Raja Minyak (Kelas) Eceran
Menurut anda, komoditas apakah yang merupakan andalan utama ekspor Indonesia? Apakah batubara? Atau CPO? Kedua-duanya benar. Tapi masih ada satu komoditas lagi yang nilai ekspornya lebih besar daripada kedua komoditas diatas. Dan kalau anda masih ingat, kita sudah mempelajari hal ini bahkan sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar. Yup, komoditas itu adalah minyak dan gas, atau biasa disingkat migas.
Berdasarkan data terakhir dari BPS yaitu periode Januari – November 2011, Indonesia mengekspor migas senilai US$ 37.7 milyar. Angka ini lebih besar dari ekspor batubara senilai US$ 24.7 milyar, atau CPO US$ 19.7 milyar. Sebagian besar dari ekspor migas tersebut berupa gas senilai US$ 20.8 milyar, disusul minyak mentah (crude oil) senilai US$ 12.4 milyar, kemudian baru minyak hasil olahan senilai US$ 4.4 milyar.
Disisi lain, Indonesia juga mengimpor migas dengan nilai hampir sama dengan nilai ekspor, tepatnya US$ 37.1 milyar, tapi dengan komposisi yang berbeda, yaitu lebih didominasi oleh minyak hasil olahan senilai US$ 25.8 milyar, kemudian disusul minyak mentah US$ 10.0 milyar, dan gas US$ 1.3 milyar. Dari data ini maka bisa kita simpulkan bahwa sebagian besar migas yang dihasilkan di dalam negeri dikirim dulu keluar negeri untuk ‘dimasak’ menjadi bensin, solar, minyak tanah, dll, sebelum kemudian dilempar lagi ke dalam negeri untuk dikonsumsi oleh rakyat banyak. Tapi kita gak akan membahas ini lebih jauh
Back to topic. Kita tahu bahwa di Indonesia terdapat banyak perusahaan yang menjadi besar karena bermain di sektor batubara dan CPO. Bumi Resources adalah salah satu perusahaan batubara terbesar di dunia, sementara SMART juga merupakan salah satu perusahaan CPO terbesar di dunia. Mereka adalah salah satu dari beberapa kelompok usaha yang mendominasi ekspor batubara dan CPO Indonesia. Di pasar modal sendiri, sektor batubara dan CPO adalah salah satu sektor yang paling ramai dikunjungi oleh investor. Selain BUMI, ada banyak nama besar lainnya di sektor batubara, seperti Indo Tambangraya Megah (ITMG), Bukit Asam (PTBA), hingga Adaro Energy (ADRO). Sementara di sektor perkebunan kelapa sawit dan CPO, terdapat Astra Agro Lestari (AALI), PP London Sumatera (LSIP), dan Bakrie Sumatra Plantations (UNSP).
Dan kalau kita melihat data diatas bahwa ekspor migas justru lebih besar dari batubara dan CPO, maka seharusnya Indonesia juga memiliki beberapa perusahaan yang menjadi ‘raja minyak’. Kemudian sektor migas di bursa saham juga menjadi sektor yang dihuni oleh banyak perusahaan migas kelas kakap. Tapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Kalau kita lihat sektor migas di bursa, cuma ada dua emiten besar disana, yaitu Medco Energi (MEDC), dan Perusahaan Gas Negara (PGAS). PGAS sendiri sejatinya tidak memproduksi gas, melainkan hanya menjadi pedagang. Sementara MEDC, ukuran produksinya masih kelewat kecil dan sama sekali tidak mencerminkan nilai ekspor migas Indonesia yang mencapai puluhan milyar Dollar.
Kalau gitu siapa sebenarnya yang menguasai industri migas di Indonesia? Well, penulis kira anda semua sudah tahu jawabannya: Perusahaan asing. Indonesia adalah surga bagi buanyak sekali perusahaan migas asing. Hampir semua perusahaan migas global turut membuka operasinya disini. Anda sebut saja, Chevron, Exxon, BP, Total SA, Shell, Hess, Anadarko, CNOOC, semuanya ada! Bahkan Petronas-nya Malingsia juga ada. Satu-satunya perusahaan lokal yang cukup besar untuk bisa mengimbangi mereka hanyalah Pertamina. Tapi BUMN yang satu inipun sebenarnya gak besar-besar amat. Sebagai perbandingan, total aset Pertamina pada akhir tahun 2010 adalah Rp267 trilyun. Bandingkan dengan mantan anak didiknya, Petronas, yang memiliki aset US$ 139 milyar atau sekitar Rp1,284 trilyun (wow!) untuk periode yang sama.
