Lo Kheng Hong, dan Bumi Resources
Bagi anda yang sudah membaca blog ini sejak lama, anda mungkin hafal bahwa
jika ada saham yang penulis seperti punya ‘dendam pribadi’ terhadapnya, maka
saham itu adalah Bumi Resources (BUMI). Alasannya? Bukan, bukan karena saya
pernah cut loss di BUMI ini, karena saya nggak pernah memegangnya. Melainkan karena,
ketika dulu penulis mulai masuk ke saham di tahun 2009, BUMI adalah saham
dengan fundamental yang nol besar tapi anehnya dipegang oleh banyak sekali
investor, tidak hanya investor retail lokal melainkan juga para fund manager
asing, dan ketika itu praktis merupakan saham
paling populer di Indonesia. Dan ini jelas aneh: Bagaimana mungkin saham
dengan pengelolaan perusahaan yang paling amburadul yang pernah ada, justru
menjadi saham favorit semua orang???
However, seiring dengan berjalannya waktu, para investor akhirnya menyadari
bahwa mereka tidak akan memperoleh apa-apa dari BUMI ini, dan BUMI perlahan
tapi pasti terus turun. Pada tahun 2009 lalu, IHSG ditutup di posisi 2,534,
sementara BUMI ditutup di 2,425. Dan sekarang? Ketika artikel ini ditulis, IHSG
berada di posisi 4,391, atau telah naik 73.3% dalam empat tahun. Sementara
BUMI? Terpuruk sangat dalam, bukan ke 1,000, bukan ke 500, melainkan.. sudah
300-an! Jika di tahun lalu orang-orang masih dengan pede mengatakan bahwa BUMI tidak
akan menyusul jejak saudara-saudaranya untuk menjadi anggota ‘Klub Gocap’, maka
sekarang mereka mulai ragu-ragu. Istilah ‘saham sejuta umat’ pun sudah lama hilang, dimana kalaupun ada investor yang masih nyangkut di BUMI ini, maka
mereka kemungkinan sudah tidak berharap banyak, melainkan cenderung pasrah.
Karena toh pada akhirnya, mereka seharusnya masih bisa cuan di saham-saham yang lain.
Namun, bukan itu yang akan kita bahas disini.
Anda mungkin sudah mengetahui bahwa pak Lo Kheng Hong, investor perorangan paling
terkenal di Indonesia, saat ini sedang dalam posisi yang nyangkut parah di
BUMI. Dan penulis sudah menerima cukup banyak email dari teman-teman yang
menanyakan hal ini, karena pak LKH notabene salah satu mentor saya juga. Kebanyakan
dari email tersebut bertanya apa alasan LKH membeli BUMI, namun ada juga yang
cenderung mengkritik, dengan mengatakan bahwa LKH kali ini keliru besar telah
membeli BUMI. Nah, berikut ini adalah beberapa hal yang penulis bisa sampaikan,
terkait apa yang penulis bisa pahami dari jalan pikiran seorang LKH, sehingga
beliau akhirnya memutuskan untuk membeli BUMI. Here we go:
Pertama, LKH membeli BUMI, termasuk juga membeli beberapa saham-saham
Bakrie lainnya, bukan karena ikut-ikutan apalagi karena memperoleh bisikan bandar,
melainkan karena pertimbangannya sendiri, yang dibuat secara mendetail, hati-hati,
dan menggunakan asumsi-asumsi yang konservatif. Bagi seorang value investor
seperti beliau, pertimbangan utamanya selalu sederhana: Sebuah saham, entah itu
saham perusahaan batubara atau lainnya, menjadi layak beli jika harganya jauh
lebih rendah dibanding nilai riil/nilai intrinsik perusahaannya. BUMI pada harga 8,000, 5,000, atau
3,000 mungkin tidak menarik. Tapi bagaimana kalau 1,000? Nah, mungkin ceritanya
baru berbeda. Tapi setelah dibeli di harga 1,000, selanjutnya dia malah turun
lagi sampai 300, gimana tuh? Ya biarin aja. Pada tahun 1972, Warren Buffett
pernah membeli saham The Washington Post pada harga tertentu yang ia anggap
sudah sangat terdiskon. Namun bukannya naik, setahun kemudian saham tersebut
malah anjlok hingga lebih dari separuhnya, but still, Buffett tetap
meng-hold-nya. Hingga akhirnya, sekitar dua belas tahun kemudian, saham The
Washington Post naik dua puluh lima kali
lipat! Kemungkinan LKH juga belajar dari pengalaman Buffett tersebut,
dimana beliau tidak peduli meski harus menunggu selama dua belas tahun sekalipun,
termasuk harus nyangkut gila-gilaan, asalkan pada akhirnya bisa memperoleh
keuntungan sebesar sekian kali lipat, dan bukan lagi sekedar sepuluh atau dua
puluh persen.
