Mengenal Quantitative Easing, dan Pengaruhnya terhadap IHSG
Beberapa hari lalu, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) mengumumkan
kebijakan quantitative easing (QE), dimana BOJ akan menginjeksikan dana senilai
total US$ 1.4 trilyun terhadap perekonomian negeri Sakura. Jumlah tersebut
setara dengan jumlah uang yang beredar di Jepang, sehingga kebijakan QE
tersebut akan membuat jumlah yang yang beredar menjadi naik dua kali lipat.
Menurut Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda, kebijakan ini bertujuan untuk kembali
menumbuhkan perekonomian Jepang, yang selama lebih dari satu dekade terakhir
tertahan oleh kurangnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Tingkat inflasi
di Jepang sendiri sudah 15 tahun terakhir ini mengalami minus, alias deflasi.
Oleh bursa saham Jepang, kebijakan ini direspon sangat positif, dimana
indeks Nikkei melompat 2.2% hanya dalam sehari setelah pengumuman soal QE
tersebut dirilis. In fact, kebijakan QE ini sepertinya sudah diketahui pasar
jauh sebelumnya, dimana Nikkei sudah naik signifikan dalam enam bulan terakhir
ini (lebih dari 50%), dan menjadikannya sebagai indeks saham dengan kenaikan
paling tinggi dalam setahun terakhir di Asia, atau bahkan di dunia.
Kebijakan QE yang dilakukan oleh BOJ, sebelumnya juga dilakukan oleh bank
sentral Amerika Serikat, Federal Reserve
(The Fed), dimana The Fed menyuntikkan dana sebesar US$ 85 milyar per bulan
kedalam perekonomian Amerika, dengan tujuan yang sama: Menjaga kestabilan
ekonomi dan menumbuhkannya.
Pertanyaannya mungkin, apa yang dimaksud dengan QE? Dan bagaimana bisa hal
itu membantu perekonomian sebuah negara? Well, penjelasannya ternyata cukup
rumit dan panjang, tapi disini kita akan mencoba menyederhanakannya. Okay here
we go!
Kita mulai dari sejarahnya. Pada jaman dulu, ketika belum ditemukan benda
yang sekarang kita sebut dengan uang,
nilai kekayaan seseorang biasanya dihitung berdasarkan jumlah dari tiap-tiap
aset yang ia miliki, seperti tanah sekian hektar, ternak sapi sekian ekor,
hingga sekian ton hasil panen padi. Ketika orang yang memiliki seekor sapi
hendak membeli sekarung beras, misalnya, maka ia akan akan mencari orang yang
memiliki beras tersebut, sekaligus sedang membutuhkan daging sapi. Jika dua
orang ini ketemu, maka kemudian akan terjadi transaksi yang kita sebut sebagai barter, dalam hal ini barter seekor
sapi dengan sekarung beras.
Seiring dengan berjalannya waktu, sistem barter ini ternyata tidak praktis,
karena dua alasan. Satu, tidak mudah bagi pemilik sapi untuk menemukan orang
yang memiliki beras sekaligus sedang membutuhkan sapi. Dan dua, nilai seekor
sapi jelas berbeda dengan sekarung beras. Peternak sapi membutuhkan waktu
beberapa tahun untuk memelihara seekor sapi dari kecil hingga siap potong,
sementara petani padi bisa tiga kali panen dalam setahun untuk memperoleh
ratusan karung beras. So, jika seekor sapi kemudian ditukar dengan hanya sekarung
beras, maka dalam hal ini si pemilik sapi telah dirugikan.