Sebenarnya bukan salah pengusaha kita juga kalau mereka tidak mampu memanfaatkan potensi minyak yang dikandung oleh bumi pertiwi Indonesia. Minyak bumi dan gas alam terletak sangat jauh didalam perut bumi, sehingga biaya produksinya sangatlah mahal. Ibaratnya kalau anda mau memproduksi CPO, anda tinggal membuka lahan, menanam sawit, kemudian tunggu hasil panennya 2 – 3 tahun kemudian. Sementara kalau mau memproduksi batubara, anda tinggal menemukan lokasi tambang, kemudian gali aja tanahnya sampai kedalaman 200 – 300 meter, dapet deh batubaranya.
Sementara untuk memproduksi minyak, anda harus mengebor sampai kedalaman 4,000 meter dari permukaan tanah, bahkan terkadang hingga 6,000 meter (jadi bener-bener sampai ke perut bumi). Lebih sulit lagi, kebanyakan minyak terletak di pesisir pantai atau bahkan ditengah-tengah lautan, sehingga biaya produksinya jauh lebih mahal ketimbang mengebor di darat. Jadi memang untuk bisa memproduksi minyak dalam skala besar, diperlukan dukungan modal yang juga besar, bisa sampai ratusan trilyun Rupiah, dan tentu saja: Dukungan pemerintah. Menurut CEO Pertamina, Karen Agustiawan, salah satu penyebab kecilnya ukuran Pertamina saat ini, termasuk juga kecilnya skala produksi minyak perusahaan, adalah karena kurangnya dukungan modal ataupun kebijakan fiskal dari pemerintah dimasa lalu (mungkin di masa sekarang juga), selain karena kurangnya teknologi.
Padahal kalau sebuah perusahaan punya cukup modal untuk mengebor sebuah sumur minyak, maka kesananya tinggal panen. Para perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia, pada awalnya mereka memang harus mengucurkan modal besar. Tapi kesininya bisa anda lihat, mereka-lah yang kemudian menguasai ekspor minyak Indonesia. Mereka pula yang menikmati kenaikan harga minyak setiap tahunnya, bukan kita. Sementara rakyat Indonesia justru harus menderita karena dipaksa untuk membeli bensin pada harga yang terus saja naik dari waktu ke waktu, kecuali pas masa kampanye Pemilu tahun 2009 lalu (itupun sebenarnya nggak turun, cuma balik lagi ke harga sebelum dinaikkan, masih ingat kan?).
Intinya penulis hanya hendak mengingatkan, agar para perusahaan minyak asing ini lebih fair dalam beroperasi, maka setidaknya mereka bisa listing di BEI agar masyarakat luas, atau paling tidak para investor pasar modal, bisa mengetahui dengan jelas bagaimanakah sepak terjang mereka di Indonesia. Contohnya seperti Unilever, perusahaan Belanda yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar utamanya, dan mereka me-listing-kan anak usahanya di Indonesia yaitu PT Unilever Indonesia (UNVR). Terus masa sih Chevron Corp gak mau masukin PT Chevron Pacific Indonesia ke bursa?
Memasukan perusahaan minyak ke bursa adalah opsi yang lebih realistis untuk dilakukan ketimbang me-nasionalisasi para perusahaan minyak asing tersebut, seperti yang dilakukan Venezuela (kecuali kalo Pak SBY sama garangnya dengan Mister Hugo Chavez, tapi kayanya sih nggak mungkin). Sementara bagi investor pasar modal, kehadiran Chevron dan sebangsanya mungkin bisa menjadi alternatif investasi yang menarik di sektor migas, karena MEDC dan PGAS sendiri dari dulu harga sahamnya segitu-gitu aja. Dan kalau gak salah dulu wacana ini sempat dimunculkan bukan? Kok nggak ada kelanjutannya?
