun tadi.
Jadi kalau Om Nirwan gak mau ambil pusing dalam mengurus utang-utang BUMI dan langsung saja melepas KPC, maka ia akan memperoleh dana
tunai US$ 5 milyar atau lebih, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membayar utang-utang BUMI sebesar US$ 4 milyar
tadi, dan bahkan setelah itu BUMI masih memegang Arutmin, Newmont, dan lainnya (untuk melihat aset-aset apa saja yang dipegang BUMI, baca disini). Namun sudah tentu, seorang Nirwan Bakrie tidak akan menyerah segampang itu.
Tapi kalau nilai aset-aset BUMI memang sebesar
itu, lalu kenapa di laporan terakhir perusahaan hanya tercantum nilai aset total
US$ 4.4 milyar? Well, itu karena BUMI, seperti juga mayoritas perusahaan
tambang lain, mencatat nilai asetnya berdasarkan harga perolehan dan bukan nilainya
pada saat ini. Karena BUMI mengakuisisi KPC di tahun 2003 pada
harga US$ 500 juta, maka ya sudah, sampe sekarang nilai KPC di laporan keuangan
BUMI dicatat dikisaran US$ 500 juta itu saja (berubah sedikit-sedikit karena
adanya bagian laba/rugi, depresiasi, perubahan persentase saham yang dimiliki,
dst), dan bukan US$ 5 milyar seperti yang mungkin memang nilai sesungguhnya
pada saat ini.
Intinya sih, nilai riil dari aset-aset BUMI mungkin
jauh lebih besar dari apa yang ditunjukkan di laporan keuangan perusahaan, dan
mungkin ini pula yang dijadikan alasan oleh manajemen BUMI untuk menganggap
bahwa nilai aset bersih BUMI pada saat ini adalah sejatinya US$ 4.6 milyar (setara dengan Rp1,660 per saham), dan bukannya minus
US$ 1.4 milyar.
Time to buy?
Jika proposal restrukturisasi ini disetujui oleh
semua pihak, maka berikut adalah beberapa hal yang akan terjadi:
- Utang BUMI berkurang US$ 2.4 milyar.
- Karena utangnya berkurang, maka di laporan keuangannya, nilai ekuitas BUMI yang terakhir tercatat minus US$ 1.4 milyar, kemungkinan akan menjadi positif kembali.
- Namun nilai aset BUMI secara keseluruhan juga akan berkurang, karena ada sebagian saham di anak-anak usahanya yang tidak lagi dimiliki perusahaan.
- Sisa utang yang sebesar US$ 1.6 milyar, jatuh temponya diperpanjang hingga lima tahun kedepan. Dengan asumsi bahwa harga batubara seharusnya pulih dalam jangka waktu tersebut, maka utang segitu harusnya gak jadi masalah, apalagi buat grup seperti Bakrie.
- Beban bunga utang perusahaan akan berkurang drastis, sehingga margin laba bersih BUMI kedepannya akan meningkat tajam.
- BUMI akan dimiliki oleh beberapa pemegang saham baru yang memegang total 32.3% sahamnya. Para pemegang saham baru ini memperoleh saham BUMI pada harga Rp1,660 per saham.
- Terdapat satu pemegang saham baru yang memperoleh BUMI pada harga yang lebih ‘murah’, yakni hanya Rp250 per saham.
- Masalah selesai! Selanjutnya, BUMI tinggal menunggu harga batubara pulih kembali.
Nah, sampai poin ini, anda mengerti kan, kalau penulis
belakangan ini mulai melihat BUMI ini dengan cara yang berbeda? BUMI, pada
harga 8,000, 5,000, 1,000, 500, atau bahkan 300 sekalipun, memang tidak
menarik. Tapi bagaimana kalau gocap? Apalagi jika kita mempertimbangkan faktor hidden
value-nya diatas. Seperti yang pernah dikatakan Opa Warren di tahun 60-an, ‘Kami
suka membeli saham pada harga yang sedemikian
rendahnya, sehingga bila kami menjualnya pada harga yang biasa-biasa saja
sekalipun (gak perlu terlalu tinggi), kami masih memperoleh untung.’ Make it
simple: Kalau BUMI sukses naik ke 250 saja (gak perlu ke 1,660 dulu deh), maka
profitnya sudah lima kali lipat bukan? Risiko tentunya selalu ada, tapi kali
ini peluang profitnya jauh lebih besar dibanding risiko tersebut dan, bear in
mind, pada tahun 2008 lalu Gita Wirjawan juga membeli BUMI pada harga sekitar
700 hingga akhirnya dia profit gila-gilaan setelah menjualnya pada harga 2,500.