Karena itulah kemudian manusia berusaha menciptakan/menemukan suatu alat tukar yang: 1. Disukai/dibutuhkan/diinginkan semua orang, dan 2. Memiliki nilai yang jelas. Kemudian
berkembanglah berbagai jenis alat tukar, hingga terdapat satu diantaranya yang
paling populer, yakni logam mulia, alias
emas. Emas diinginkan dan disukai
semua orang, sehingga seorang pemilik sapi bisa menukar sapinya dengan sekian
gram emas, kemudian dengan sebagian emas tersebut dia bisa membeli sekarung
beras. Emas juga memiliki nilai yang jelas, yaitu berdasarkan tingkat kemurnian
dan jumlah/beratnya. Semakin murni dan semakin berat sekeping atau sebatang
emas, maka semakin tinggi nilai emas tersebut. Emas juga kemudian menjadi
penanda nilai kekayaan seseorang yang paling jelas, dimana orang-orang kaya
jaman dulu biasanya memiliki sekian kilogram emas dalam berbagai bentuknya,
sementara orang miskin nggak punya emas barang se-gram pun.
Waktu berlalu, dan orang-orang kemudian mulai merasa bahwa kalau harus
bawa-bawa emas kemana-mana, maka itu tidak praktis, karena emas adalah salah
satu jenis logam terberat yang pernah ada. Akhirnya orang kemudian bisa
menitipkan emas yang ia miliki ke tukang/pandai emas, untuk kemudian memperoleh
semacam sertifikat diatas kertas, yang menjadi bukti atas kepemilikan emas
tersebut. Nah, ‘kertas sertifikat’ inilah yang kemudian menjadi cikal bakal
uang kertas yang kita kenal sekarang ini.
So, jika mengikuti definisi ‘uang’ yang diutarakan diatas, maka selembar
uang kertas yang ada di dompet anda sekarang ini, itu sebenarnya tidak ada
nilainya sama sekali. Yang bernilai
adalah sesuatu yang diwakili oleh uang kertas tersebut. Analoginya sama
seperti sertifikat rumah: Sertifikat tersebut memang ‘memiliki nilai’, sehingga
bisa digadaikan ke bank kalau anda mau pinjam uang. Tapi jika anda kemudian
gagal membayar pinjaman tersebut, maka yang disita bank adalah rumahnya, bukan
cuma sertifikatnya, karena yang benar-benar memiliki nilai adalah rumah
tersebut, sementara sertifikat tersebut pada akhirnya cuma secarik kertas.
Pada jaman modern seperti sekarang ini, tukang/pandai emas yang disebutkan
diatas sudah berevolusi menjadi bank, tepatnya
bank sentral (central bank), dimana
hampir semua negara di seluruh dunia memiliki bank sentral-nya masing-masing,
termasuk Indonesia dengan Bank Indonesia-nya (BI). Bank sentral inilah yang menerbitkan
mata uang sebuah negara, mencetak atau menarik uang yang beredar di masyarakat,
serta menentukan suku bunga. Kebijakan
yang dilakukan bank sentral terkait tiga hal tersebut (currency, money supply, dan interest
rate) kemudian disebut sebagai kebijakan
moneter (monetary policy).
Pada perkembangannya, kebijakan moneter yang dikenal saat ini lebih ke penentuan
tingkat interest rate dan money supply saja, karena ketika sebuah bank sentral
sudah menentukan satu jenis currency yang berlaku di sebuah negara, maka
biasanya currency tersebut akan berlaku seterusnya tanpa ada perubahan lagi
(seperti di Indonesia, currency alias mata uangnya dari dulu ya Rupiah aja
terus, gak pernah berganti menjadi Ringgit, misalnya). Memang ada juga beberapa
kasus perubahan jenis currency yang berlaku di sebuah negara, misalnya di
Eropa, dimana sekarang ini hampir semua negara disana pake Euro (€), setelah
sebelumnya tiap-tiap negara memiliki mata uang-nya masing-masing.
Kembali ke kebijakan moneter. Kebijakan moneter terkait interest rate dan
money supply ini kemudian bisa menentukan pertumbuhan atau kemunduran
perekonomian suatu negara. Sebagai contoh, ketika terjadi pengangguran di
Indonesia dalam jumlah besar, dan petumbuhan ekonomi juga mandek, maka BI bisa
menurunkan tingkat suku bunga (interest rate). Dengan cara ini diharapkan para
pengusaha akan berani berhutang ke bank untuk membiayai usaha mereka, yang pada
akhirnya menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian.
