Delta Dunia Makmur, Debt Problem

Tahun 2006, David Bonderman, bos dari perusahaan private equity terbesar di dunia, Texas Pacific Group (TPG), mengunjungi Indonesia untuk mencari peluang investasi, dengan diantar oleh seorang anak muda yang kala itu baru genap berusia 30 tahun, Patrick Sugito Walujo, pemilik dari sebuah perusahaan private equity lokal, Northstar Equity Partners. Bonderman dan Patrick sebelumnya sudah saling mengenal ketika Patrick bekerja untuk Goldman Sachs. Setelah beberapa kali pertemuan, Mr. Patrick berhasil meyakinkan Bonderman bahwa ia adalah partner yang tepat bagi TPG untuk menanamkan investasinya di Indonesia. So, mereka berdua kemudian mendirikan Northstar Pacific Partners, sebuah perusahaan holding yang digunakan sebagai kendaraan untuk mendirikan dan mengakuisisi beberapa perusahaan, terutama Bank BTPN (BTPN), dan Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA), yang kemudian dimasukkan ke bursa saham dengan cara backdoor listing melalui Delta Dunia Makmur (DOID).

Logo Bukit Makmur Mandiri Utama
Selang beberapa tahun kemudian, investasi yang ditanamkan Grup Northstar mulai menuai hasil. Yang paling sukses mungkin Bank BTPN, yang kini menjadi salah satu bank dengan kinerja paling cemerlang di BEI. Tapi bagaimana dengan DOID? Well, bisa dikatakan bahwa Mr. Patrick sedikit tersandung di DOID ini, mengingat hingga Kuartal III 2012, DOID masih mencatat kinerja negatif dengan rugi bersih Rp353 milyar, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp12 milyar. Padahal jika saja DOID mampu mencatat kinerja yang sama baiknya dengan BTPN, maka bukan tidak mungkin nama Mr. Patrick akan muncul di daftar Forbes, sebagai salah satu dari 40 orang terkaya di Indonesia.

Meski begitu, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa Northstar akan keluar dari DOID, melainkan justru mereka masuk lebih dalam lagi dengan menambah modal sebesar Rp1.2 trilyun pada pertengahan tahun 2011 lalu (melalui right issue). Disisi lain bagi investor retail, DOID mulai tampak menarik pasca penurunannya mentok di 150-an, dan saat ini sudah rebound kembali ke 240. Jadi apakah sekarang saat yang tepat untuk masuk? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telisik lagi perusahaan yang harga sahamnya di tahun 2009 lalu pernah menyentuh 2,000 ini.

Ceritanya bermula di tahun 2008, dimana Mr. Patrick mengambil alih sebuah perusahaan kontraktor tambang batubara, PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA), dari tangan pengusaha muda lainnya yakni Jimmy Budiarto (pemilik J Resources Asia Pasifik/PSAB), dengan nilai akuisisi yang tidak disebutkan, tapi ada yang bilang US$ 200 juta. Setahun berikutnya, tepatnya November 2009, Northstar mengakuisisi sebuah perusahaan properti kecil di bursa, DOID, untuk dijadikan objek backdoor listing bagi BUMA, dimana DOID kemudian mengakuisisi BUMA (BUMA menjadi anak usaha dari DOID) dengan nilai akuisisi US$ 240 juta. DOID pun seketika berubah status dari perusahaan properti menjadi perusahaan kontraktor tambang batubara, karena disaat yang bersamaan DOID melepas aset-asetnya di sektor properti.

Berbeda dengan perusahaan objek backdoor listing lainnya yang biasanya menggelar right issue setelah proses akuisisi selesai, DOID tidak melakukan right issue melainkan mengambil utang dari bank. Pada Mei 2011, BUMA menandatangani fasilitas pinjaman sindikasi sebesar US$ 800 juta dari sebelas bank, yaitu Bank Mandiri dan sisanya bank asing. Beberapa bulan berikutnya yaitu pada Agustus 2011, BUMA juga memperoleh pinjaman dari Bank CIMB Niaga sebesar US$ 25 juta, sehingga totalnya BUMA memperoleh pinjaman US$ 825 juta atau setara Rp8 trilyun, yang kesemuanya digunakan untuk modal kerja dan refinancing utang BUMA sebelumnya. Mayoritas dari pinjaman tersebut merupakan pinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo pada tahun 2018 dan 2019, dan mengandung bunga antara 2.7 – 4.6% per tahun.

