Bank Danamon
Bank Danamon (BDMN) menjadi emiten pertama di
BEI yang sudah merilis laporan keuangannya untuk periode Kuartal III 2014 (Q3
2014). Dan hasilnya? Well, BDMN sejak awal tahun 2014 lalu merupakan salah satu
emiten perbankan yang manajemennya tidak mampu mengatasi dampak negatif dari
kenaikan BI Rate, dimana meski pendapatannya naik namun laba usaha serta laba
bersihnya turun cukup signifikan karena kenaikan beban bunga, dan trend
tersebut masih terjadi hingga saat ini. Hingga Q3 2014, BDMN mencatatkan laba
bersih Rp2.1 trilyun, turun 29.9% dibanding periode yang sama tahun 2013.
Pencapaian kinerja yang kurang memuaskan
tersebut menyebabkan saham BDMN cenderung bergerak turun dalam dua tahun
terakhir, karena pada tahun 2013, perolehan laba BDMN juga boleh dikatakan
tidak tumbuh sama sekali dibanding tahun 2012. Namun disinilah menariknya:
Sebelum tahun 2013, BDMN memiliki kinerja fundamental yang cemerlang, sementara
bank-nya sendiri merupakan bank swasta terbesar ketiga di Indonesia dari sisi
aset setelah Bank BCA (BBCA), dan Bank CIMB Niaga (BNGA). Dan setelah ditambah
dengan likuiditasnya yang sangat bagus, maka jadilah saham BDMN menjadi salah
satu saham perbankan termahal di BEI dengan PBV antara 3 hingga 4 kali, hanya
kalah dibanding BBCA.
Namun, itu dulu. Setelah sahamnya turun kurang
lebih 35% dalam dua tahun terakhir, sementara nilai ekuitas BDMN masih
bertumbuh dari Rp28.7 trilyun pada akhir tahun 2012 menjadi Rp32.1 trilyun pada
saat ini, maka PBV-nya menjadi hanya 1.2
kali pada harga 4,000. Dengan mempertimbangkan status sahamnya yang masih
bisa disebut sebagai blue chip, maka itu adalah valuasi yang atraktif. BDMN
berpeluang untuk naik signifikan jika nanti laporan keuangannya mencatatkan
pertumbuhan yang positif kembali.
Dan kalau kita cek kinerja BDMN secara historis,
tahun 2014 ini adalah merupakan pertama kalinya BDMN mengalami penurunan laba
sejak 2009 (di tahun-tahun yang lain, laba BDMN naik terus). Hingga Kuartal III
2014, ROE perusahaan tercatat hanya single digit, tepatnya 9.3%, namun sejak
2001 (yap, anda tidak salah baca) hingga 2012, ROE tersebut nyaris selalu diatas
15% (kecuali untuk tahun 2009). Dari sisi net interest margin (NIM) yang
mencapai antara 8 – 10%, maka BDMN adalah bank dengan margin bunga terbaik di
BEI setelah Bank
BTPN (BTPN). Pencapaian historis yang bagus ini terutama karena BDMN
bermain di dua segmen kredit yang paling menguntungkan, yakni kredit mikro,
usaha kecil dan menengah (UKM), dan kredit pembiayaan kendaraan bermotor melalui
anak usahanya, Adira
Dinamika Multifinance (ADMF). You see, jika untuk kredit korporasi BDMN
hanya bisa membebankan bunga 14 – 16% per tahun kepada debitur, maka untuk
kredit sepeda motor, bunganya bisa diatas 40%.
Jadi meski kinerja BDMN sejauh ini masih belum
cukup atraktif bagi investor untuk memburu sahamnya, yang itu berarti sahamnya
mungkin belum akan naik dulu meskipun valuasinya sudah cukup murah, namun ketika
tadi dikatakan bahwa ‘BDMN berpeluang untuk naik signifikan jika nanti laporan
keuangannya mencatatkan pertumbuhan yang positif kembali’, maka kembalinya
pertumbuhan yang positif tersebut mungkin cuma soal waktu. Beberapa perusahaan mencatatkan
kinerja yang kurang bagus, atau kinerja yang buruk sama sekali, karena
perusahaannya memang jelek. Namun BDMN tidak tergolong perusahaan seperti itu,
meski memang selama dua tahun ini mereka sedang mengalami masa-masa sulit.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan stagnasi
kinerja tersebut? Well, tidak ada penyebab yang khusus kecuali karena
pertumbuhan penyaluran kredit perbankan yang memang sedang melambat, disebabkan
oleh melemahnya
pertumbuhan ekonomi nasional secara umum, yang sayangnya berdampak cukup
signifikan terhadap kinerja BDMN karena perusahaan tidak mengerjakan kegiatan
ekspansi tertentu, misalnya membuka banyak kantor cabang baru, dalam dua tahun
terakhir. BDMN, seperti beberapa bank-bank lainnya, lebih banyak mengembangkan
sumber pendapatan baru berdasarkan fee (fee based income), seperti
layanan kartu kredit (dengan bekerja sama dengan klub sepak bola Manchester
United), dan layanan gadai. Namun sudah tentu, kontribusi fee based income ini
masih sangat kecil dibanding pendapatan perusahaan secara keseluruhan.
