Waskita Karya
Waskita Karya (Waskita) akan menjadi perusahaan BUMN keempat dalam tiga
tahun terakhir yang melantai di bursa, setelah Bank BTN (BBTN), Krakatau Steel
(KRAS), dan Garuda Indonesia (GIAA). Dan seperti juga IPO-IPO BUMN sebelumnya,
selalu ada cerita menarik yang mengiringi pelaksanaan IPO tersebut. Untuk
Waskita, cerita itu adalah berkaitan dengan statusnya sebagai perusahaan yang
‘bangkit dari kubur’, dimana Waskita dulunya merupakan perusahaan yang sakit,
atau bahkan boleh dikatakan sudah mati, karena kasus penggelembungan aset yang
terjadi di masa lalu. Barulah setelah melalui restrukturisasi yang dilakukan
oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA),
sebuah BUMN yang secara khusus menangani aset-aset bermasalah milik negara,
Waskita mulai menggeliat kembali. Restrukturisasi tersebut dilaksanakan pada
tahun 2010 lalu, dimana PPA menyuntikkan modal sebesar Rp475 milyar kedalam kas
Waskita.
Setelah dipegang oleh PPA, Waskita perlahan tapi pasti mulai menunjukkan
perbaikan kinerja, minimal itu bisa dilihat dari pendapatannya yang terus naik
sejak tahun 2010 lalu. Saldo defisit yang disebabkan oleh akumulasi kerugian di
masa lalu juga terus berkurang. Meski demikian, kehadiran PPA tidak serta merta
menjadikan Waskita bersih dari berbagai kasus. Terakhir, Waskita, bersama
dengan dua BUMN konstruksi lainnya yakni Adhi Karya (ADHI), dan PP (PTPP),
masih bermasalah dengan kasus suap di pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON)
Riau. Pada tanggal 28 November kemarin, Pengadilan Negeri Pekanbaru
menyelenggarakan sidang tipikor yang menghadirkan Trihartanto, Kepala Cabang
Waskita Riau, sebagai saksi, dimana Trihartanto mengatakan bahwa mantan
Kadispora Riau yang menjadi terdakwa, Lukman Abbas, pernah meminta uang dua
kali kepada perusahaan, masing-masing sebesar Rp200 dan 500 juta, sebagai
pelicin untuk penambahan anggaran PON.
Nah, mendengar kabar tersebut, penulis langsung ingat dengan tuduhan
Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang mengatakan bahwa BUMN sering menjadi ‘sapi
perah’ bagi para anggota DPR di Senayan. Dan setelah menonton acara Indonesia
Lawyer’s Club semalam, penulis baru ngerti juga kalau yang punya hobi ‘memerah’
BUMN ternyata nggak cuma anggota dewan saja, melainkan juga elit eksekutif,
Pemda, aparat penegak hukum, dll. Intinya, BUMN seringkali menjadi sapi perah
bagi siapapun yang memiliki kesempatan untuk memerah BUMN yang bersangkutan.
Ibaratnya seperti ketika seseorang membuka warung makan di sebuah pasar
tradisional, maka orang tersebut harus siap-siap menyisihkan sebagian
penghasilan untuk japrem alias jatah preman.
Masalahnya kalau untuk BUMN, ‘preman-preman’ yang minta jatah ini jumlahnya
kelewat banyak. Apalagi untuk BUMN konstruksi yang sumber pendapatannya berasal
dari proyek-proyek infrastruktur milik pemerintah, dimana sudah menjadi rahasia
umum bahwa kalau mau proyeknya lancar, maka BUMN yang bersangkutan harus
menyediakan japrem dalam jumlah yang tidak sedikit, minimal bagi petinggi Pemda
setempat.