Terkait utang bank ini, maka kemudian terdapat beberapa hal yang menjadi kesulitan utama bagi BUMA (atau dalam hal ini DOID) untuk bisa mencetak laba. Pertama, jumlah utang yang diambil BUMA bisa menjadi sangat besar, salah satunya adalah karena untuk refinancing utang. Ketika Northstar mengambil alih BUMA, BUMA sudah memiliki utang sebesar US$ 310 juta. Utang tersebut kemudian di-refinancing dengan penerbitan obligasi senilai US$ 315 pada bulan yang sama ketika BUMA diletakkan dibawah DOID, yaitu November 2009, dan kembali di-refinancing satu setengah tahun kemudian dengan penerbitan utang bank jangka panjang senilai total US$ 825 juta, seperti yang sudah disebut diatas. Jika saja Northstar tidak perlu menanggung utang bawaan dari BUMA ini, maka utang bank yang perlu diambil BUMA untuk modal kerja mungkin hanya sekitar US$ 500 juta (meski angka segitu juga tetap merupakan jumlah yang besar, karena aset BUMA sebelum diakuisisi Northstar cuma sekitar US$ 400 juta, sudah termasuk utang-utangnya).

Dan kedua, buntut dari utang yang berjibun tersebut adalah sebagai berikut:

  1. DOID harus membayar bunga pinjaman dalam jumlah besar. Hingga Kuartal III 2012, DOID mengeluarkan biaya hingga Rp365 milyar untuk membayar bunga pinjamannya saja. Padahal seperti sudah disebut diatas, tingkat suku bunga pinjaman yang ditanggung perusahaan sebenarnya relatif ringan, yaitu kurang dari 5% per tahun.
  2. Karena laba operasional perusahaan sebelum beban non operasional (termasuk didalamnya beban bunga) dan pajak hanya mencapai Rp459 milyar (hingga Kuartal III 2012), maka beban bunga yang mencapai Rp365 milyar tadi tentu saja sangat besar.
  3. Ditambah kerugian karena selisih kurs (karena DOID memperoleh pendapatannya dalam mata uang Rupiah, sementara utangnya dalam mata uang US Dollar), dimana kerugian kurs ini selalu meningkat setiap kali Rupiah melemah terhadap US Dolllar, maka DOID akhirnya tidak mampu mencatatkan laba, melainkan kerugian, tepatnya rugi bersih Rp353 milyar pada Sembilan Bulan 2012.
  4. Dan karena perusahaan sampai saat ini tidak atau belum mampu mencetak laba, maka sejauh ini upaya yang dilakukan DOID terhadap utangnya lebih ke arah refinancing (mengambil utang baru untuk membayar utang lama) untuk memperoleh suku bunga yang lebih murah, dan belum ada upaya pelunasan. Hasilnya, persentase bunga pinjaman yang harus dibayar perusahaan memang berhasil turun dari 11 – 12% menjadi kurang dari 5% per tahun, namun nilai pinjaman itu sendiri sama sekali masih belum berkurang.

Masalahnya disini adalah, jika DOID (atau dalam hal ini BUMA) tidak juga mampu meningkatkan pendapatan dan laba operasionalnya hingga pada posisi yang mampu menutup beban bunga dan selisih kurs tadi, maka tentunya laba bersih perusahaan akan terus menjadi minus alias rugi. Disisi lain kebutuhan BUMA akan modal kerja masih sangat besar, sehingga kalaupun perusahaan suatu waktu nanti mampu mencetak laba bersih, maka saldo laba yang dihasilkan tidak akan digunakan untuk bayar utang, melainkan belanja modal (capital expenditure/capex). Untuk tahun 2012 kemarin, BUMA mengeluarkan hingga US$ 300 juta untuk capex, meningkat dari US$ 220 juta di tahun 2011.