Dan apakah menurut anda Mr. Gita ini, yang pernah menjabat sebagai Presdir JP
Morgan Indonesia, adalah cuma trader culun yang gak ngerti apa-apa dan cuma
ikut-ikutan ketika dulu ia membeli BUMI? I don’t think so!
However, kalaupun anda juga mulai tertarik dengan
BUMI, maka terdapat setidaknya tiga hal yang perlu anda perhatikan. Pertama,
proposal restrukturisasi utang yang sudah dibahas diatas masih sebatas
proposal, alias belum tentu disetujui oleh para kreditor. Jika CIC dan kreditor
lainnya menolak proposal diatas, maka semua skenario bakal bubar, dan utang
BUMI tidak akan berkurang sepeserpun. Kedua, meski diatas kita sudah membahas
soal ‘hidden value’ dari BUMI, namun toh tetap saja, yang dilihat orang adalah
laporan keuangan, dan sampai sekarang laporan keuangan BUMI masih bisa didaulat
sebagai laporan keuangan terbaik (dari bawah) yang pernah dirilis oleh
perusahaan publik, dan itulah yang menyebabkan saham BUMI terdampar di
posisinya saat ini. Kecuali jika nanti laporan keuangannya menunjukkan bahwa
ekuitas BUMI sukses kembali positif, maka secara fundamental sahamnya belum
memiliki alasan untuk naik kembali.
Dan ketiga, jangan lupa bahwa BUMI ini masih dikuasai Bakrie. Intinya sih, kalau ikan paus
sekelas Nathaniel
Rothschild saja pernah mereka gebuk, dan Om Samin Tan juga jadi kurus kering gara-gara kemakan omongan
mereka untuk ikut masuk ke Bumi
Plc hingga akhirnya harus menanggung utang US$ 1 milyar ke StanChart, maka jangan harap kalau anda, yang notabene cuma ikan teri (bahkan
jika anda beli BUMI Rp100 milyar sekalipun maka anda masih masuk kategori ikan
teri, atau maksimal ikan sarden lah), akan digelari karpet merah dan diberi
karangan bunga ketika anda membeli BUMI. Dengan mempertimbangkan faktor Bakrie
ini, maka keputusan untuk masuk ke BUMI, bahkan meski dengan pertimbangan yang
sangat hati-hati sekalipun, tetap lebih dekat ke spekulasi ketimbang investasi.
Jadi penulis sendiri, kalaupun nanti kita jadi masuk ke BUMI ini, maka hanya
akan menggunakan dana secukupnya saja.
Okay, komentar anda?
Komentar
Btw, P Teguh mulai melirik BUMI nih. Dari benci bisa jadi rindu lo :)
Masih banyak ratusan emiten di BEI yg lbh layak untuk berinvestasi..
Pendapat saya mengenai cerita BUMI ini, risk/rewardnya sangat atraktif di harga sekarang dimana resikonya relatif kecil. Ya kalau bumi bangkrut terus di privatisasi dan dijual untuk bayar hutang, harusnya sih modal kita dikembalikan di harga 50 juga. Tapi masa sih kalau di privatisasi, harga BUMI di 50 perak?
Sedangkan dari rewardnya kalau sampai restrukturisasi ini terjadi, uang kita bisa naik 4-5x lipat. Ya kalau mau konservatif, ambil 2-3x aja udah cukup buat makan sama isi bensin :.
Tetapi overhang/risk terbesar dari cerita ini adalah seberapa besar probabilitas deal ini terjadi. Karena dari dulu memang orang-orang BUMI ini paling hebat ilmu financial enginering-nya. Jadi bisa saja restrukturisasi utangnya bisa diperpanjang dengan skema baru. Makanya CS dan CIC tetap berani memberikan pinjaman ke BUMi sampai sekarang.