Atau gimana kalau Pertamina saja yang dimasukkan ke Bursa, agar masyarakat bisa secara terbuka mengawasi dan mengkritisi kinerjanya, sekaligus mengetahui berapa persisnya subsidi yang diterima Perusahaan untuk tetap menjaga BBM jenis premium dari kenaikan. Jujur kami sebagai masyarakat usah bosen mendengar dalih Pemerintah bahwa kenaikan BBM, atau pembatasan bensin bersubsidi, adalah untuk menghemat APBN yang dipakai buat membayar subsidi. Bagaimana menurut anda, Pak Dahlan Iskan?
Berdasarkan data terakhir dari BPS yaitu periode Januari – November 2011, Indonesia mengekspor migas senilai US$ 37.7 milyar. Angka ini lebih besar dari ekspor batubara senilai US$ 24.7 milyar, atau CPO US$ 19.7 milyar. Sebagian besar dari ekspor migas tersebut berupa gas senilai US$ 20.8 milyar, disusul minyak mentah (crude oil) senilai US$ 12.4 milyar, kemudian baru minyak hasil olahan senilai US$ 4.4 milyar.
Disisi lain, Indonesia juga mengimpor migas dengan nilai hampir sama dengan nilai ekspor, tepatnya US$ 37.1 milyar, tapi dengan komposisi yang berbeda, yaitu lebih didominasi oleh minyak hasil olahan senilai US$ 25.8 milyar, kemudian disusul minyak mentah US$ 10.0 milyar, dan gas US$ 1.3 milyar. Dari data ini maka bisa kita simpulkan bahwa sebagian besar migas yang dihasilkan di dalam negeri dikirim dulu keluar negeri untuk ‘dimasak’ menjadi bensin, solar, minyak tanah, dll, sebelum kemudian dilempar lagi ke dalam negeri untuk dikonsumsi oleh rakyat banyak. Tapi kita gak akan membahas ini lebih jauh
Back to topic. Kita tahu bahwa di Indonesia terdapat banyak perusahaan yang menjadi besar karena bermain di sektor batubara dan CPO. Bumi Resources adalah salah satu perusahaan batubara terbesar di dunia, sementara SMART juga merupakan salah satu perusahaan CPO terbesar di dunia. Mereka adalah salah satu dari beberapa kelompok usaha yang mendominasi ekspor batubara dan CPO Indonesia. Di pasar modal sendiri, sektor batubara dan CPO adalah salah satu sektor yang paling ramai dikunjungi oleh investor. Selain BUMI, ada banyak nama besar lainnya di sektor batubara, seperti Indo Tambangraya Megah (ITMG), Bukit Asam (PTBA), hingga Adaro Energy (ADRO). Sementara di sektor perkebunan kelapa sawit dan CPO, terdapat Astra Agro Lestari (AALI), PP London Sumatera (LSIP), dan Bakrie Sumatra Plantations (UNSP).
Dan kalau kita melihat data diatas bahwa ekspor migas justru lebih besar dari batubara dan CPO, maka seharusnya Indonesia juga memiliki beberapa perusahaan yang menjadi ‘raja minyak’. Kemudian sektor migas di bursa saham juga menjadi sektor yang dihuni oleh banyak perusahaan migas kelas kakap. Tapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Kalau kita lihat sektor migas di bursa, cuma ada dua emiten besar disana, yaitu Medco Energi (MEDC), dan Perusahaan Gas Negara (PGAS). PGAS sendiri sejatinya tidak memproduksi gas, melainkan hanya menjadi pedagang. Sementara MEDC, ukuran produksinya masih kelewat kecil dan sama sekali tidak mencerminkan nilai ekspor migas Indonesia yang mencapai puluhan milyar Dollar.