Terkait hal ini, BI juga akan mencetak lebih banyak uang untuk disalurkan ke
bank-bank, untuk kemudian para bank ini menyalurkannya kembali ke para pengusaha
dalam bentuk pinjaman. Oleh para pengusaha, uang ini akan digunakan untuk
membeli aset-aset dari orang lain, dan orang lain ini akan menggunakan uang
tersebut untuk membeli barang dari orang lain lagi, dan demikian seterusnya hingga
jumlah uang yang beredar di masyarakat (money supply) meningkat.
Lalu jika money supply ini terus meningkat hingga menyebabkan inflasi, maka
tingkat suku bunga bisa dinaikkan kembali, dan jumlah uang/money supply yang
beredar di masyakat bisa berkurang kembali (jika suku bunga naik, maka bunga
pinjaman bank juga akan naik, dan para pengusaha secara otomatis akan
mempercepat pembayaran utangnya, yang itu berarti mengembalikan uang yang
mereka peroleh dari bank ke bank kembali). Demikian seterusnya.
Karena itulah, salah satu kebijakan BI yang paling ditunggu-tunggu oleh
para pelaku ekonomi adalah terkait BI
Rate, atau suku bunga acuan yang
ditentukan oleh BI. BI sendiri secara terbuka mempublikasikan BI Rate sebulan
sekali, dimana saat ini posisi BI Rate terbaru (per April 2013) adalah 5.75%.
Kebijakan moneter baru: Quantitative
Easing
Nah, selain kebijakan moneter yang terkait interest rate dan money supply,
sejak tahun 2001, kemudian berkembang lagi kebijakan moneter jenis baru, yang
disebut sebagai quantitative easing atau QE (istilah Bahasa Indonesia-nya belum
ada), yang ketika itu dipelopori oleh Bank of Japan (BOJ).
Berbeda dengan kebijakan moneter biasa dimana opsinya hanya ada dua, yakni menurunkan money supply sekaligus menaikkan interest rate, dan sebaliknya, menurunkan interest rate sekaligus menaikkan money supply (baca lagi paragraf ketiga diatas:
Menurunkan interest rate berarti secara otomatis menaikkan money supply,
demikian sebaliknya), maka QE adalah meningkatkan money supply tanpa menurunkan tingkat suku bunga. QE bisa dilakukan jika suku bunga acuan di negara yang bersangkutan sudah sangat rendah, yaitu
sudah mendekati atau bahkan mencapai nol persen (saat ini suku bunga acuan yang
ditetapkan The Fed dan BOJ hanya berkisar di angka 0 – 0.25%). Dan kebijakan inilah yang dilakukan oleh The Fed dan BOJ, dimana kedua bank sentral tersebut meningkatkan jumlah uang
yang beredar di masyakat (dalam hal ini masyarakat Amerika dan Jepang) dengan cara membeli aset-aset finansial/keuangan yang
dimiliki oleh bank-bank komersial dan/atau institusi keuangan lainnya, sementara
disisi lain suku bunga acuan tetap tidak berubah. Oleh bank-bank komersial ini,
uang tersebut digunakan untuk menyalurkan pinjaman ke masyarakat/pengusaha.