Sekedar catatan, LKH nggak pernah bilang beliau beli BUMI di average
berapa, tapi kemungkinan sekitar 1,000-an. Dan jika average beliau memang di
1,000-an, maka di harga itulah beliau menganggap bahwa BUMI ini cukup murah, namun
harap catat pula bahwa anggapan tersebut tentunya bisa saja keliru. LKH sendiri
pernah bilang ke saya bahwa dia juga bukannya nggak bisa salah dalam memilih
saham.
Kedua, LKH membeli BUMI bukan ketika saham ini sedang populer-populernya,
melainkan justru ketika ia kehilangan gelarnya sebagai saham sejuta umat, sekitar
akhir tahun 2012 lalu, termasuk ketika semua orang (pada akhirnya) menganggap bahwa
saham-saham Bakrie itu sampah. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dicontohkan
oleh Buffet. Tahun 1964, saham American Express (AXP) jatuh berantakan setelah
perusahaan tersangkut sebuah skandal yang menyebabkannya merugi sekitar US$ 150
juta, atau sekitar US$ 1 milyar pada saat ini. Yap, ketika itu AXP tidak
sekedar jatuh sahamnya, melainkan perusahannya juga merugi dan AXP seketika
berubah status dari saham pujaan para investor, menjadi sebuah saham yang
mewakili sebuah perusahaan yang diprediksi bakal segera bangkrut. But you know
what? Ketika AXP sudah turun sampai pada harga tertentu, justru ketika itulah
Buffett masuk secara besar-besaran! Sudah tentu, AXP tidak langsung naik,
melainkan sempat juga melanjutkan penurunannya. Namun pada akhirnya dia naik
juga, dan AXP kemudian menjadi salah satu saham paling sukses di portofolio
Berkshire Hathaway, hingga saat ini.
Dan jika anda perhatikan, perilaku value investor itu memang begitu: Dia
masuk justru ketika orang lain keluar. Dia membeli saham bagus yang orang lain
menganggapnya sampah, dan dia menyukai saham-saham yang justru tak seorangpun
mau menyentuhnya. Tapi percaya atau tidak, justru strategi ‘kontrarian’ seperti
inilah yang terbukti sukses bagi banyak investor kenamaan, termasuk LKH itu
sendiri.
Nah, dalam hal ini penulis tidak mengatakan bahwa BUMI pada akhirnya akan
naik juga, karena kita nggak akan tahu soal itu. Namun jika dibandingkan dengan
Berlian Laju Tanker (BLTA), misalnya, yang perusahaannya memang bermasalah dengan
hutang-hutangnya sehingga harus melego aset-asetnya, bahkan memang nyaris
bangkrut (atau memang sudah?), atau jika dibanding Dayaindo Resources (KARK), maka BUMI ini masih beroperasi dengan normal sampai
sekarang, termasuk produksi batubaranya masih meningkat terus. Yap, di laporan
keuangannya, BUMI memang tampak amat sangat buruk dengan posisi ekuitas yang
bahkan sudah minus, alias defisiensi modal (jumlah utangnya sudah lebih besar dibanding
total aset perusahaan). Tapi faktanya di lapangan, perusahaan masih beroperasi
dengan normal, dan tidak ada masalah apapun juga dengan para kreditor, sehingga
bisa jadi justru laporan keuangannya-lah, yang dengan sengaja dibuat agar
tampak jelek. Kemungkinan hal inilah yang dilihat oleh pak LKH.