Kalau gitu siapa sebenarnya yang menguasai industri migas di Indonesia? Well, penulis kira anda semua sudah tahu jawabannya: Perusahaan asing. Indonesia adalah surga bagi buanyak sekali perusahaan migas asing. Hampir semua perusahaan migas global turut membuka operasinya disini. Anda sebut saja, Chevron, Exxon, BP, Total SA, Shell, Hess, Anadarko, CNOOC, semuanya ada! Bahkan Petronas-nya Malingsia juga ada. Satu-satunya perusahaan lokal yang cukup besar untuk bisa mengimbangi mereka hanyalah Pertamina. Tapi BUMN yang satu inipun sebenarnya gak besar-besar amat. Sebagai perbandingan, total aset Pertamina pada akhir tahun 2010 adalah Rp267 trilyun. Bandingkan dengan mantan anak didiknya, Petronas, yang memiliki aset US$ 139 milyar atau sekitar Rp1,284 trilyun (wow!) untuk periode yang sama.
PT Chevron Pacific Indonesia, anak usaha dari Chevron Group, merupakan perusahaan minyak terbesar di Indonesia |
Sebenarnya bukan salah pengusaha kita juga kalau mereka tidak mampu memanfaatkan potensi minyak yang dikandung oleh bumi pertiwi Indonesia. Minyak bumi dan gas alam terletak sangat jauh didalam perut bumi, sehingga biaya produksinya sangatlah mahal. Ibaratnya kalau anda mau memproduksi CPO, anda tinggal membuka lahan, menanam sawit, kemudian tunggu hasil panennya 2 – 3 tahun kemudian. Sementara kalau mau memproduksi batubara, anda tinggal menemukan lokasi tambang, kemudian gali aja tanahnya sampai kedalaman 200 – 300 meter, dapet deh batubaranya.
Sementara untuk memproduksi minyak, anda harus mengebor sampai kedalaman 4,000 meter dari permukaan tanah, bahkan terkadang hingga 6,000 meter (jadi bener-bener sampai ke perut bumi). Lebih sulit lagi, kebanyakan minyak terletak di pesisir pantai atau bahkan ditengah-tengah lautan, sehingga biaya produksinya jauh lebih mahal ketimbang mengebor di darat. Jadi memang untuk bisa memproduksi minyak dalam skala besar, diperlukan dukungan modal yang juga besar, bisa sampai ratusan trilyun Rupiah, dan tentu saja: Dukungan pemerintah. Menurut CEO Pertamina, Karen Agustiawan, salah satu penyebab kecilnya ukuran Pertamina saat ini, termasuk juga kecilnya skala produksi minyak perusahaan, adalah karena kurangnya dukungan modal ataupun kebijakan fiskal dari pemerintah dimasa lalu (mungkin di masa sekarang juga), selain karena kurangnya teknologi.
Padahal kalau sebuah perusahaan punya cukup modal untuk mengebor sebuah sumur minyak, maka kesananya tinggal panen. Para perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia, pada awalnya mereka memang harus mengucurkan modal besar. Tapi kesininya bisa anda lihat, mereka-lah yang kemudian menguasai ekspor minyak Indonesia. Mereka pula yang menikmati kenaikan harga minyak setiap tahunnya, bukan kita. Sementara rakyat Indonesia justru harus menderita karena dipaksa untuk membeli bensin pada harga yang terus saja naik dari waktu ke waktu, kecuali pas masa kampanye Pemilu tahun 2009 lalu (itupun sebenarnya nggak turun, cuma balik lagi ke harga sebelum dinaikkan, masih ingat kan?).
Intinya penulis hanya hendak mengingatkan, agar para perusahaan minyak asing ini lebih fair dalam beroperasi, maka setidaknya mereka bisa listing di BEI agar masyarakat luas, atau paling tidak para investor pasar modal, bisa mengetahui dengan jelas bagaimanakah sepak terjang mereka di Indonesia. Contohnya seperti Unilever, perusahaan Belanda yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar utamanya, dan mereka me-listing-kan anak usahanya di Indonesia yaitu PT Unilever Indonesia (UNVR). Terus masa sih Chevron Corp gak mau masukin PT Chevron Pacific Indonesia ke bursa?