Kebijakan QE ini, jika diterapkan di negara berkembang, maka akan
mengakibatkan hiperinflasi. Namun
jika diterapkan di negara maju, katakanlah dalam hal ini Jepang atau Amerika, terutama Jepang
yang dalam lima belas tahun terakhir justru mengalami deflasi, maka QE hanya
akan menyebabkan sedikit inflasi. Disisi lain deflasi yang terjadi secara terus
menerus dalam suatu negara juga bisa berdampak buruk terhadap perekonomian,
karena deflasi mengurangi money supply, dan berkurangnya jumlah money supply di
masyarakat bisa menyebabkan berkurangnya transaksi-transaksi
ekonomi (jual beli), karena alat tukar (baca: uang) yang dibutuhkan untuk
melakukan transaksi tersebut jumlahnya terlalu sedikit. Sementara pertumbuhan
ekonomi memang hanya bisa terjadi jika terjadi transaksi jual beli bukan? Yaitu
karena adanya pekerja yang menjual tenaga dan keahliannya ke perusahaan, dan perusahaan
yang menjual produknya ke masyarakat termasuk ke pekerja tadi, dan demikian
seterusnya berputar terus. Jika salah satu roda perputaran ekonomi tersebut
mandek, misalnya ketika sebuah perusahaan bangkrut, maka disitulah akan terjadi
perlambatan pertumbuhan atau bahkan kemunduran ekonomi di negara yang
bersangkutan.
Okay, kembali ke QE. Pada kebijakan moneter konvensional, meningkatnya money supply di suatu negara akan secara
otomatis menurunkan suku bunga, demikian sebaliknya. Tapi jika money
supply meningkat sementara suku bunga tidak turun, maka apa yang turun?
Jawabannya adalah yield (imbal hasil).
Ketika money supply meningkat, maka harga barang-barang akan naik, termasuk
harga sebuah aset finansial (contohnya perusahaan). Nah, jika harga dari sebuah
perusahaan menjadi naik meski disisi lain nilai atau jumlah dari produk yang
dihasilkan perusahaan yang bersangkutan tidak berubah, maka yang turun adalah
yield-nya. Contoh sederhananya mungkin seperti di saham, dimana jika harga
saham sebuah perusahaan naik padahal disisi lain laba bersih atau ekuitas perusahaan
yang bersangkutan tidak meningkat, maka imbal hasil dari saham itu menjadi
turun. Misalnya sebuah saham EPS-nya Rp50 per saham, sementara harga sahamnya
Rp500, maka imbal hasilnya 50 / 500 = 0.10 = 10%. Ketika harga saham yang
bersangkutan naik jadi Rp600, sementara EPS-nya masih tetap Rp50, maka yieldnya
menjadi 50 / 600 = 0.08 = 8%, alias turun dari sebelumnya 10%.
Btw, yield ini adalah ukuran paling dasar dalam menghitung valuasi suatu aset,
katakanlah valuasi sebuah perusahaan. Kalau di saham, yield ini dikenal dengan Price to Earning Ratio/PER, tapi cara
ngitungnya dibalik, yaitu harga saham dibagi EPS. Dan karena cara ngitungnya
dibalik, maka cara baca angkanya juga dibalik: Semakin besar angka PER, maka sahamnya
berarti semakin mahal. Sementara untuk yield, semakin besar angka yield, maka
sahamnya/perusahaannya semakin murah.
Kembali lagi ke QE. Meski yield sebuah perusahaan sebuah perusahaan turun
karena terjadinya QE, namun uang yang diperoleh perusahaan yang bersangkutan (dalam
bentuk pinjaman bank) bisa digunakan untuk menambah modal usaha, menarik lebih banyak
tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan. So, yield
tersebut pada akhirnya akan meningkat kembali. Disisi lain meningkatnya money
supply di masyarakat juga diharapkan akan mempercepat berputarnya roda
perekonomian (baca: meningkatkan frekuensi transaksi jual beli), yang pada
akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semua senang, semua menang.