Kesimpulannya sih, saya tetap merekomendasi beli untuk BUMI di harga 50, dengan maksimum alokasi di portfolio 5-10% saja. Bombed out stock with zero downside, but unlimited upside :D
"US$ 1.5 milyar dikonversi menjadi 32.5% saham BUMI. Jika poin kedua ini diterima oleh kreditor, maka artinya mereka (kreditor) setuju untuk menganggap bahwa nilai aset bersih/ekuitas BUMI adalah US$ 4.6 milyar"
32.5% maksudnya :1). persentase dari total saham setelah utang dkonversi ke saham atau
2). persentase dari total saham sebelum utang dikonversi ke saham?
Perhitungan pak teguh sederhananya= 100/32.5 X 1.5 milyar usd = 4.6 milyar usd
bukan kah lebih tepat maksud dari "...dikonversi menjadi 32.5% saham BUMI." artinya utang 1.5 miliar usd itu nantinya menjadi 1.5 miliar usd saham yang merupakan 32.5% dari total nilai saham..
Sehingga kta dapat menganggap nilai ekuitas BUMI saat ini = 67.5/32.5 x 1.5 milyar usd, yaitu 3.1 milyar usd
Jadi, setelah konversi utang saham nilai total ekuitas = 1.5 milyar usd + 3.1 milyar usd = 4.6 milyar usd
Dan kepemilikan CIC 32.5% x 4.6 milyar usd = 1.5 milyar. Sedangkan nilai ekuitas Bumi saat ini adalah 3.1 milyar usd, yaitu 67.5% dari total nilai ekuitas setelah konversi bukan 4.6 milyar usd..
Sehingga jatuhnya market cap sekitar Rp. 1,125 bukan Rp. 1,660
Mohon pendapatnya dari pak teguh dan rekan-rekan sekalian
AIG, dan investment banks Amerika pada saat krisi sub prime mortgage 2008, juga langgamnya sama: "too big to fail".
1. BUMI di manage oleh orang2 yang "pintar" financial engineering nya. Jadi sebagai investor, saya tidak bisa percaya dengan laporan keuangan nya? Jadi saya tidak akan mempercayakan uang saya kepada mereka.
2. Jika dibandingan dengan laporan keuangan penambang luar negeri seperti BHP & RIO, tambang batubara mereka di amortisasi gila2an karena harga batubara yang terus terpuruk. Di BUMI, harga tambang batubara nya di amortisasi sekedarnya.
3. Para creditor tidak punya pilihan lain selain mengkonversi utang mereka sebagai saham karena jika tidak, mereka pun tidak bisa menuntut BUMI untuk melunasi nya (BUMI lagi susah duit). Rasanya di pembukuan creditor, mereka juga sudah mulai menghapuskan jumlah utang BUMI.
4. Dengan mengkonversi utang ke saham, dalam arti laen, BUMI coba mencetak duit dengan mencetak saham. Seperti sejarah mengatakan, negara yang mencetak duit nya gila2an akan mengalami masalah(Jerman setelah perang dunia pertama, Negara2 di Afrika dsb). Sebagai negara, mereka tidak akan bangkrut, tetapi BUMI bukanlah negara. Perusahan yang mencetakin saham dan bankrut ada banyak seperti ENRON.
5. Harga saham BUMI seharusnya gratis. Belakangan ini di Amerika tambang batubara di jual dengan MEMBAYAR si pembeli untuk tambang tersebut. Ini Bloomberg article nya http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-09-22/mines-in-america-s-coal-country-just-sold-for-a-total-of-nothing. Jadi siap2 untuk pemegang saham BUMI untuk ter dilusi lagi jika beli di gocap.
6. Satu2nya jalan yang bisa menyelamatkan BUMI adalah naiknya harga batubara ke harga sebelum 2008. Kapan? mudah2an sebelum BUMI bangkrut.
harga batu bara masih ngusruk juga di USD $ 50-an
kapan ya si sexy ini terbang lagi ke 8000, tempat saham ku berada
Untunglah aku investor jangka puanjaaang..jadi bermental baja dan sabbuar..
Pertanyaan saya, bagaimana pak Teguh bisa mendapatkan informasi tentang proposal restrukturisasi ini pak ?
Karena pada kali ini saya melihat ada peluang di GIAA yang juga kasusnya restrukturisasi hutang dan juga sedang memiliki ekuitas negatif.
Mohon pencerahannya pak Teguh biar saya dapat melakukan analisa, atau jika berkenan untuk menuliskan tentang prospek Saham GIAA (Garuda Indonesia) ini pak.
Terima kasih.