Memasukan perusahaan minyak ke bursa adalah opsi yang lebih realistis untuk dilakukan ketimbang me-nasionalisasi para perusahaan minyak asing tersebut, seperti yang dilakukan Venezuela (kecuali kalo Pak SBY sama garangnya dengan Mister Hugo Chavez, tapi kayanya sih nggak mungkin). Sementara bagi investor pasar modal, kehadiran Chevron dan sebangsanya mungkin bisa menjadi alternatif investasi yang menarik di sektor migas, karena MEDC dan PGAS sendiri dari dulu harga sahamnya segitu-gitu aja. Dan kalau gak salah dulu wacana ini sempat dimunculkan bukan? Kok nggak ada kelanjutannya?
Atau gimana kalau Pertamina saja yang dimasukkan ke Bursa, agar masyarakat bisa secara terbuka mengawasi dan mengkritisi kinerjanya, sekaligus mengetahui berapa persisnya subsidi yang diterima Perusahaan untuk tetap menjaga BBM jenis premium dari kenaikan. Jujur kami sebagai masyarakat usah bosen mendengar dalih Pemerintah bahwa kenaikan BBM, atau pembatasan bensin bersubsidi, adalah untuk menghemat APBN yang dipakai buat membayar subsidi. Bagaimana menurut anda, Pak Dahlan Iskan?
Komentar
Saya sempat baca, klo ga salah waktu itu Pak Hatta juga pernah memberikan pernyataan bhw perusahaan exploitasi migas di Indonesia agar listing di BEI. Mgk termasuk Freeport ya hehe...
Intinya, pemerintah harus berani utk meng-go public-kan perusahaan2 asing tersebut. Selain itu masak seh Pertamina gak mampu mengeksplorasi dengan mengalokasikan capex sendiri? Lagi2 kembali ke kebijakan pemerintah.. weew..
yang jadi masalah justru di menteri esdm...
isinya cuman jero wacik... dari menteri pariwisata jadi menteri esdm..
rada bingung jg sih beneran bisa atau cuman nampang aja...
kayaknya gak ada tuh terobosan2 di kemen esdm...
pasrah sajalah... pak dahlan juga cuman 1 orang... sudah cukup bersyukur ada perubahaan di PLN dan sekarang di BUMN...
yang lain serahkan buat alam semesta aja...
Tp sebenarnya teknologi explorasi minyak gk hebat2 amat sih, kalau pemerintah mau dari sejak saya SD (skrg anak sy malah sdh SD) teknologi itu sdh bisa diambil alih. Teknologi yg dipakai skrg (darat) sdh termasuk sangat usang, masih tetap menggunakan pompa angguk yg pertama sekali ditemukan/dipakai seorang penambang lepas (buta huruf) di amerika thn 1800 an krn sudah tidak kuat lg dgn cara gali manual (awalnya mrk menggali dgn cara manual). Coba kita pikir dgn logis, apa sih susahnya meniru cara yg dilakukan penambang thn 1800 an tsb kalau kita fokus dan niat, dgn selang waktu yg ckp lama? Sebenarnya gak pantas lg cara itu disebut teknologi krn sejak ditemukan 1800 an belum ada perobahan sampai skrg... masih anguk2 jg, belum geleng2...
Salah kita sendiri kenapa tidak mendidik anak bangsa agar bisa menguasai minyak di negerinya sendiri ? Tetangga serumpun aja bisa
Pendidikan adalah segalanya. Ada contoh sempurna ttg bangsa yg memperhatikan pendidikan rakyatnya dan sebaliknya. Ibarat lomba lari, Jepang dan Indonesia start bareng-bareng di thn 1945. Bedanya start Indonesia Merdeka dimodali kekayaan alam melimpah ruah. Start Jepang diawali dgn kehancuran total akibat bom atom. Tapi siapa yg jadi pemenangnya ??? Anda tahu sendiri...jepang membangun lwt pendidikan, tapi di Indonesia ada siswa sd mati tertimpa gedung sekolah roboh yg tak layak pakai
Indonesia kalah dgn bangsa lain karena tdk bsa membangun bangsanya lwt pendidikan yg baik. Akibatnya tidak bsa menciptakan sdm yg handal buat negaranya, SDM yang care akan nasib anak cucunya nanti...