Namun demikian, ada banyak asumsi yang harus dipenuhi agar kebijakan QE
tersebut bisa mencapai tujuannya, yakni pertumbuhan ekonomi. Pertama, bank
harus menyalurkan kreditnya dengan benar. Kedua, perusahaan harus menggunakan
uang yang diperoleh dari bank dengan benar. Dan ketiga, masyarakat yang
memperoleh uang (misalnya dari gajinya sebagai pegawai perusahaan) juga harus
menggunakan uangnya dengan benar. Jika salah satu saja dari ketiga elemen
tersebut tidak berfungsi dengan baik, misalnya ketika perusahaan memperoleh
pinjaman bank untuk modal usaha namun ternyata usaha tersebut tidak berjalan
dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi tetap tidak meningkat, sementara money
supply terlanjur meningkat. Ketika hal ini terjadi secara terus menerus, dimana
beberapa institusi/perusahaan mulai berjatuhan dan bangkrut karena gagal
membayar hutangnya, maka ketika itulah akan terjadi krisis besar di negara yang
bersangkutan, yang juga bisa merembet ke negara-negara lainnya. Sebenarnya, hal
itulah yang terjadi di Amerika pada tahun 2008 lalu, dan juga krisis-krisis
serupa yang pernah terjadi sebelumnya lagi, dimana pemicunya boleh dibilang selalu
sama: Adanya satu atau beberapa institusi keuangan besar yang bangkrut dan default (gagal membayar utangnya). Pada
tahun 2008 lalu, institusi yang bangkrut tersebut adalah Lehman Brothers dan
Merrill Lynch
Hubungan QE dan IHSG
Ketika para bank dan institusi-institusi keuangan di Amerika dan Jepang
memperoleh duit cash dari QE ini, maka mereka kemudian akan memutarnya untuk
memperoleh keuntungan. Cara yang paling simpel adalah dengan menyalurkannya ke
perusahaan-perusahaan dalam bentuk kredit, kemudian menarik keuntungan berupa bunga.
Cara lainnya lagi dengan menyalurkan dana cash tersebut ke instrumen-instrumen
keuangan di negara-negara yang dianggap punya potensi pertumbuhan ekonomi, yang
biasa disebut sebagai emerging market. Kebetulan,
Indonesia adalah salah satu negara emerging market tersebut (thanks to
pertumbuhan ekonomi kita yang mencapai lebih dari 6% per tahun), dan salah satu
instrumen keuangan tersebut adalah saham.
Itu sebabnya kalau anda perhatikan, salah satu penyebab banyaknya dana
asing yang masuk ke bursa akhir-akhir ini, yang pada akhirnya meningkatkan
harga-harga saham dan juga IHSG, adalah karena The Fed secara beruntun
melakukan QE (terakhir QE keempat atau QE4 pada tanggal 12 Desember 2012 lalu),
dan sekarang BOJ juga begitu. Tapi untuk QE yang dilakukan BOJ sepertinya tidak
begitu berdampak terhadap IHSG, karena duitnya lebih banyak masuk ke bursa
saham Jepang (Nikkei) sendiri.
Pertanyaannya sekarang, apakah masuknya dana asing ke bursa saham karena QE
ini berdampak positif atau negatif? Jika kita perhatikan lagi tujuan The Fed
dan BOJ ini dalam melakukan QE, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara yang bersangkutan (Amerika dan Jepang), maka pengaruh dari QE tersebut
terhadap Indonesia adalah tergantung
dari bagaimana cara dana hasil QE tersebut masuk kesini. Jika
institusi-institusi keuangan Amerika menggunakan dana QE untuk berinvestasi
secara fisik (sektor riil) di Indonesia,
seperti bikin perusahaan, mendirikan pabrik, membuka tambang dll, maka
dampaknya perekonomian Indonesia akan turut tumbuh, termasuk
perusahaan-perusahaan juga akan mengalami peningkatan modal dan laba.
Akan tetapi jika dana tersebut masuk ke instrumen-instrumen investasi yang sifatnya
hanya diatas kertas (sektor non riil), termasuk diantaranya saham, maka dana QE
tersebut tidak akan memberikan dampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia, karena investasi tersebut tidak akan menaikkan nilai modal atau
pertumbuhan/laba bersih para emiten (perusahaan yang terdaftar di bursa saham),
melainkan hanya menaikkan harga sahamnya saja. Dan jika harga saham terus naik dengan
cepat dan terus menerus karena masuknya dana QE ini, sementara nilai riil
perusahaan tidak berubah atau hanya naik sedikit atau bahkan justru turun, maka
itulah yang disebut dengan bubble. Bubble
ini bisa meletus sewaktu-waktu jika dana QE tersebut ditarik keluar lagi dari
bursa saham.