Lalu apa yang dilakukan manajemen untuk memperbaiki
kondisi saat ini? Nah, dalam hal ini penulis juga agak bingung. Dalam materi analyst
briefing-nya yang terakhir, manajemen BDMN tidak memperinci langkah
signifikan apapun. Mereka hanya mengharapkan bahwa penyaluran kredit akan
tumbuh 15 – 17% pada tahun 2014 ini, dimana penyaluran kredit dari ADMF
ditargetkan tumbuh paling rendah, yakni hanya 10%. Hal ini pula yang
menjelaskan kenapa BDMN ‘keluar’ dari ADMF dengan menarik dividen hingga Rp2.7
trilyun, atau hampir separuh dari nilai ekuitas ADMF (kemarin ADMF bagi dividen
gede banget, yakni Rp2,700 per saham). Mungkin manajemen BDMN menilai bahwa kedepannya,
bisnis pembiayaan sepeda motor tidak akan lagi se-menguntungkan sebelumnya,
sehingga ketimbang ADMF capek-capek memutar dana yang ada untuk memperoleh
pendapatan, mendingan dana tersebut ditarik saja.
Sementara di segmen kredit yang menguntungkan
yang satunya lagi, yakni kredit UKM, manajemen BDMN masih agak limbung setelah
ditinggal oleh direktur small medium enterprise-nya, Ali Yong, sejak
Maret 2014 lalu. Ali Yong meniti karier di Bank Danamon sejak tahun 1999, dan sudah
memegang bisnis kredit mikro (menjadi direkturnya) sejak tahun 2008. Sementara
penggantinya, Muliadi Rahardja, meski juga sudah bergabung dengan Danamon sejak
tahun 1999, namun baru sejak tahun ini ia memegang bisnis kredit mikro. So, BDMN
mungkin belum bisa mengerjakan rencana pengembangan tertentu di segmen kredit
UKM, karena direkturnya masih harus menyesuaikan diri dulu.
Kesimpulannya, BDMN boleh dibilang tidak
menawarkan prospek apapun, dan karena itulah sahamnya belum layak untuk koleksi
pada saat ini, kecuali: 1. Pada Kuartal IV 2014 nanti, atau pada Kuartal I
2015, labanya confirm kembali meningkat (dengan mempertimbangkan kinerja perusahaan secara historis, maka kemungkinan pemulihan kinerja tersebut tetap ada), atau 2. Sahamnya turun lebih lanjut hingga
valuasinya murah secara absolut, alias PBV-nya dibawah 1.0 kali, dan itu
berarti 3,400 atau dibawahnya. Jika
melihat likuiditasnya yang sangat bagus (yang itu artinya saham ini banyak
dipegang oleh fund manager besar), maka bahkan meski kinerja terakhirnya masih
belum meyakinkan, BDMN mungkin sulit untuk bisa turun sampai ke posisi yang serendah
itu, kecuali jika nanti ada sentimen negatif tertentu. Namun kecuali jika anda bisa masuk ke BDMN ini di kisaran 3,400-an tersebut, maka di BEI masih ada banyak saham perbankan lainnya yang menawarkan kenaikan yang lebih tinggi dalam
jangka waktu beberapa bulan kedepan.
PT Bank
Danamon, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal III 2014: BBB
Rating Saham pada 4,000: BBB
NB: Penulis membuat buku elektronik (ebook) yang
berisi kumpulan analisis dari saham-saham pilihan berdasarkan kinerja
perusahaan di Kuartal III 2014. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Mohon bantuan untuk menganalisa anak perusahaan Bank Danamon (Adira Dinamika Multi Finance).
Saya rasa kurang tepat karena sampai saat ini dividen belum dibagi.
Ketika nanti dividen tsb dibayarkan, maka posisi kas ADMF berkurang Rp2.7 trilyun, dan utang dividen tadi otomatis terhapuskan (karena sudah dibayar).
Sistem pembayaran dividen di perusahaan lain juga sama begitu. Pokoknya kalau RUPS sudah ketok palu soal berapa nilai dividen yang akan dibayarkan, maka nilai ekuitas perusahaan yang bersangkutan pada hari itu juga akan otomatis berkurang sebesar nilai dividen yang dibayarkan, meskipun dividen tersebut baru akan dibayar kemudian.
Rasanya kurang cocok bilang Danamon keluar dari Adira. Jika melihat buku terakhir, kas Adira tidak sampai 1 Triliun, jauh dari dividen 2.7 Triliun.
Sepertinya tidak akan ada kas masuk ke pemegang saham pengendali di sini, hanya sebagian kecil kas keluar ke pemegang saham publik.
Saham publik Adira hanya 4% kalau tidak salah, jadi kas yang keluar hanya 108 Miliar (masih memungkinkan meliaht posisi kas sekarang). Sisa dividen sepertinya akan keluar dalam bentuk aset, entah gedung atau piutang. Hanya akan ganti nama saja aset Adira ke Danamon sejumlah 2.5an Triliun. Apalagi jika piutang, mungkin lebih mudah lagi prosesnya.
Secara konsolidasi, sepertinya tidak ada perubahan signfikan ke Danamon. Namun di posisi induk, Danamon membukukan pendapatan dividen yang cukup fantastis, posisi equity (non-konsolidasi) juga akan menguat, CAR membaik. Walaupun cuma keluar kantong kanan masuk kantong kiri.
Yang jadi pertanyaan, dengan profit Danamon naik, apakah nanti pemegang saham Danamon akan tarik dividen yang besar juga? Padahal profit yang muncul cukup semu, bukan dalam bentuk kas. Karena yang punya Danamon perusahaan investasi, besar kemungkinan dividen kas yang akan keluar. Jadi yang bleeding kasnya habis ini malah Danamon (jika beneran skenarionya begitu).
Semoga saja bukan, dan tujuannya cuma efisiensi aset. Soalnya di antara pemain multifinance, gearing Adira memang cukup rendah.
thanks pak teguh