Dan kalau saja kemarin DOID tidak menambah modal sebesar Rp1.2 trilyun dari right issue-nya, maka modal bersih DOID pada saat ini seharusnya sudah minus alias defisiensi modal, karena defisit yang terjadi sudah mencapai Rp716 milyar, naik dari sebelumnya sebesar Rp363 milyar.

Kesimpulannya? Well, I haven’t seen a light here. Karena analoginya sederhana: Jika anda punya perusahaan dengan sejumlah utang, dimana laba bersih yang dihasilkan perusahaan bahkan tidak bisa menutupi biaya bunganya saja, lantas bagaimana anda akan melunasi utang tersebut? Mau refinancing lagi juga sudah tidak bisa, karena tingkat bunga yang ditanggung perusahaan sudah cukup rendah di level dibawah 5% per tahun, jadi gak bisa lebih rendah lagi.

So, satu-satunya solusi adalah dengan terus meningkatkan pendapatan dan laba operasional. Tapi gimana caranya? Nah, sayangnya perusahaan tidak memperinci terkait langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan kedepannya untuk meningkatkan pendapatan, yang mungkin itu karena sejak awal BUMA sudah merupakan salah satu perusahaan kontraktor tambang terbesar di Indonesia (tepatnya terbesar kedua, setelah Pamapersada Nusantara), dengan pelanggan kelas kakap seperti Berau Coal, Kideco, Adaro, Bayan, Arutmin, hingga Kaltim Prima Coal/KPC. Jadi maksud penulis, jika BUMA hendak meningkatkan pendapatannya hingga naik dua kali lipat, misalnya, maka mungkin mereka harus berekspansi hingga ke Tiongkok atau Australia sana, karena hampir seluruh perusahaan batubara raksasa di Indonesia sini sudah menjadi pengguna jasa mereka. BUMA mungkin bisa saja menjual jasa kontraktor tambang ke KP-KP kecil di Kalimantan sana, namun pendapatan yang dihasilkan sudah pasti tidak akan sebesar pendapatan dari Berau dkk tadi.

Jika memperoleh pelanggan baru tampak sulit untuk dilakukan, maka opsi lainnya mungkin bisa dengan cara mengakuisisi tambang batubara untuk memperoleh sumber pendapatan baru, dan memang itulah yang dilakukan perusahaan. Pada Oktober 2012 lalu, DOID mengakuisisi dua perusahaan tambang batubara yang belum berproduksi, yakni PT Banyu Biru Sakti (BBS), dan PT Pulau Mutiara Persada (PMP), dengan nilai akuisisi Rp162 milyar. Belum ada data soal berapa cadangan batubara dll yang dimiliki kedua perusahaan, namun BBS memiliki konsesi tambang seluas lebih dari 7,500 hektar, sementara PMP seluas 3,500 hektar, masing-masing terletak di Kalimantan Timur dan Jambi. Well, kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti.

Kesimpulannya, jika pada Juni 2011 lalu penulis mengatakan bahwa DOID belum bisa direkomendasikan (ini linknya), maka saat ini pun penulis masih mengatakan hal yang sama: DOID belum bisa direkomendasikan, bahkan meskipun di harganya saat ini (240). Tadinya penulis juga sempat berharap bahwa mungkin DOID pada harga 200-an cukup menarik, mengingat sahamnya sendiri juga sudah rebound kemarin. Tapi sayangnya, PBV-nya di harga 240 masih agak tinggi, yaitu 2.2 kali, dan PER-nya juga minus karena laba bersih perusahaan memang negatif alias rugi.