Jadi dalam hal ini, ketika sebuah BUMN terlibat kasus hukum tertentu
(biasanya kasus korupsi), maka biasanya BUMN tersebut berposisi sebagai korban,
bukan pelaku. Tapi mau si BUMN ini berstatus sebagai korban kek, atau pelaku
kek, ujung-ujungnya tetap saja merugikan perusahaan. Dan mungkin ini sebabnya
kalau anda perhatikan dan analisis empat emiten konstruksi yang sahamnya cukup
likuid di bursa, yakni ADHI, PTPP, Wijaya Karya (WIKA), dan Total Bangun Persada (TOTL), maka yang
kinerja fundamentalnya paling bagus dan juga paling konsisten adalah TOTL. Dan
coba tebak? TOTL adalah satu-satunya perusahaan konstruksi swasta dari keempat
perusahaan konstruksi diatas. Penulis kira, TOTL juga bukannya bebas 100% dari
berbagai jebakan japrem. Namun mengingat bahwa TOTL lebih banyak mengerjakan
proyek-proyek konstruksi milik swasta dan bukannya Pemerintah, maka mungkin gangguan
japrem tersebut tidak sebesar yang dialami perusahaan konstruksi lain yang
berstatus sebagai BUMN.
Lalu bagaimana dengan Waskita? Sayangnya kita tidak akan pernah tahu apakah
BUMN ini mengalami masalah ‘beban yang tidak seharusnya dikeluarkan’ seperti
yang sudah kita bahas diatas ataukah tidak, karena di laporan keuangannya sudah
tentu tidak mungkin ada account ‘beban japrem’. Namun yang jelas, berikut ini
adalah perbandingan kinerja perusahaan dengan TOTL, untuk periode First Half
2012 (1H12) lalu, angka dalam persentase. Kita pakai LK 1H12, karena Waskita
belum merilis LK untuk periode Sembilan Bulan 2012:
Company
|
ROA
|
ROE
|
OPM
|
Net Profit Growth
|
TOTL
|
9.3
|
28.3
|
13.3
|
42.4
|
Waskita
|
1.3
|
11.4
|
5.5
|
195.3
|
Nah, kalau dilihat dari data diatas, maka tampak bahwa Waskita secara
fundamental kalah telak dibanding TOTL. Kenaikan laba bersih Waskita yang
mencapai hampir tiga kali lipat menjadi tidak berarti mengingat itu adalah
karena kecilnya laba bersih Waskita di tahun 2011 lalu (Rp13 milyar).
Dan kalau kita perhatikan tujuan Pemerintah meng-IPO-kan Waskita ini, itu
bukanlah karena Waskita memiliki ekspansi jangka panjang dan membutuhkan dana
untuk itu (soalnya 60% dana IPO-nya akan dipakai untuk membiayai proyek-proyek
yang sudah berjalan, sementara sisanya untuk modal kerja yang ‘biasa saja’). IPO
Waskita ini lebih merupakan kelanjutan dari upaya perbaikan kinerja perusahaan
yang dimulai sejak tahun 2010 lalu. Harapannya dengan menjadi perusahaan
terbuka, maka Waskita minimal menjadi lebih transparan terhadap publik, dan
juga memiliki kinerja yang lebih baik, karena perusahaan bertanggung jawab
tidak hanya kepada Pemerintah namun juga kepada pemegang saham publik. Jadi
dalam hal ini, jika anda beli saham Waskita, maka anda berposisi sebagai ‘penerus’
dari PPA dalam kapasitasnya sebagai pengawas dan pendorong perusahaan untuk
menghasilkan kinerja yang lebih baik di masa mendatang. PPA sendiri terhitung
sejak tanggal 20 Oktober 2012 kemarin sudah tidak lagi menjadi pemegang saham
di Waskita, dimana 100% kepemilikan saham Waskita dikembalikan kepada
Pemerintah.
Masalahnya, anda sebagai pemegang saham publik tentu tidak bisa memegang
kepemilikan yang cukup substansial di Waskita, melainkan hanya minoritas.
Artinya? Anda tidak bisa menjadi pengawas perusahaan seperti hal-nya PPA,
bahkan meski anda berniat untuk vokal jika ikut RUPS-nya nanti. Alhasil, anda
hanya bisa mengikuti arah kinerja perusahaan (seperti juga jika kita invest secara
ritel pada saham-saham lainnya di bursa), dimana jika hasilnya bagus, maka anda
akan untung. Tapi jika kinerja Waskita masih saja buruk, maka anda akan rugi.