Jadi pertanyaannya sekarang, apakah dana/investasi asing yang masuk ke
Indonesia lebih banyak ke sektor riil, atau lebih banyak ke instrumen investasi
portofolio (saham dan obligasi)? Well, lebih gampangnya kita lihat langsung
saja datanya, diambil dari Bank Indonesia, angka dalam jutaan US Dollar:
Tahun
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Average
|
Investasi Sektor Riil/Direct
Investment
|
6,928
|
9,318
|
4,877
|
13,771
|
19,241
|
19,853
|
12,331
|
Investasi Portfolio (saham
& obligasi)
|
9,981
|
3,059
|
10,480
|
15,713
|
4,996
|
14,661
|
9,815
|
Investasi lainnya
|
(289)
|
3,446
|
3,794
|
3,987
|
4,954
|
6,123
|
3,669
|
Total
|
16,620
|
15,823
|
19,151
|
33,471
|
29,191
|
40,637
|
25,816
|
Nah, kabar baiknya, dalam enam tahun terakhir ini rata-rata investasi yang
masuk ke Indonesia lebih banyak ke sektor riil, yaitu US$ 12.3 milyar per tahun,
dibanding investasi yang masuk ke saham dan obligasi sebesar US$ 9.8 milyar per
tahun. Disisi lain meski pertumbuhannya cenderung tidak stabil (naik dan
turun), namun jumlah investasi asing di Indonesia mencapai rekor US$ 40.6
milyar di tahun 2012, tumbuh lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2006,
dimana investasi tersebut lebih banyak masuk ke sektor riil (foreign direct investment/FDI).
Sementara data investasi asing di portofolio, berikut detailnya:
Tahun
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Average
|
Saham
|
3,559
|
322
|
787
|
2,132
|
(326)
|
1,698
|
1,362
|
Obligasi
|
6,422
|
2,736
|
2,736
|
13,582
|
5,322
|
12,963
|
7,294
|
Total
|
9,981
|
3,059
|
10,480
|
15,713
|
4,996
|
14,661
|
9,815
|
Ternyata dari investasi asing yang masuk ke instrumen investasi portofolio,
kebanyakan masuknya ke obligasi (debt
securities). Malah pada tahun 2011, investasi asing di saham sempat turun
meski investasi di obligasi masih cukup tinggi (mungkin ini yang menyebabkan
IHSG cenderung stagnan sepanjang tahun 2011 lalu), tapi disisi lain investasi asing
di sektor riil ketika itu mencatat rekor US$ 19.2 milyar (baca lagi tabel
diatas), dan mungkin itulah salah satunya yang menyebabkan Indonesia mencatat
rekor pertumbuhan ekonomi 6.5% pada tahun 2011. Sementara di tahun 2012, investasi
asing di sektor riil tetap mengalir deras seperti sebelumnya, dan investasi
asing di saham dan obligasi juga turut meningkat signifikan, terutama di
obligasi. Namun total dana yang masuk ke saham sepanjang tahun 2012, yakni US$ 1.7 milyar, masih lebih sedikit
dibanding rekor tahun 2007, sebesar US$ 3.6 milyar.