Terakhir, ketiga, masalah terbesar di BUMI tentu saja terletak di
manajemennya, dalam hal ini Grup Bakrie, yang tidak pernah fair terhadap
investor publik. However, posisi LKH sebagai investor besar menyebabkannya
berbeda dengan investor ritel biasa. Jika mau, LKH juga bisa saja mengajukan
diri sebagai komisaris perusahaan, meski itu tidak beliau lakukan. Jadi dalam
hal ini faktor valuasi lebih diperhatikan oleh LKH ketimbang faktor manajemen,
karena tidak seperti investor ritel pada umumnya, ia berada dalam posisi yang
memungkinkannya untuk turut aktif dalam menentukan arah kebijakan perusahaan. LKH
juga berkawan baik dengan Samin Tan dan beberapa petinggi BUMI, dan penulis
kira jika kita sudah sampai pada posisi ‘ring satu’ seperti itu, maka mau saham
yang bersangkutan jatuh sampai gocap sekalipun gak akan jadi masalah, selama
kita bisa melihat bahwa partner-partner kita di perusahaan masih bersedia untuk
bekerja sama dalam mengelola perusahaan, dan perusahaannya sendiri memang masih
berjalan tanpa ada masalah berarti.
Pada akhirnya, penulis sendiri sampai detik ini tetap tidak berminat untuk
masuk ke BUMI. Alasannya pertama, karena saya sudah punya planning investasi sendiri,
dan kedua, penulis tidak memiliki cukup aset untuk bisa mengajak Nirwan Bakrie
makan siang, sehingga dalam hal ini posisi penulis, dan mungkin juga anda,
berbeda dengan LKH. Sementara soal apakah BUMI memang sudah murah dan layak
investasi pada harganya saat ini, itu kita tidak tahu karena BUMI sangat sulit
untuk dipelajari mengingat laporan keuangannya penuh dengan intrik, tapi yang jelas membeli
BUMI di harga 300 tentu lebih murah ketimbang membelinya di harga 8,000 bukan?
Dan faktanya hingga saat ini LKH masih dalam posisi meng-hold BUMI,
sehingga ia tidak atau belum menganggap bahwa keputusannya keliru bahkan meski
saham BUMI itu sendiri sudah turun sangat dalam. Sekedar catatan, bagi investor
yang sudah terlanjur dikenal oleh banyak orang seperti LKH, tekanan psikologis yang
dialami seringkali tidak hanya ketika saham yang dipegangnya turun, namun juga karena
adanya banyak kritikan atau bahkan hujatan dari investor-investor lainnya, yang menganggap bahwa ia kali ini salah besar.
Namun toh, LKH tetap tidak bergeming, dan penulis kira kekuatan mental seperti
inilah, sekali lagi, yang menjadikan LKH besar seperti sekarang.
Jika anda punya pendapat tersendiri tentang 'mantan saham sejuta umat' ini, anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
Jika anda punya pendapat tersendiri tentang 'mantan saham sejuta umat' ini, anda bisa menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
Komentar
Tapi yang jadi sedikit pembeda antara opa Warren dan LKH menurut saya adalah, opa Warren mau langsung menceburkan diri ke manajemen perusahaan tersebut untuk membereskan masalah2nya. Seperti kasus Solomon Brothers. yang menurut saya mirip dengan BUMI. jadi opa Warren seolah2 "membundling" saham2 tersebut dengan reputasinya. Mungkin ceritanya akan sedikit berbeda kalau LKH langsung ikut dalam manajemen perusahaan. CMIIW
Tahun 2008 aku tambang 10 juta ton, profit ku 10 milliar.