However, jika anda masih percaya dengan Grup Northstar, terutama Mr. Patrick dalam hal mengelola DOID dan BUMA ini, maka anda bisa terus mencermati perkembangan DOID dari waktu ke waktu. BUMA ini barang bagus sebenarnya, dengan nilai kontrak tambang yang sudah dipegang hingga beberapa tahun kedepan sebesar sekitar US$ 5 milyar atau nyaris mencapai Rp50 trilyun. Namun perusahaan ini terbilang keliru di manajemen leverage-nya, dan itu bukan sepenuhnya kesalahan Grup Northstar, mengingat BUMA sejak awal sudah memiliki utang segunung (sejak sebelum diakuisisi). Jadi mari kita lihat saja, apa yang akan dilakukan Northstar selanjutnya. Dulu juga penulis sempat berpikir bahwa Mr. Patrick agak tricky karena menempatkan BUMA dibalik DOID. Tapi sekarang, as far as I could see, Mr. Patrick kelihatannya termasuk tipikal pengusaha yang konservatif, mirip dengan Grup Salim namun sangat berbeda dengan Grup Bakrie.

Komentar

Anonim mengatakan…
Pa teguh tolong dianalisa lagi dong soal dayaindo resources pasca dirutnya gantung diri,soalnya ane nyangkut nih di KARK... ada info mo go private katanya? Trus saham ane nasibnya gimana? Tolong diulas soal macam2 corporate action, dan pengaruhnya thx
Anonim mengatakan…
pak teguh,d forim idsaham sedang ramai rumor cnko, kbrny cnko akan naik smpai 500 bahkan 1000, bagaimana mnrt pendapat pak teguh.
terima kasih
Anonim mengatakan…
anonim kedua:
jangan percaya rumor, ingat selslu fundamental
Anonim mengatakan…
Patrick walujo belum balik modal....jadi dia blm akan keluar...
By the way...patrick ambil dari bokapnya jimmy...si johan lensa...dan patrick sepertinya hanya tau permukaan dari puncak gunung es di laut....
Meski sudah menempatkan eks presdir hagianto kumala di doid....hagianto belum bisa berbuat banyak...krn banyak kejadian2an yang belum diketahui patrick saat due diligence membeli buma....
Artikel anda cukup komprehensif...tapi msh ada satu.. yang belum diulas..soal write-off doid...akibat dua kaki johan lensa di buma dan berau coal...pantas saja mayoritas kontrak buma dari berau...krn johan lensa punya saham juga.
Saat rosan beli berau..barulah terungkap....ada mark up harga diesel...dan akhirnya diwrite-off....
Jadi selama patrick blm bersihkan tuh hal-hal yang selama ini blm diwrite-off..rasanya agak berat ya...
Yang untung di sini adalah johan lensa.....tanya aja sama fasilitatornya akuisisi itu benny tjokro..pemain lama di pasar modal.
Berkat dia, patrik akhirnya beli buma....krn merayu johan lensa ga mudah....ini mungkin bisa melengkapi artikel di atas.
Salam
Anonim mengatakan…
Beli saham yang bagus pak..biar kalo nyangkut ga pusing..heheheh
Anonim mengatakan…
Pak tulisan ini sangat detail sekali, bagaimana Anda bisa mengolah datanya..? Apakah bisa dikatakan akurat tulisan diatas??
Anonim mengatakan…
menurut saya DOID merugi bbrp th disebabkan expansinya yg besar (capex terus meningkat dr th 09-12) dan mrk menggunakan penyusutan double declining shg penyusutan di th ke 1 & 2 mencapai 43 %, namun secara keuangan mrk msh sanggup bayar bunga pinjaman krn cash flow masih ok.Doid akan profit saat capex mengecil.bgm menurut pak Teguh ? Tolong dibalas. Thx (Onesimus)
Anonim mengatakan…
Dear Pak Teguh....bagaimana pendapat anda mengenai kondisi saham DOID saat ini (per hari ini senilai 62rp )...
thx atas ulasannya Pak...
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, insight nya sepertinya bagus, tapi data ini berasal darimana dan apakah akurat ?
Jati mengatakan…
Buma akan pailit...
bramantio mengatakan…
Menarik untuk membaca kembali tulisan ini, terutama paragraf 10 soal keharusan DOID ekpansi ke Cina atau Australia.

Pada tahun 2021 akhirnya DOID benar-benar berekspansi ke Australia dengan mengakuisisi perusahaan tambang batu bara mili Downer EDI Limited, Australia.

Sukses selalu Pak Teguh

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?