Kesimpulannya, kalau berdasarkan data diatas, IHSG kita pada akhir tahun
2012 kemarin belum bisa dikatakan bubble, karena jumlah dana asing yang masuk
ke saham, yang turut mendorong IHSG keatas, masih jauh lebih sedikit ketimbang
dana asing yang masuk ke obligasi ataupun sektor riil, yang mendorong
pertumbuhan ekonomi. Termasuk jika investasi asing di obligasi juga dianggap
sebagai ‘investasi diatas kertas’, maka total jumlahnya (investasi asing di
saham dan obligasi) masih lebih kecil dibanding investasi di sektor riil. Penulis
tidak tahu apakah investasi asing yang masuk ke sektor riil, saham, dan
obligasi tersebut salah satunya juga berasal dari QE atau tidak. Namun yang jelas, masuknya
investasi asing tersebut turut mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
riil, karena lebih banyak digunakan untuk modal kerja perusahaan dan lain-lain,
ketimbang cuma buat beli saham, dan itu tentu bagus.
Tapi ngomong-ngomong, pada akhir tahun 2012 lalu kan IHSG masih di posisi 4,317. Sementara hari ini (tanggal 11
April 2013) IHSG sudah berada di posisi 4,926,
atau sudah naik sekitar 14.1%. Sementara jumlah dana asing yang masuk ke
bursa, jika dihitung dari awal tahun 2013, juga sudah mencapai Rp17.9 trilyun
atau sekitar US$ 1.85 milyar. Jadi bagaimana
tuh? Ya tinggal dihitung saja. Katakanlah hingga akhir Kuartal I 2013 lalu,
yaitu hingga tanggal 31 Maret 2013, total dana asing yang masuk ke bursa adalah
pas US$ 1.8 milyar. Jika hal ini berlanjut, dimana di kuartal-kuartal berikutnya
di tahun 2013 ini dana asing yang masuk ke bursa juga mencapai US$ 1.8 milyar
per kuartal, maka pada akhir tahun 2013, dana asing yang masuk ke BEI sudah
mencapai US$ 7.2 milyar (1.8 dikali
4). Apakah itu angka yang realistis? Jelas tidak. Seperti yang bisa anda lihat
di tabel diatas, rekor jumlah dana asing yang masuk ke bursa saham Indonesia tercatat
pada tahun 2007, yaitu hanya sebesar US$ 3.6 milyar, dan bahkan angka itupun
sudah sangat besar, dimana dampaknya IHSG langsung anjlok gila-gilaan di tahun berikutnya,
yakni tahun 2008.
Karena itulah, penulis lebih melihat bahwa kedepannya arus dana asing yang
masuk ke bursa saham akan lebih melambat, atau mungkin berkurang karena ditarik
keluar untuk dipindahkan ke sektor riil. Karena jika dana asing tersebut terus
masuk, dan IHSG juga terus saja naik, maka jujur saja penulis tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi di tahun 2014 nanti. Disisi lain, kalau
melihat masuknya investasi asing yang jauh lebih banyak ke obligasi ketimbang
saham, maka mungkin para pemilik dana asing ini lebih suka ‘main aman’ dengan
mengejar fixed income berupa bunga obligasi sebesar 10 – 12% per tahun,
ketimbang mengharapkan kenaikan dari harga saham, yang mungkin itu karena
mereka melihat bahwa bursa saham di Indonesia masih cenderung volatile.
Hmm, apa lagi ya? Ya sudahlah, segitu saja dulu untuk minggu ini, kita
lanjutkan lagi nanti.
Komentar
Baru ngeh QE tuh apaan setelah baca tulisan ini :-)
Thanks a lot Pak...
Regards,
Alexander
Hal ini akan berbeda bila dana asing masuk pada pasar sekunder saham/obligasi yang duitnya berputar di situ-situ aja ga bisa dipake oleh perusahaan untuk mengembangkan usahanya.
Sayangnya nggak ada data detail soal berapa dana asing yang masuk ke saham/obligasi melalui penawaran dari perusahaannya, atau dari penjualan yang dilakukan pemegang saham/obligasi sebelumnya. Jadi saya asumsikan kemungkinan terburuknya saja, yaitu bahwa semua dana asing yang masuk ke saham/obligasi, masuknya adalah melalui pasar sekunder.
dengan adanya kebijakan QE semoga perekonomian kita kena imbas positifnya untuk terus tumbuh dan berkembang.