Dan masalahnya lagi, kalau berkaca pada tiga BUMN terakhir yang melantai ke
bursa, yakni BBTN, KRAS, dan GIAA, hingga sekarang kinerja mereka masih saja belum
cukup baik, which means keputusan Pemerintah untuk meng-IPO-kan perusahaan BUMN
tidak atau belum berdampak substansial pada performa perusahaan. Penulis
katakan belum, karena kalau kita lihat BUMN-BUMN yang sudah IPO sejak lama,
katakanlah BBRI, SMGR, dan JSMR, kinerja mereka pada saat ini terbilang sudah cukup
bagus (tapi butuh waktu berapa lama?).
Oke, jadi kesimpulannya secara fundamental Waskita ini nggak menarik ya? Yap,
kurang lebih begitu. Tapi kenapa kok IPO-nya seperti sangat ramai
diperbincangkan di publik, dan permintaan akan sahamnya juga sangat tinggi? Ya
namanya juga iklan. Secara nilai IPO-nya juga lumayan besar, yakni diatas Rp1
trilyun. Jadi ya pasti underwriter-nya punya cukup modal untuk membuat Waskita
ini tampak cantik. Timing pelaksanaan
IPO-nya juga cukup tepat, yakni ketika saham-saham konstruksi hampir semuanya
naik signifikan, sehingga sebagian investor pasti berpendapat bahwa Waskita berpeluang
untuk mengalami hal yang sama, dan inilah yang membuat saham ini menjadi ramai
diperbincangkan dan terkesan jadi rebutan banyak orang.
Terakhir, soal sahamnya, Waskita akan melepas 35% sahamnya pada rentang
harga Rp320 – 405 per saham. Kita ambil tengahnya, 350, maka Waskita akan
mencatat market cap awal Rp2.8 trilyun.
Dari sisi PER, dimana Waskita mencatat laba bersih Rp37 milyar di First Half 2012, sementara jumlah saham disetor
perusahaan setelah IPO adalah 8.8 milyar
lembar, maka annualized EPS Waskita adalah 37 x 2 / 8.8 = Rp8.4 per saham. Maka PER-nya? 350 / 8.4 = 41.7 kali. Well, what d’ya think? Bahkan PER ADHI, WIKA, dan PTPP
saja tidak sebesar itu (coba anda cek sendiri), padahal saham mereka sekarang
ini lagi tinggi-tingginya.
Nah, mungkin karena tahu persis bahwa valuasi Waskita akan sangat mahal
bila menggunakan kinerja keuangan terbarunya, maka beberapa analis kemudian
menghitung PER Waskita berdasarkan proyeksi kinerja perusahaan di masa
mendatang, dalam hal ini tahun 2013, untuk menjustifikasi bahwa saham Waskita
sebenarnya nggak semahal itu, sehingga sahamnya masih layak beli. Tapi yah, itu
sama saja seperti anda membeli seekor anak kambing pada harga seekor kambing
dewasa, if you know what I mean.
Jika dibandingkan dengan Wismilak, maka secara fundamental IPO perusahaan
rokok tersebut relatif lebih menarik. Namun, tolong garis bawahi kata ‘secara
fundamental’ tadi. Karena kalau secara spekulasi, apapun bisa terjadi.
PT Waskita Karya (Persero),
Tbk
Rating Kinerja pada 1H12: BBB
Rating saham pada 350: B
NB: Investor Bulletin edisi Desember 2012 sudah terbit tanggal 2 Desember
kemarin, dimana didalamnya termasuk membahas analisa ‘Fiscal Cliff’. Anda
masih bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Sedikit koreksi, cara memprediksi net profit tahunan perusahaan konstruksi setahu saya tidak seperti itu. Karena perusahaan konstruksi terutama yang berbasis project pemerintah mendapat hampir seluruh revenuenya di akhir tahun.
Jadi net profit 6 bulan pertama, tidak bisa dikalikan dengan 2 untuk memprediksi net profit akhir tahun.Itu sebabnya PER waskita dalam artikel ini terlihat besar sekali.
Oh iya satu lagi, 8.8 milyar lembar saham itu datanya didapat dari mana yang pak.
Mohon commentarnya Master
Best Regards
Argha J Karo Karo