Tahun 2013 aku tambang 30 juta ton, pfofit ku MINUS 1 milliar.
Bukannya lebih baik aku TIDAK menambang sebanyak 30 juta ton di 2013?
Bukankah aku menghabiskan sumber daya tambangku yg terbatas dan TIDAK dapat diperbarui?
Saya rasa para pemegang saham BUMI termasuk LKH juga harap2 cemas menunggu kepastian nasib dari perusahaan ini.
Menurut saya, mungkin salah satu jalan untuk pemegang saham adalah membeli saham BUMI di harga sekarang untuk menurunkan avarage buy nya.
Sampai pada titik harga yang sudah seimbang atau sama antara average buy dengan harga sekarang, lalu jual semua berapapun profit yg di dapat.
Memang terkesan alasan yang emosional. Tapi daripada saya harus berada dalam sebuah kapal yang tak punya arah mau kemana dan mungkin hanya tinggal menunggu waktunya untuk karam.
However, saya rasa LKH punya alasan sendiri. mengingat beliau bukan investor newbie seperti saya. CMIIW
Simplenya begini,bu Dias,
Anda masuk masuk dan beraktivitas di bursa ketika semua orang ketakutan dan pergi dari bursa. ini bisa disebabkan krisis ekonomi atau ketika ada market crash dimana bursa tertekan lumayan dalam.(Tren Bearish)
di situ harga emiten2 banyak yang berjatuhan tak terkecuali saham2 bluechip(ASII,BBRI,BBCA, dll).
di situlah saatnya anda menemukan saham2 dengan fundamental bagus tapi di harga yang terdiskon.
tapi menurut saya, cari saham yang benar2 murah. bukan saham bluechip. karena saham bluechip bagaimanapun kondisinya tetap saja menurut saya masih mahal dan anda perlu modal besar.
ketika anda menemukannya, belilah sebanyak2nya.
inilah prinsip dari Warren Buffet yang dipakai oleh para value investor, "Be fearful when the others are greedy. And be greedy when the others are fearful"
CMIIW
Sementara itu LKH nampaknya tdk/kurang mementingkan faktor manajemen perusahaan, terbukti LKH mau membeli BUMI.
di stockbit.com
ada yg bilang
Lo Kheng Hong mengakui bahwa
BUMI adalah KESALAHAN TERBESARNYA
manusia bro...
kalau profit minus, perlu dilihat juga apakah aset bertambah, seperti saham GZCO, profit menurun, tapi ladang sawitnya bertambah pesat.
Terima Kasih P.TH, yg kasihan nantinya LKH sudah susah2 merintis akhirnya jadi ...... ?
WB (Investasinya dijamin sanksi Hukum)jadi Jelas Bedalah ...... hahaha.
sya yakin pk LKH pnya alasan trsndiri knpa msih brtahan ...
jiwa seorng investor .
Tapi Bumi siap-siap joget nih :D
Hampir semua investor/trader selalu terlambat beberapa langkah. Mereka masuk ketika harga sudah naik dan keluar ketika harga sudah turun. Mungkin hanya "insider"lah yg mengetahui kapan dan berapa kenaikan haraga saham yg dituju melalui aksi2 korporasinya.
Bukan begitu Pak LKH :)
Welcome Back Golden Green,...transaksi 13 Jan 2015 sudah capai 100 miliar,...apakah pertanda EUFORIA saham sejuta umat???
Krn posisi investor retail dan corporate kemampuan ''radar''nya berbeda....
ini 1 september 2019, sekarang BUMI Rp. 94.
Thn 2016 (3 thn lalu) sempat ke 50, tahun 2017 sempat mampir ke 500an. perusahaan sudah restrukturisasi utang, sudah right issue, manajemen sudah dimasuki oleh kreditur, cuman harga batubara sedang turun jadi 64 dollar.
harga nya skrg cukup menarik buat dikoleksi..
yuk kita lihat sama sama 2, 3 atau 5 tahun lagi bakal seperti apa harganya!
salam.